MUTIARA WEDA : Yoga dan Tantra
Prayogasandhi artinya usaha, yaitu asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, tarka, samadhi. Pradana tattwa, yakni pikiran (ambek) adalah wujud sang hyang atma dalam diri manusia.
Prayogasandhi ngaranya, upaya lwirnya, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, tarka, samadhi. Pradana tattwa, yeka pinaka wak sang hyang atma ambek ngaranya, mangke ring manusa (Jnana Tattwa 60).
Berbicara mengenai metode spiritual, Hindu memiliki dua poros teknik yang sangat berbeda. Perbedaan ini seolah-olah mewakili tradisi pikiran yang dualis. Cara berpikir kita tidak pernah integratif. Kita selalu memisah dan memilah, seperti kanan dan kiri, baik dan buruk, panas dan dingin, hitam dan putih, dan sebagainya. Bahkan ketika kita berbicara hal yang berhubungan dengan ‘integratif’ pun, kita masih menemukan hal yang namanya ‘tidak integratif’. Cara berpikir ini alam perjalanannya tertuang ke dalam bahasa. Segala sesuatu, apapun itu ketika telah dibahasakan, ia telah terkotak-kotak, terbagi-bagi. Benda itu tidak lagi utuh apa adanya.
Demikianlah cara berpikir kita. Justru menjadi kontradiktif jika pikiran kita menginginkan sesuatu yang tidak kontradiktif. Kesimpulan muncul sepenuhnya dari kontradiksi. Apapun yang muncul dan harmoni muncul dari yang kontradiktif. Harmoni berdiri di tengah-tengah kontradiksinya. Maka dari itu, Hindu mengajarkan metode spiritual untuk kembali kehadapan Sangkan Paran juga kontradiktif. Ini artinya Hindu mengakomodasi segala sesuatu yang telah ada di alam. Hindu memberikan ruang pada apapun yang bertentangan untuk tetap berada dalam harmoni.
Menurut teks di atas, metode spiritual ada dua, yakni Yoga dan Tantra, dan ini sangat kontradiktif. Mereka yang cenderung hedonis, terikat dengan materi, malas, dan lemah memerlukan teknik Yoga. Sementara mereka yang sederhana, tidak terikat dengan materi, selalu awas dan kuat sangat baik mempraktikkan tantra. Mengapa demikian? Karena Yoga adalah jalan kemenangan, sementara Tantra adalah jalan penerimaan. Orang yang malas perlu upaya untuk mengatasi kemalasannya. Orang yang terikat dengan materi perlu upaya untuk melepaskan keterikatannya. Orang yang hedonis perlu usaha agar pemuasan libido tidak membelenggunya. Orang lemah perlu aktivitas untuk mengatasi kelemahannya.
Sementara itu, orang yang hidupnya tidak terikat dengan materi, orang sederhana, orang kuat dan orang yang selalu awas tidak memerlukan upaya apapun. Yang diperlukan mereka adalah menerima apapun yang telah ada. Kalaupun disebut upaya, maka jalan Tantra hanya memiliki upaya untuk menerima semua apapun yang telah melekat bersama tubuh. Orang lemah tidak pernah bisa menerima dirinya, sehingga dia perlu kekuatan. Demikian juga orang yang terikat dengan materi tidak akan mudah menerima jika materinya itu hilang. Mereka memerlukan poros baru yang lebih kuat di dalam dirinya untuk melawan poros yang telah ada pada dirinya. Poros keterikatan, kelemahan, kemalasan harus digantikan dengan poros baru, yakni ketidakterikatan, kekuatan dan rasa awas.
Seperti misalnya, seks adalah sesuatu yang inheren di dalam tubuh. Bagi orang lemah, seks akan menjadikan orang itu indulge (memuaskan diri). Seks akan menghabiskan energinya sehingga ia tidak bisa berkembang secara spiritual. Untuk itu, ia memerlukan upaya agar energi seks itu tidak habis. Brahmacari adalah metode yang paling tepat baginya. Dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap tendensi seksnya adalah satu-satunya cara. Ini adalah jalan Yoga. Sementara itu, bagi mereka yang kuat atau orang yang awas, seks tidak membuat dirinya jatuh. Justru dengan rasa awas tersebut, energi seks itu bisa ditransendensi sehingga melahirkan kesadaran spiritual. Seks justru menjadi alat pendakian spiritual. Inilah jalan Tantra.
Maka dari itu, kita sebenarnya tidak bisa memilih salah satu dari dua jenis metode tersebut, sebab pilihan dilakukan oleh pikiran, dan pikiran tidak terlepas dari keinginan. Keinginan adalah piranti tubuh yang memiliki kekuatan luar biasa untuk menjebak kita pada cara-cara yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Keinginanlah yang menjatuhkan seseorang terjebak ke dalam adharma. Lalu apa yang bisa dilakukan, sebab kita tidak bisa mempraktikkan metode tersebut secara bersamaan? Kita tidak perlu melakukan pilihan. Yang diperlukan adalah melihat diri kita, apakah kita masih terikat, lemah, malas dan hedonis? Jika kita dalam kategori itu, maka cara Yoga adalah yang terbaik. Kita mempraktikkan yoga bukan karena pilihan, melainkan karena di jalan itulah dharmanya kita. Demikian juga, bagi mereka yang tidak terikat, kuat dan awas, mempraktikkan tantra adalah jalannya. Hanya dengan demikian metode tersebut berfungsi secara benar. Jika orang lemah mempraktikan tantra, ajaran itu akan diarahkan oleh kelemahannya, sehingga salah arah. Demikian sebaliknya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar