MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu, Tetap Proporsional Terbuka
Pemilu Legislatif Tetap Coblos Caleg
PDIP menyatakan menerima dengan terbuka putusan MK yang memutuskan pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) tetap gunakan sistem proporsional terbuka.
JAKARTA, NusaBali
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku. Pemilu Legislatif (Pileg) pun dipastikan tetap menggunakan sistem yang sudah berjalan, yakni proporsional terbuka alias coblos Caleg.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis (15/6). Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
"Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentral-nya dalam kehidupan berdemokrasi," ujar Saldi Isra. Menurut Mahkamah, tuturnya melanjutkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.
"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra. Terkait dengan kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.
Di sisi lain, mengenai peluang terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi Isra mengatakan bahwa pilihan terhadap sistem pemilihan umum apapun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang. “Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elite partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut nomor urut calon jadi agar peluang atas keterpilihannya semakin besar," kata Saldi Isra.
Oleh karena itu, menurut Saldi Isra, praktik politik uang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu. Saldi Isra menegaskan bahwa dalil-dalil Para Pemohon, seperti distorsi peran partai politik, politik uang, tindak pidana korupsi, hingga keterwakilan perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum. “Karena, dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.
Menurut Mahkamah, tutur Saldi Isra, perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik. "Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar Saldi Isra.
Persidangan ini hanya dihadiri oleh delapan orang hakim konstitusi. Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan kepada wartawan di Jakarta, Kamis, bahwa Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams sedang menjalani tugas MK ke luar negeri. Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022. Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.
DPP PDI Perjuangan (PDIP) menerima dengan terbuka putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) tetap proporsional terbuka. PDIP menyatakan, hanya ingin melahirkan anggota dewan yang berkualitas melalui gagasan proporsional tertutup. Hal itu disampaikan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto dalam konferensi pers secara virtual bersama Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi PDIP Djarot Saiful Hidayat, Kamis kemarin.
“Dari PDI Perjuangan, yang pertama kami menghormati putusan dari MK, karena sejak awal PDIP percaya pada sikap kenegarawanan dari seluruh hakim MK untuk mengambil keputusan terbaik, dengan melihat seluruh dokumen-dokumen autentik terkait dengan amandemen UUD 1945, yang tadi menjadi salah satu konsideran dari MK dalam mengambil keputusan," ujar Hasto.
Menurut Hasto, secara kajian sistem pemilu proposional terbuka maupun tertutup, sama-sama mengandung plus minus. Di lain sisi, secara konstitusi peserta pemilu adalah partai politik sehingga PDIP hanya ingin melahirkan anggota dewan yang jauh dari praktik popularisme, liberalisme, dan kapitalisme.
Hasto mengingatkan, PDIP juga terus melakukan pelembagaan politik. Di mana anggota dewan di seluruh tingkatan memiliki tugas yang sangat penting dalam menyelesaikan masalah-masalah rakyat. Meski demikian, doktor ilmu pertahanan ini mengingatkan dalam membangun desain masa depan melalui keputusan politik, maka anggota dewan harus dipersiapkan seluruh kapasitas kepemimpinannya.
Kemudian kapasitas legislasinya, kemampuannya dalam politik alokasi, dan distribusi anggaran serta bagaimana pengawasan jalannya pemerintahan di seluruh tingkatan agar betul-betul tugas legislatif dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dalam pandangan PDIP, untuk menghasilkan anggota dewan yang memiliki kualifikasi dalam membawa Indonesia yang mengalami kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan, anggota dewan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
"Dan itu melalui sistem proporsional tertutup. Namun demikian mengingat PDI Perjuangan taat pada konsitusi, setia pada UU, maka putusan MK tersebut dengan penuh sikap kenegarawanan juga diterima oleh PDI Perjuangan,” jelas Hasto. Hasto menyampaikan, apa pun putusan MK, sejak awal PDIP sudah mengusulkan agar diperlukan masa transisi putusan selama lima tahun.
Hasto juga tidak ingin terjadi perubahan-perubahan sangat fundamental dalam sistem pemilu yang dilaksanakan pada saat proses yang sudah berjalan. Dalam proses pencalegan yang dilakukan PDIP, kata Hasto, partainya menggunakan landasan hukum yang berlaku, yaitu sistem proporsional terbuka. Karena itu, dalam putusan MK tersebut tidak mengubah dari seluruh proses pencalegan yang telah dilakukan oleh PDIP.
Bahkan, PDIP merupakan salah satu partai yang berdasarkan data-data di KPU, menunjukkan kesiap siagaannya dan kesempurnaannya dalam mengikuti seluruh tahapan pemilu berdasarkan sistem proporsional terbuka. "Bagi PDIP, semua sudah dipertimbangkan nomor urut, dari tingkat kabupaten, kota, provinsi, hingga tingkat nasional,” kata Hasto. 7 k22, ant
1
Komentar