Mantan Puteri Indonesia Persahabatan Bantah Semua Tuduhan
Usai Dilaporkan Kasus Dugaan Penipuan dan Penggelapan ke Polda Bali
Eks Puteri Indonesia
Fransisca Fannie Lauren Christie
Togar Situmorang
Polda Bali
Penipuan
Penggelapan
DENPASAR, NusaBali - Mantan Puteri Indonesia Persahabatan 2002 Fransisca Fannie Lauren Christie membantah semua laporan trio warga negara asing (WNA) mantan rekan bisnisnya ke Polda Bali.
Perempuan berusia 44 tahun itu menganggap tuduhan atas dugaan penipuan dan penggelapan termasuk keterangan palsu terhadap akta autentik tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Trio WNA yang membuat laporan di Polda Bali antara lain Luca Simioni dari Swiss, Barry Pullen dari Inggris, dan Carlo Karol Bonati asal Italia. "Dikatakan di sini bahwa Luca Simioni merasa tidak pernah menjelaskan asal-usul uang terkait pembangunan (apartemen) milik dari Fannie Lauren," kata kuasa hukum Fannie, Togar Situmorang kepada awak media, di Gianyar dilansir detikBali, Jumat (23/6).
Togar mempertanyakan penandatanganan akta kerja sama, yakni akta nomor 47 atas pelaporan ketiga WNA tersebut. Di mana, para investor asing atas nama Arturo Barone asal Italia dan Tomas Gerhard Hurber asal Swiss tidak pernah datang ke Indonesia dalam hal pembuatan akta kerja sama tersebut.
Dijelaskannya, dalam akta nomor 47 yang ditandatangani notaris pada 2016, Fanni bukanlah investor melainkan Direktur PT Indo Bhali Makmurjaya. Dalam perjanjian kerja sama yang ada di dalam perusahaan tersebut, dijelaskan bahwa ada perjanjian yang mengikat antara Luca Simioni sebagai pihak pertama dan pihak kedua Valerio Tocci (suami Fannie).
Dalam akta perjanjian itu dijelaskan Valerio Tocci mengikatkan diri memberikan bantuan biaya untuk seluruh pembangunan hotel dengan persentase masing-masing, yakni 40 persen, 20 persen, 20 persen, dan 20 persen. "Klien kami sebagai pemegang saham 95 persen tidak pernah ada dalam perjanjian itu. Dan pada 2021, klien kami dan suaminya dikatakan menjual diam-diam dua apartemen yang nyatanya adalah milik Fannie sendiri, dan pelaporan tidak sah karena Luca Simioni tidak ada dalam perjanjian tersebut," papar Togar.
Terkait pembagian dividen (keuntungan saham), Togar juga mempertanyakan keabsahan dari Luca yang menyatakan kepemilikan penanaman modal asing (PMA). Mulai dari alamat kantor, akta notaris, susunan organisasinya, hingga NPWP juga dipertanyakan.
Sebab di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus ada setor dana Rp 10 miliar dan mengendap secara resmi. "Jikapun ada dividen, apakah ada dana masuk dan laporkan pajak dividen itu. Untuk pembagian dividen juga wajib ada rapat umum pemegang saham (RUPS), dan itu wajib ada persetujuan dari Direktur PT Bali Makmur Jaya yakni Ibu Fannie," paparnya.
Togar menuturkan dalam perjanjian notaris itu hanya ada dana Rp 500 juta. Sedangkan transaksi sesungguhnya tanpa izin dari Fannie masuk ke rekening PT DVM yang ada di Dubai, yang merupakan milik Luca.
Bahkan, saat apartemen ini ada 11 unit dengan nilai total Rp 27 miliar masuk kerekening di Dubai. Akibat transaksi ke Dubai, dari pajak disebutkan ada kekurangan pembayaran Rp 27 miliar lagi. "Saya dipanggil Kanwil Pajak dan wajib bayar Rp 2,014 miliar atas transaksi yang tidak dilakukan dan tidak pernah terima uangnya," kata Fanni menambahkan.
Padahal angka di perjanjian tidak sesuai dengan uang masuk ke The Double View Mansion (DVM) Dubai, yakni hanya sebesar Rp 500 juta. Oleh karenanya, akta tersebut hendak dibatalkan di Pengadilan Negeri Denpasar. "Bagaimana bisa dikatakan menggelapkan, inikan belum selesai. Nanti kalo sudah selesai apa perintah hakim itu kami taati," tandas Togar.
Terkait pelaporan tersebut, Fannie tidak akan bereaksi lebih. Ia hanya menunggu panggilan pemeriksaan dari Polda Bali saja. Untuk diketahui, Luca Simioni, Arturo Barone, dan Thomas Huber melaporkan Fannie Lauren Christie ke Polda Bali, Kamis (22/6). Suami dari Fannie yang juga WNA asal Italia bernama Valerio Tocci juga turut dilaporkan.
Ketiga WNA itu mengeklaim sejumlah kerugian yang dialami atas sengketa kepemilikan Apartemen The Double View Mansion. Kerugian pertama yakni investasi untuk membangun apartemen DVM kurang lebih sebesar Rp 50 miliar.
Kerugian kedua yakni berupa potensial valuasi apartemen DVM kurang lebih sebesar Rp 78 miliar dan juga potensial kerugian atas rental unit-unit apartemen DVM selama tiga tahun kurang lebih sebesar Rp 21 miliar.
Kerugian terakhir yakni berbagai biaya yang dikeluarkan untuk mengurus seluruh sengketa kasus-kasus, baik perdata maupun pidana kurang lebih sebesar Rp 19 miliar. Total kerugian mencapai Rp 167,35 miliar. 7
1
Komentar