Luncurkan Novel 'Bintang Panggung' dan Kumpulan Puisi 'Jala Jalan', Prof Dibia Kritik Seniman Pragmatis Lewat Novel
Bintang Panggung yang merupakan novel pertama Prof Dibia tidak jauh-jauh dari dunia kepenarian, mengisahkan tokoh penari Bali perempuan bernama Astiti.
DENPASAR, NusaBali
Lahir dari rahim dunia tari, seniman-akademisi Prof Dr I Wayan Dibia menunjukkan minatnya yang semakin kencang di bidang sastra. Pada Sabtu (13/5) Prof Dibia kembali merilis buku sastra berbentuk novel dan kumpulan puisi.
Wantilan Taman Budaya (Art Centre) Provinsi Bali sore itu diramaikan tokoh-tokoh seni dan budaya di Bali. Terlihat wajah mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Hindu IBG Yudha Triguna hingga aktris nasional yang kini menetap di Ubud Happy Salma. Mereka menghadiri peluncuran buku salah satu maestro tari Bali yang juga seorang akademisi Prof I Wayan Dibia. Novel berjudul 'Bintang Panggung' dan kumpulan puisi (antologi) bertajuk 'Jala Jalan' menunjukkan eksistensi lain Prof Dibia dalam ranah seni selain dunia koreografi.
Dunia kepenulisan sastra belakangan jadi minat guru besar ISI Denpasar ini. Terakhir ia meluncurkan dua buku puisi berbahasa Bali berjudul 'Guna Gina Pragina' dan 'Kali Sengara' akhir tahun lalu. Namun Bintang Panggung merupakan novel pertama pragina (penari) asal Singapadu, Gianyar ini.
Bintang Panggung tidak jauh-jauh dari dunia kepenarian. Mengisahkan tokoh penari Bali perempuan bernama Astiti. Karena dicelakai oleh seorang pria yang kecewa berat cintanya bertepuk sebelah tangan, Astiti harus berganti panggung dari seorang penari menjadi seorang balian usadha.
Dikisahkan, Astiti ikhlas menerima jalan hidupnya yang mengharuskan berhenti menjadi penari dan memasuki profesi baru. Sebagai balian usadha Astiti berhasil mengobati banyak orang sakit termasuk pria yang pernah menciderai dirinya.
"Seseorang jangan cepat patah semangat, setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Kalau dia (Astiti) jatuh di tari bukan berarti hidupnya berakhir," ujar Prof Dibia sembari menyebut Bintang Panggung ditulisnya dalam setahun terakhir. Prof Dibia tampaknya cukup produktif dalam menulis sastra. Ia menuturkan antologi puisi Jala Jalan juga ditulisnya dalam beberapa bulan terakhir ini. Ada 41 buah puisi yang dipilihnya masuk dalam buku Jala Jalan.
Foto: Artis Happy Salma membacakan salah satu puisi Jala Jalan. -SURYADI
"Jalan bisa menjadi aktivitas fisik untuk olahraga dan bisa menjadi sumber inspirasi. Dan saya ceritakan bahwa banyak karya-karya yang saya hasilkan ketika berjalan itu," sebutnya. Dua buku Prof Dibia pada sore itu dibahas oleh dua kritikus budaya Tommy F Auwy dan Prof Dr I Nyoman Darma Putra MLitt.
Mantan dosen filsafat Universitas Indonesia Tommy F Auwy membahas Bintang Panggung. Menurut Tommy novel pertama Prof Dibia sangat kental dengan filosofi-filosofi Bali, seperti karma dan taksu. "Taksu ini kan dasar kreativitas atau dasar nilai-nilai budaya Bali muncul," ujarnya. Tommy kemudian mengatakan bahwa Prof Dibia berusaha menyampaikan bahwa ada masa di mana nilai-nilai filosofi Bali mulai luntur. Masyarakat Bali mulai terjebak dalam pragmatisme yang mengindahkan idealisme yang ada dalam konsep karma ataupun taksu.
"Sudah tidak lagi sempat memikirkan apa dasar berkesenian, yang penting bisa tampil dan dapat duit. Jadi perlahan-lahan taksu dasar kreativitas, dasar dari mana roh berkesenian muncul, pudar," ujarnya. Menurut Tommy yang kini menetap di Bali, pragmatisme seni lambat laun akan berbahaya bagi Bali itu sendiri yang budayanya berdasar pada taksu. "Bahayanya Bali akan hilang," sebutnya.
Sementara itu Prof Darma Putra melihat bahwa puisi-puisi yang ada dalam buku Jala Jalan seakan ingin menjaring kehidupan itu sendiri. Menurut Prof Darma Putra, Prof Dibia bukan saja melihat berjalan sebagai sebuah olahraga, namun juga kesempatan untuk mengasah kepedulian sosial. Pada salah satu puisi misalnya, menceritakan Prof Dibia sedang berjalan-jalan, dihampiri seorang perempuan yang berjualan menawarkan air minum. Perempuan yang membawa serta anaknya berjualan tersebut lari pontang-panting dikejar petugas tramtib. Ia yang dilihatnya sambil berjalan kaki tersebut justru memantik Prof Dibia menuliskannya ke dalam bentuk puisi.
"Kumpulan puisi ini tak lebih dan tak kurang melukiskan bahwa hidup ini adalah perjalanan, dan perjalanan ini adalah kehidupan. Itu berarti kalau tidak jalan, tidak hidup," ujar Prof Darma Putra.
Akademisi sastra Indonesia Universitas Udayana mengatakan, apa yang dimaknai Prof Dibia dalam melihat kesehariannya tentu bisa jadi berbeda jika dilihat oleh orang lain dalam hal ini para pembaca Jala Jalan. "Apa yang harus dilahirkan, itulah makna-makna dari kita selaku pembaca," kata Prof Darma Putra. 7 cr78
1
Komentar