Belajar dari Penanganan Bencana di Jepang
Jepang tidak hanya terkenal akan kecantikan bunga sakura atau keindahan tempat wisatanya, akan tetapi Jepang juga terkenal sebagai salah satu negara yang menjadi supermarket bencana alam.
Penulis: Yogha Mahardikha Kuncoro Putra, S.Tr, Dipl. Tsu, M.DM
Staff of Regional Seismological Center III Denpasar-Bali
Indonesian Meteorological Climatological and Geophysical Agency
Seperti halnya Indonesia, terkait dengan bencana alam kondisi di Jepang mirip dengan risiko bencana di Indonesia yang berada pada zona merah. Jepang juga berada di kawasan ring of fire, sehingga Jepang mempunyai rentetan gunung yang mempunyai kondisi rawan bencana, seperti erupsi, gempabumi, dan tsunami. Selain itu, Jepang berada di samudera lepas (sabuk topan Pasifik) yang juga bisa mempengaruhi perubahan iklim serta terjadinya bencana angin topan.
Beberapa kejadian bencana yang pernah terjadi di Jepang di antaranya adalah bencana angin topan Isewan pada tahun 1959 dan gempabumi Kobe tahun 1995. Selain itu, Jepang juga pernah dilanda kejadian tsunami besar yang terkenal yaitu The Great East Japan Earthquake and Tsunami pada tahun 2011 yang menyebabkan lebih dari 15.800 korban jiwa, 2.900 korban jiwa akibat bencana lanjutan, 6.150 orang terluka, dan lebih dari 2.000 orang hilang. Banyaknya kejadian bencana alam yang sudah dialami Jepang sepanjang hampir 2.000 tahun negara tersebut berdiri, menjadikan Jepang untuk membuat berbagai kebijakan yang lebih serius serta terus mengembangkan mekanisme manajemen bencana yang dimiliki.
Dalam mengelola risiko bencana, Jepang selalu berkaca pada sejarah dengan apa yang sudah masyarakat alami dari kejadian bencana besar yang terjadi di negaranya. Salah satu gempabumi terburuk yang dialami Jepang pada abad ke-20 terjadi pada 17 Januari 1995. Saat itu, gempabumi berkekuatan 6,9 skala richter mengguncang daerah bagian selatan Prefektur Hygo selama 20 detik. Kobe adalah kota besar berpenduduk padat yang paling dekat dengan pusat gempabumi. Akibatnya, dari sekitar 4.600 dari 6.434 korban jiwa berasal dari Kobe. Gempabumi Kobe adalah gempabumi besar pertama yang melanda wilayah metropolitan di Jepang sehingga menjadi titik balik bagi Pemerintah Jepang dalam merespon kejadian bencana gempabumi. Setelah kejadian tersebut, Pemerintah Jepang melakukan evaluasi dari berbagai aspek penanganan bencana. Evaluasi kebijakan tidak hanya pada segi ilmu pengetahuan dalam pencegahan bencana alam saja, tetapi juga segi yang lainnya, termasuk sosial politiknya.
Sistem manajemen bencana di Jepang berbeda dengan di Indonesia. Jepang tidak memiliki Badan khusus kebencanaan seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ada di Indonesia ataupun Federal Emergency Management Agency (FEMA) yang ada di Amerika, tetapi Jepang mempunyai suatu sistem manajemen bencana seperti halnya Bakornas Indonesia sebelum lahirnya BNPB atau seperti pendekatan Konsultan Manajemen Risiko Bencana yang ada di Filipina. Di sini mereka bertugas untuk mengatur anggaran, membuat program secara terstruktur, mengelola strategi kebencanaan di berbagai tingkat daerah, dan menjaga konsistensi program pemerintah dalam mengelola dan memperhitungkan risiko bencana.
Jepang memiliki Perdana Menteri yang membawahi 24 kementerian untuk membuat formulasi dan implementasi dari rencana operasi penanggulangan bencana di tingkat lokal dan nasional, serta mengontrol lembaga atau organisasi pemerintah lainnya untuk bisa menjalankan rencana operasi tersebut. Kementerian yang terlibat diantaranya adalah Ministry of Justice, Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism (MLIT), dan lainnya. Di sini ada macam-macam ancaman bencana yang harus dibuat rencananya oleh pemerintah daerah maupun nasional. Di tingkat nasional, Perdana Menteri mengelola Central Disaster Management Council untuk membuat Basic Disaster Management Plan. Sebanyak 24 kementerian dan 56 agensi, termasuk Badan Usaha Milik Negara Jepang dan Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT). Di mana di dalamnya terdapat Bidang Manajemen Bencana yang mengatur Rencana Operasi Bencana serta norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku pada saat penanganan bencana.
Dalam segi pendidikan, di Jepang setiap prefektur memiliki Dewan Penanggulangan Bencana Prefektur (Prefectural Disaster Management Council), yang mempromosikan penyusunan dan pelaksanaan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah untuk wilayah tersebut dan yang memiliki yurisdiksi atas pertimbangan mengenai hal-hal penting yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. Di dalamnya terdapat aturan seperti mewajibkan sekolah dengan dua lantai atau lebih dilengkapi jalur evakuasi yang dapat dipakai anak-anak untuk menuju ke tempat aman. Sekolah juga bisa dipergunakan sebagai tempat evakuasi ketika rumah para siswa rusak akibat kejadian bencana seperti gempabumi.
