Mengapa Memurnikan?
Yajnā-dāna-tapah-karma na tyājyam kāryam eva tat, Yajno dānam tapas c’aiva pāvanāni manisinām. (Bhagavad-gita, 18.5)
Tindakan seperti yadnya tapa, dana dan tapa jangan disepelekan. Semua itu harus dipraktikkan karena yadnya, dana dan tapa memurnikan para bijak.
Apa itu yadnya, dana dan tapa? Yadnya disini berarti kurban atau ritual. Dana artinya charity, dan tapa artinya disiplin spiritual. Mengapa ketiga jenis tindakan ini harus dikerjakan? Karena ketiganya memurnikan pikiran. Bagaimana cara kerjanya? Ketiga jenis tindakan ini tidak diorientasikan pada diri ego. Selama ini, kita menginginkan hasil atas semua tindakan kita. Siapa yang menginginkan? Diri ego, identitas ahamkara, bukan identitas diri sejati. Ketiga jenis tindakan di atas merupakan kontra atas semua tindakan yang hasilnya diinginkan. Yadnya, dana dan tapa itu mengosongkan, bukan menambah, berseberangan dengan kehendak diri ego. Kita (sebagai diri ego) melakukan tindakan oleh karena diikat oleh hasilnya.
Memang apa salahnya menginginkan hasil atas tindakan itu? Bukankah itu wajar? Tidakkah itu merupakan hukum alam? Di dalam keinginan ada keterikatan. Keinginan yang memunculkan keterikatanlah yang bermasalah. Kan memang begitu? Setiap tindakan memang berhubungan dengan hasil. Disinilah jebakannya. Pernyataan Krishna tentang tidak terikat akan hasil menuai tentangan dari semua orang secara naluri. Mungkin banyak yang mengagungkan ajaran-Nya, banyak yang mengikutinya tetapi ketika dalam praktik, mereka menolaknya secara naluri tanpa disadari. Mengapa? Karena semasih orang belum merealisasikan kebenaran ini, orang yang paling pro Bhagavad-gita pun akan menolaknya. Memahami ajaran memerlukan kecerdasan, sementara dalam praktik kehidupan insting mendasarinya. Antara kecerdasan dan insting punya caranya masing masing.
Lalu, bagaimana memahami teks di atas agar kecerdasan dan insting kita tidak berjalan sendiri-sendiri? Adi Sankaracharya menjelaskan “tidak terikat dengan hasil” itu dengan baik. Beliau menyatakan bahwa masalah utamanya adalah persoalan identitas. Selama ini kita mengidentifikasi diri sebagai tubuh beserta kelengkapannya. Identitas ini kemudian melakukan kontak dengan objek-objeknya. Kontak inilah yang menghasilkan keterikatan. Keterikatan ini membuat orang terjebak dalam dualitas, susah-senang, baik buruk dan sejenisnya. Inilah penderitaan (samsara) tanpa akhir. Tidak terikat hasil secara prinsip berarti tidak mengidentifikasi diri dengan drama duniawi ini. Tubuh dan objek duniawi bukanlah identitas sejati kita. Kita adalah sang kesadaran itu (atma). Jadi, tidak terikat hasil yang dimaksudkan adalah membiarkan drama yang ada berjalan dengan sempurna tanpa intervensi sang sadar sejati.
Bagaimana caranya? Teks di atas menyatakan yadnya, dana dan tapa. Paling tidak, ketiga tindakan itu mampu menjernihkan pikiran kita. Hanya masalahnya, kita kembali terjebak dengan keterikatan baru. Yadnya, dana dan tapa yang dilakukan dalam rangka menipiskan keterikatan, justru menjadi keterikatan baru. Seperti apa? Saat kita melakukan yadnya, tulus ikhlas itu tidak ada, upacara dilakukan dengan harapan. Saat melakukan dana, kita sebut itu sebagai tabungan karma, dan berharap mendapat ganjaran yang setimpal nanti. Saat melakukan tapa, kita ingin siddhi, agar tampak hebat dimata orang lain.
Mestinya, tindakan tersebut dilakukan untuk melemahkan keterikatan, dengan melepaskan berbagai hal yang melekat pada kita. Yadnya, dana dan tapa adalah upaya untuk mengosongkan beban vasana kita yang panjang. Beban itulah yang mengotori pikiran sehingga tidak bisa jernih. Praktik yadnya, dana dan tapa akan secara langsung berdampak pada poros itu sehingga perannya dilemahkan, dan viveka kembali bersinar. Saat kita mampu membedakan mana nyata dan mana tidak nyata, kita telah berada dalam arus kuat spiritual, yang puncaknya berupa pemisahan sempurna (Vairagya) antara sang diri sejati dengan identitas falsu ahamkara. Jadi, praktik yadnya, dana dan tapa adalah support untuk itu. Secara perlahan identitas itu menipis sebelum akhirnya bisa terjun langsung ke jurang kesadaran tanpa tepi, identitas sejati kita. Apa yang terjadi setelah itu? Kita menjadi saksi atas semua drama kehidupan itu. Kita bisa menikmati adegan apapun yang dilakoni oleh oleh tubuh beserta objek-objeknya. Kesedihan dan kebahagiaan adalah bagian dari lakon. Lakon di panggung tidak menjadikan kita terpengaruh, sebaliknya, keindahannya justru muncul ketika diperankan secara total. 7
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
1
Komentar