Maestro Ni Ketut Arini Bedah Tari Nelayan di PKB ke-45
Tari Nelayan Gambarkan Suka Duka Kehidupan Melaut
DENPASAR, NusaBali - Kriyaloka (Lokakarya) Tari Nelayan serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45 menghadirkan maestro tari Ni Ketut Arini di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Senin (26/6). Arini, sosok penari dan pencipta tari ini memandu langsung workshop Tari Nelayan yang melegenda.
Kegiatan tersebut mampu menyedot pengunjung hajatan seni tahunan milik masyarakat Bali itu untuk terlibat sebagai peserta. Pengunjung PKB utamanya para remaja juga guru-guru pengajar seni tari, di mana satu persatu naik ke atas pangung ikut memantapkan gerak tari Nelayan yang dimiliki.
Puluhan penari, baik laki-laki maupun perempuan yang berasal dari SMK Negeri 3 Sukawati, SMK Negeri 5 Denpasar, anak-anak dari Sanggar Warini Denpasar dan sekolah-sekolah lainnya memperagakan gerak Tari Nelayan.
Workshop mula-mula dilakukan para siswa, lalu pada bagian kedua diikuti oleh guru-guru seni tari di sekolah dan di sanggar-sanggar seni di Bali. Mereka mendapat pembinaan gerak tari secara detail dan benar. Mereka, tak hanya mendapatkan gerak tari, tetapi juga pemahaman terkait dengan sejarah lahirnya tari tersebut.
Ni Ketut Arini mengungkapkan, Tari Nelayan diciptakan pada tahun 1960 di Desa Kedisan, Kabupaten Buleleng oleh I Ketut Merdana. Tari ini menggambarkan kehidupan seorang nelayan dalam kehidupan kesehariannya dalam menangkap ikan, seperti saat mendayung, menebar jala ikan, tertusuk duri ikan, dan berbagai gerak tari lainnya. Dalam pentasnya, Tari Nelayan ditarikan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan yang dipentaskan secara kelompok dengan iringan gamelan gong kebyar.
Arini mengatakan, dalam menari, seorang penari mesti mampu 'ngunda bayu' sebuah teknik pernapasan rahasia dalam tari Bali yang harus dikuasai oleh seorang penari Bali. Pengaturan napas untuk mengendalikan keluar masuknya tenaga tatkala menari. Ngunda bayu sangat penting dalam tari.
"Saya setiap hari melakukan gerak tari, baik menari ataupun tidak, karena yang pasti melakukan latihan untuk sebuah keringat. Latihan serius setiap untuk menahan diri, itu pasti keluar bayu," ungkapnya.
Suasana lokakarya ini memang sangat menarik, bahkan, suasana menjadi lebih cair ketika diberikan ruang tanya jawab yang tak hanya melibatkan Maestro Ketut Arini saja, tetapi juga Prof Dr I Wayan Dibia serta Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bali Putri Suastini Koster yang hadir di tengah-tengah kegiatan yang mengedukasi itu.
"Kita beruntung terlahir sebagai orang Bali karena di tubuh kita sudah ada kekuatan. Penggabungan kekuatan tubuh (buana alit) dan kekuatan alam (buana agung) akan dapat memunculkan taksu," kata Putri Koster. Jika dilihat dari kualitas, lanjut Putri Koster, anak-anak sekarang sejatinya memiliki kualitas gerak yang lebih bagus dari pada anak-anak zaman dahulu. Berbeda dengan anak-anak dulu, memiliki gerak yang kurang, namun tubuhnya sudah menyatu dengan alam. Satu hal lagi, pregina (penari) dulu selalu memuja kekuatan Hyang Widhi dan Sang Taksu.
"Karena itulah, pregina zaman dulu profesional di bidangnya karena melakoni dengan sungguh-sungguh, sehingga muncul inner power, sebuah kekuatan," paparnya meyakinkan. Sementara Prof Wayan Dibia mengatakan, kegiatan seperti ini dapat memberikan suatu pemahaman bagi masyarakat luas, terkait Tari Nelayan. Banyak yang mengaitkan Tari Nelayan dengan ideologi komunis, karena kebetulan pencipta tari ini dikait-kaitkan dengan politik tertentu.
Padahal, Desa Kedis merupakan asal pencipta tari yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan pantai. Karena kehidupan itu kemudian menginspirasi penciptanya. "Ini juga ada kesamaan dengan tema PKB ke-46 yakni 'Segara Kerthi' sehingga pas untuk bicara soal Tari Nelayan. Tari yang mengisahkan seorang mengarungi laut dengan suka-dukanya. Apa yang dilakukan tanpa harus merusak pantai dan laut, serta menggunakan alat-alat ramah lingkungan," paparnya.
Dulu pada tahun 60-an hingga 70-an merupakan zamannya drama gong. Tari Nelayan ini sering ditampilkan sebagai pembuka drama gong. Karena itu, dulu hampir tiap banjar di Bali mementaskan Tari Nelayan. Sebelum pementasan drama gong, paling tidak ada 2 pementasan tari, salah satunya Tari Nelayan ini. Itu yang menyebabkan di tahun itu sering dipentaskan Tari Nelayan di banjar-banjar.
Prof Dibia mengatakan, Tari Nelayan yang dibawakan oleh anak-anak sekarang tentu beda dengan anak anak zaman dulu. Anak-anak sekarang sangat jarang yang melihat kehidupan laut itu. Padahal itu penting untuk menjiwai tarian itu sendiri. Sebut saja mendayung. Sementara anak-anak kini tak pernah melihat orang mendayung, sehingga ketika mendayung, maka ada gerakan yang menjadi lambat. "Artinya, anak-anak harus tahu, bahwa nelayan itu bukan tarian murni, melainkan tarian bersifat pantomime," pungkasnya. 7 cr78
1
Komentar