Komunitas Relawan Gunung Agung Ikuti Workshop Kegunungapian di Jepang
AMLAPURA, NusaBali - Tim Komunitas relawan lereng Gunung Agung, Karangasem, berkunjung ke Provinsi Yamanashi, Jepang, 10 - 20 Juni 2023. Salah satu agenda utamanya mengikuti workshop yang diselenggarakan Mount Fuji Research Institute (MFRI) di lereng Gunung Fuji.
Tim terdiri dari Ketua Pasubaya Agung Gede Pawana, Jenifer Sarah (Koordinator Tim MFRI dari Indonesia), Dr Wiwit Suryanto (Wadek 1 Geofisika FMIPA UGM Jogjakarta), Rizky Tri Septian dari BNPB dan I Nyoman Sukma Arida Ketua (Wakil Dekan 1 Fakultas Pariwisata, Unud)
Workshop berlangsung Rabu (14/6) dengan menghadirkan narasumber secara online dan offline. Dua narasumber memberikan materi secara online yakni Deputi Sistem dan Strategi BNPB, Dr Raditya Jati dan Kepala pelaksana BPBD Karangasem Ida Bagus Ketut Arimbawa. Dua orang lainnya hadir secara langsung di Yamanashi. Workshop Penanganan Bencana Gunung Api merupakan bagian dari Projek yang dibiayai oleh JICA Japan.
Presiden MFRI Prof Fujii Toshitsugu menekankan pentingnya saling belajar antara dua negara, Indonesia dan Jepang terkait penanganan erupsi dan mitigasi bencana gunung api. Project Manager dari MFRI Dr Mitsuhiro Yoshimoto, mengharapkan agar kegiatan ini bisa menjadi ajang saling belajar antara masyarakat Yamanashi, Jepang dengan Kabupaten Karangasem dalam melakukan mitigasi benca erupsi.
Dr Yoshimoto juga menyampaikan bahwa sebelum workshop ini projek tersebut juga telah melakukan beberapa pelatihan dan workshop di dua sasaran beberapa sekolah SD di kecamatan Rendang dan warga desa Besakih.
Deputi Sistem dan Strategi BNPB Dr Raditya Jati, dalam paparannya yang berjudul ‘Penanganan Erupsi Gunung Agung 2017’ menyampaikan bahwa kerja sama yang terjalin antara pemerintah dan warga di sekitar Gunung Fuji dan Gunung Agung Bali memiliki arti strategis dalam upaya saling belajar mitigasi erupsi gunung api di kedua negara. Letusan Gunung Agung tahun 2017 memang tidak sedahsyat letusan tahun 1963, namun keberhasilan penanganan. Letusan Agung tanggal 11 November 2017 menunjukkan bahwa dampak letusan terhadap warga relative dapat tertangani dengan baik karena penggunaan teknologi dan kesigapan masyarakat di sekitar lereng Agung yang bahu-membahu membantu para pengungsi. Pengungsi gunung api di Bali dan Indonesia pada umumnya memiliki karakter yang unik, yakni para kepala keluarga berada di pengungsian hanya pada malam hari, sementara siangnya mereka kembali ke desanya untuk memberikan makan ternak-ternak mereka.
Hal yang khas dalam erupsi Agung tahun 2017, jelas dia, banyaknya hoax yang beredar yang mengedarkan pesan bahwa gunung Agung akan segera erupsi skala besar. Berita hoax ini menyebar bahkan hingga ke tingkat global sehingga menyebabkan turunnya kedatangan wisatawan ke Bali. Demikian juga wisatawan yang akan datang ke Bali perlu diberikan pemahaman bahwa pada saat sebelum erupsi tidak semua wilayah masuk dalam zone bahaya, sehingga sebetulnya masih aman untuk dikunjungi.
Leader Projek AGAA (Astungkara Gunung Agung Aman) Dr Wiwit Suryanto yang merupakan peneliti vulkanologi dari Program Studi Geofisika Fakultas MIPA UGM memberikan penekanan pada soal penguatan materi vulkanologi kepada masyarakat. Seringkali karena ketidakpahaman warga terkait tingkat kerawanan wilayahnya sehingga memunculkan kepanikan pada saat kejadian erupsi.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Karangsem Ida Bagus Ketut Arimbawa menjelaskan, selain memiliki berbagai potensi SDA dan pariwisata, Karangasem juga memiliki banyak ancaman bencana, terutama erupsi Gunung Agung, tanah longsor, dan kekeringan. Kondisi ini menuntut warga masyarakat Kabupaten Karangasem untuk memiliki kewaspadaan yang tinggi dalam mengantisipasi bencana alam.
Ketua Pasebaya Agung, Dr (cand) I Gede Pawana mengatakan, ada tiga faktor yang membuat keberhasilan penanganan pengungsi saat erupsi Gunung Agung tahun 2017 yaitu penguatan komunitas, kejelasan informasi, dan ketaatan masyarakat terhadap arahan dari Pemerintah. Pembicara terakhir, Nyoman Sukma Arida mengemukakan di kawasan lereng Gunung Agung penting untuk memperkuat pengembangan destinasi wisata bermaterikan wawasan kegunungapian dan mitigasi kepada warga lokal dan wisatawan. “Desa wisata bisa memperkuat brandingnya dengan mengemas paket wisata ekowisata khususnya berbasis vulkanologi,” jelasnya.7lsa
1
Komentar