Pendidikan kebencanaan diterapkan sejak dini kepada anak-anak dimana mereka diharuskan akrab dengan latihan mitigasi bencana seperti gempabumi yangs sering melanda Jepang. Tiap-tiap sekolah memiliki SOP dalam melaksanakan evakuasi saat terjadinya bencana, dan hal tersebut dilatih secara rutin kepada anak-anak. Salah satu contoh kesuksesan pendidikan mitigasi bencana di Jepang terjadi saat kejadian The Great East Japan Earthquake and Tsunami pada tahun 2011. Di Jepang terdapat satu cerita terkenal yang dikenal dengan nama 'Miracle of Kamaishi'. Seperti yang telah disebutkan di atas dimana bencana pada 11 Maret 2011, merenggut lebih dari 15.800 nyawa dan menyebabkan sekitar lebih dari 2000 orang hilang. Ternyata terdapat fakta mengejutkan bahwa hampir semua siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di wilayah Kamaishi, Prefektur Iwa, secara ajaib selamat. Hal ini bisa terjadi karena para siswa mampu memberikan respon cepat terhadap situasi darurat dimana itu merupakan buah dari program pendidikan pencegahan bencana tsunami yang telah dilakukan oleh sekolah-sekolah Kamaishi selama beberapa tahun terakhir.
Fasilitas edukasi kebencanaan yang ada di Jepang juga tergolong lengkap dimana pihak Pemadam Kebakaran Jepang memiliki tempat edukasi bencana yang menyediakan fasilitas alat simulasi gempabumi, simulasi kejadian banjir, simulasi evakuasi, simulasi pemadaman api, dan sebagainya. Selain itu tiap-tiap daerah juga memiliki museum dan monumen terkait bencana yang pernah terjadi di Jepang seperti Iwate Tsunami Memorial Museum atau Fukushima Disaster Memorial Museum. Hal ini tentu sangat berguna terutama bagi anak-anak dalam meningkatkan kepedulian terhadap pengetahuan mitigasi bencana.
Pemerintah Jepang juga melakukan mitigasi struktural dan non struktural. Mitigasi struktural yang dilakukan misalnya melalui berbagai kebijakan pembangunan, seperti rumah tahan gempa, tanggul pantai yang kokoh, dan infrastruktur lainnya. Sedangkan untuk non-struktural, misalnya melalui pendidikan, kampanye, dan lainnya. Setelah itu, Jepang melanjutkan dengan investasi dalam bidang teknik dan penegakan hukum yang ketat. Jepang dapat membuktikan bahwa ekonomi maupun kehidupan mereka tak hancur dan dapat berjalan senormal mungkin meskipun bencana terus melanda negara Jepang. Selain itu, edukasi kebencanaan terus dilakukan secara merata, tidak hanya terbatas pada siswa di sekolah, tetapi hingga ibu rumah tangga yang dilatih untuk mempersiapkan tas ransel darurat dan belajar mematikan gas agar tidak terjadi kebakaran.
Jepang juga memiliki tenaga ahli yang merupakan pegawai negeri yang bekerja di lembaga-lembaga yang menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Di jepang, setiap kementerian punya pegawai yang bekerja khusus untuk membuat standar penanggulangan bencana. Pada masyarakat di usia muda atau kalangan mahasiswa juga menyelenggarakan pendidikan sains dan teknologi dalam bentuk riset juga program peningkatan kapasitas yang terkait dengan tujuan pengurangan risiko bencana.
Di Jepang sendiri ada beberapa yang mengkritik bahwa Jepang sebagai negara maju yang kaya, tentu dapat menerapkan langkah-langkah pengurangan risiko bencana yang tidak tersedia pada negara-negara miskin. Namun, ini tidak sepenuhnya benar. Perlu diketahui sampai akhir Perang Dunia II, anggaran nasional Jepang sebagian besar digunakan untuk perang, dan bidang-bidang lain dan justru anggaran untuk pengurangan risiko bencana tidak memadai. Namun setelahnya dengan adanya kerugian besar yang disebabkan oleh banyak kejadian bencana topan dan banjir yang terjadi membuat Jepang merubah kebijakan yang ada. Jepang pada akhirnya mau belajar dari kejadian itu, dan menyadari bahwa pengurangan risiko bencana akan menjadi kunci bagi rekonstruksi pasca perang, diaman Jepang mulai mengalokasikan jumlah tetap dari anggaran nasionalnya yang terbatas untuk langkah-langkah pengurangan risiko bencana. Ternyata upaya tersebut kemudian mampu membawa Jepang meningkatkan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan risiko bencana adalah investasi untuk kemajuan negara. Alih-alih menganggapnya sebagai pengeluaran, justru Jepang menetapkan anggaran untuk pengurangan risiko bencana adalah sebagai investasi.
Indonesia yang memiliki karatersitik bencana alam yang hampir sama dengan Jepang tentunya dapat mengaplikasikan Rencana Penanggulangan Bencana seperti di Jepang. Yang perlu disadari adalah bahwa antisipasi dan penanganan bencana merupakan tanggungjawab kita bersama, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Peningkatan tanggung jawab, partisipasi, kemampuan antisipasi dan penanganan bencana dapat dicapai salah satunya melalui pendidikan kebencanaan. Kita tidak perlu menunggu jatuhnya banyak korban dan kerugian untuk dapat belajar dan sadar akan pentingnya mitigasi bencana, karena bencana merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Kita dapat belajar dan berkaca pada masyarakat Jepang yang memiliki resiko tinggi kerawanan bencana dan mau belajar tentang kebencanaan sehingga tetap dapat hidup harmonis dengan bencana yang terjadi.
1
Komentar