Pawai Budaya ‘Bangli Jengah’ Pukau Ribuan Penonton
Kecamatan Tampilkan Fragmentari hingga Tradisi Pengantin
BANGLI, NusaBali - Pawai Budaya serangkaian HUT ke-819 Kabupaten Bangli digelar, Minggu (21/5) mulai pukul 14.00 Wita. Pawai budaya yang diikuti empat kecamatan di Bangli ini disaksikan ribuan penonton.
Selain duta kecamatan, juga ditampilkan Duta Kabupaten Bangli untuk Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2023. Sebanyak 2.010 seniman se-Kabupaten Bangli terlibat dalam parade budaya ini.
Pawai Budaya yang dipusatkan di depan Kantor Bupati Bangli Jalan Brigjen Ngurah Rai, Bangli ini dibuka Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Arta. Hadir pula jajaran OPD di lingkungan Pemkab Bangli. Bupati Sedana Arta mengatakan peringatan HUT ke-819 Bangli tahun ini mengusung tema ‘Bangli Jengah’ dengan ikon Tari Baris Gede. Pemilihan ikon tari ini bermakna bahwa Bangli adalah salah satu daerah di Bali yang kaya akan tradisi budaya, serta memiliki beragam jenis Tari Baris Gede, bahkan terbanyak di Bali.
Filosofis tari baris gede merupakan tarian sakral yang ditarikan pasukan sebelum berlaga ke medan perang, sebagai simbol keberanian, kekuatan, keagungan dan simbol persatuan. "Dengan spirit tari baris gede ini kami berharap terlahir taksu semangat untuk bahu membahu, bergotong royong, bersatu padu, seluruh masyarakat Bangli untuk Bangkit jengah membangun Bangli," ungkapnya.
Bupati asal Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Bangli ini menggugah untuk spirit mebarisan untuk jengah membangun Bangli. Bupati Sedana Arta mengajak seluruh komponen masyarakat Bangli, khususnya para penggiat seni dan budaya untuk bersama-sama bersinergi dalam pelestarian seni budaya. Salah satu pilar pembangunan adalah karakter yang menempatkan pemajuan dan pelestarian kebudayaan.
"Kami ucapkan terima kasih dan apresiasi sedalam-dalamnya kepada seluruh tokoh masyarakat, budayawan dan para seniman duta kecamatan Se Kabupaten Bangli yang telah berpartisipasi mempersembahkan karya terbaiknya dalam pawai budaya ini," ujarnya. Politisi PDIP ini berharap dengan pagelaran budaya ini akan dapat meningkatkan kecintaan masyarakat khususnya generasi muda terhadap keragaman seni budaya di Kabupaten Bangli.
Pada pawai kali ini Duta Kecamatan Kintamani membawakan sendratari kolosal yang berjudul Kertaning Penarajon. Camat Kintamani, Ketut Erry Soena Putra menyampaikan karya ini berkisah tentang Kumpi Mardaya yang membangun Pasanggrahan, namun dihadang oleh Raksasa Kebo Parud yang menghuni Puncak Panarajon.
Atas anugerah Ratu Daha Tua yang berstana di Luhur Tegeh Kahuripan, Kumpi Mardaya berhasil mengalahkan kerbau itu dan di-somya serta dipersembahkan kepada Hyang Siwa Sakti yang sekarang berstana di Pura Pucak Panarajon/Pucak Penulisan. Setelah itu Ratu Daha Tua bersabda bahwa tujuan dari segala pembangunan pesanggrahan ini adalah untuk membuat wilayah Cintamani menjadi Kerta masyarakatnya dan ening jiwanya, sehingga menjadi Kertaning Panarajon. "Penampilan ini merupakan gerakan bersama seniman, pemerintah Kecamatan Kintamani dan 48 desa dinas," kata Ketut Erry.
Sementara itu, Camat Bangli Sang Made Agus Dwipayana mengatakan Kecamatan Bangli mengambil cerita Ni Madu Segara. Cerita ini menggambarkan bhakti seorang murid kepada gurunya. Demi bhaktinya tersebut sang murid rela kesaktiannya dipotong dan dibuang ke samudera. "Cerita ini mengangkat sisi lain dari calonarang terutama tokoh Rarung sebelum menjadi murid Walunata," sebutnya.
Cerita ini juga sesuai dengan ogoh-ogoh yang tampilkan. Selain menampilkan fragmentari, ditampilkan juga permainan tradisional berupa metajog (egrang), mesiap-siapan dan curik-curik. Untuk Kecamatan Susut, menampilkan pakaian khas pengantin. Menurut Camat Susut, I Dewa Putu Apriyanta menjelaskan duta Kecamatan Susut menampilkan pakaian khas pengantin dari Desa Gebog Satak Tiga Buungan. Desa Gebog Satak Tiga Buungan merupakan salah satu Desa Tua di Kecamatan Susut, dengan demikian sudah barang tentu ada beberapa keunikan yang dimiliki dan tak dimiliki oleh Desa adat lain. Salah satunya pakaian pengantin.
"Pakaian pengantinnya sangat sederhana. Untuk pengantin laki-laki memakai Udeng, Saput, Kamen Kadutan/Keris dan memakai bunga Pucuk Bang serta pucuk daun Dapdap. Untuk pakaian pengantin perempuannya memakai saab sebagai penutup kepala, handuk sebagai penutup badan, kamen dan tapih," sebutnya.
Sedangkan untuk pelaksanaan upacara (Mekalan-kalan) dilaksanakan di ujung batas banjar desa setempat bukan di rumah. Sengaja waktu acara Mekalan-kalan itu si pengantin diantar keluarga berjalan kaki menuju tempat upacara yaitu di batas banjar. "Maksud dan tujuan pengantin harus berjalan kaki dari rumah ke tempat upacara, yaitu untuk memperkenalkan diri ke warga karena waktu si pengantin di jalan akan ditonton oleh warga yang rumahnya dilewati oleh si pengantin," sambungnya.
Di sisi lain, Camat Tembuku I Putu Sumardiana menambahkan untuk Kecamatan Tembuku menampilkan cerita Sang Kala Brahma. Sang Kala Brahma merupakan salah satu kala yang di-somya pada saat melaksanakan upacara pawiwahan, yaitu saat mabiakala/mekala-kalan. "Kata mekala- kalan berasal dari kata kala yang berarti energi. Energi kala brahma merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki unsur keraksasaan, bisa memberi pengaruh buruk pada pasangan pengantin yang disebut dengan sebel kandel," kata Putu Sumardiana.
Lanjutnya, upacara mekala-kalan sebagai sarana penetralisir kekuatan negatif kala brahma agar menjadi kekuatan baik atau disebut kala hita dengan cara nunas panugrahan dari Sang Hyang Purusangkara untuk nyomya sang kala brahma dan Sanghyang Nara Swari agar menjadi Sanghyang Semara Jaya dan Sanghyang Semara. 7 esa
1
Komentar