Winisatawan Poros Pariwisata
APA itu winisatawan yang kedengarannya absurd? Menurut Dewa Gde Ngurah Byomantara, seorang ilmuan praktisi di bidang perhotelan, bahwa winisatawan adalah individu-individu yang berinteraksi dengan wisatawan dalam aktivitas kepariwisataan.
Di destinasi wisata, misalnya winisatawan adalah pemandu wisata, sopir taksi, pelayan pondok wisata, pelayan restoran, penjual makanan, penjual cenderamata, pecalang, dan masyarakat umum. Menurutnya, peran dan fungsi mereka amat penting sebagai motor penggerak kelangsungan industri, pelaku utama yang menyiptakan produk inti pariwisata, dan salah satu faktor penting daya saing.
Menurut Broaden-And-Build Theory Fredericson bahwa emosi positif winisatawan, misalnya kesantunan, rasa hormat, etika, pengetahuan, keterampilan, dan lainnya amat berpengaruh terhadap kedatangan, lama tinggal, dan/atau kepuasan wisatawan. Strategi berkomunikasi winisatawan, seperti mengulang-ulang informasi, sering mengalihkan, bersikap informatif, persuasif, edukatif, atau koersif dapat berdampak positif maupun negatif pada wisatawan domestik maupun manca negara.
Adapun fungsi strategi komunikasi, antara lain: menyebarkan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. Kompetensi dalam berkomunikasi winisatawan dapat memicu kesenjangan berkomunikasi (communication breakdown), seperti: tersinggung, apatis, marah, antipati, tidak tertarik atau berminat, dan lain-lain yang sejenis. Kesenjangan komunikasi terjadi karena kelangkaan proses dan kegiatan komunikasi antarindividu, kelompok, dan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, muncul sikap tidak saling mengenal satu sama lain, baik dari sisi orientasi, kepentingan, gaya hidup, harapan atau cita-cita. Cara menghindari kesenjangan antara winisatawan dan wisatawan, misalnya menyiptakan komunikasi jujur, santun, penuh rasa hormat, tetap terhubung, terbuka satu sama lain, dan mengenal strategi ‘love hate relationship’.
Agar winisatawan, khususnya di desa wisata Bali, memiliki sikap, pengetahuan, keterampilan berkomunikasi permanen diperlukan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Adapun jenis-jenis pelatihan praktis yang bisa dilatihkan, misalnya bidang pertiketan transportasi, pemandu wisata, pramuwisata, perjalanan wisata, CHSE, keselamatan dan kesehatan kerja, tata kelola destinasi pariwisata, manajemen pondok wisata di desa wisata, dan sebagainya. Pelatihan kepariwisataan berkelanjutan berpengaruh pada pengembangan kapasitas, cara pemberian ‘reward’ kepada winisatawan potensial, dan peningkatan kinerja.
Teorinya Fredericson hendaknya dipahami bahwa wisatawan domestik maupun manca negara memiliki apa yang disebut ‘perceived emotion’ – emosi yang dirasakan atau ‘imagined affection’ – afeksi yang dibayangkan tentang Bali. Bali memiliki budaya yang indah serta banyak orang yang datang ke pulau ini untuk menikmatinya. Pulau ini juga merupakan salah satu wisata terbaik di Asia yang terkenal akan budayanya serta kegiatannya seperti meditasi. Bali dikenal sebagai tempat untuk travelers yang ingin menikmati liburan dengan tenang dan damai. Emosi dan afeksi wisatawan seperti itu yang harus diketahui dan dipahami oleh winisatawan agar wisatawan tidak merasa kecewa dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan semua unsur SDM pariwisata budaya Bali dari hulu ke hilir.
Orang Bali terkenal sebagai pribadi yang murah senyum, ramah, toleran, kreatif dalam budaya, santun, memiliki rasa hormat, dan sebagainya. Sebenarnya tak hanya di Bali, sikap murah senyum juga dimiliki oleh masyarakat daerah lain. Namun karena wisatawan yang datang ke Pulau Dewata lebih banyak, maka kebanyakan wisatawan manca negara menganggap orang Bali dan seluruh masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah dan murah senyum. Dan seterusnya. Semoga kekayaan pribadi demikian bertransformasi secara positif pada winisatawan, khususnya di desa wisata Bali. 7
Menurut Broaden-And-Build Theory Fredericson bahwa emosi positif winisatawan, misalnya kesantunan, rasa hormat, etika, pengetahuan, keterampilan, dan lainnya amat berpengaruh terhadap kedatangan, lama tinggal, dan/atau kepuasan wisatawan. Strategi berkomunikasi winisatawan, seperti mengulang-ulang informasi, sering mengalihkan, bersikap informatif, persuasif, edukatif, atau koersif dapat berdampak positif maupun negatif pada wisatawan domestik maupun manca negara.
Adapun fungsi strategi komunikasi, antara lain: menyebarkan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. Kompetensi dalam berkomunikasi winisatawan dapat memicu kesenjangan berkomunikasi (communication breakdown), seperti: tersinggung, apatis, marah, antipati, tidak tertarik atau berminat, dan lain-lain yang sejenis. Kesenjangan komunikasi terjadi karena kelangkaan proses dan kegiatan komunikasi antarindividu, kelompok, dan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, muncul sikap tidak saling mengenal satu sama lain, baik dari sisi orientasi, kepentingan, gaya hidup, harapan atau cita-cita. Cara menghindari kesenjangan antara winisatawan dan wisatawan, misalnya menyiptakan komunikasi jujur, santun, penuh rasa hormat, tetap terhubung, terbuka satu sama lain, dan mengenal strategi ‘love hate relationship’.
Agar winisatawan, khususnya di desa wisata Bali, memiliki sikap, pengetahuan, keterampilan berkomunikasi permanen diperlukan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Adapun jenis-jenis pelatihan praktis yang bisa dilatihkan, misalnya bidang pertiketan transportasi, pemandu wisata, pramuwisata, perjalanan wisata, CHSE, keselamatan dan kesehatan kerja, tata kelola destinasi pariwisata, manajemen pondok wisata di desa wisata, dan sebagainya. Pelatihan kepariwisataan berkelanjutan berpengaruh pada pengembangan kapasitas, cara pemberian ‘reward’ kepada winisatawan potensial, dan peningkatan kinerja.
Teorinya Fredericson hendaknya dipahami bahwa wisatawan domestik maupun manca negara memiliki apa yang disebut ‘perceived emotion’ – emosi yang dirasakan atau ‘imagined affection’ – afeksi yang dibayangkan tentang Bali. Bali memiliki budaya yang indah serta banyak orang yang datang ke pulau ini untuk menikmatinya. Pulau ini juga merupakan salah satu wisata terbaik di Asia yang terkenal akan budayanya serta kegiatannya seperti meditasi. Bali dikenal sebagai tempat untuk travelers yang ingin menikmati liburan dengan tenang dan damai. Emosi dan afeksi wisatawan seperti itu yang harus diketahui dan dipahami oleh winisatawan agar wisatawan tidak merasa kecewa dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan semua unsur SDM pariwisata budaya Bali dari hulu ke hilir.
Orang Bali terkenal sebagai pribadi yang murah senyum, ramah, toleran, kreatif dalam budaya, santun, memiliki rasa hormat, dan sebagainya. Sebenarnya tak hanya di Bali, sikap murah senyum juga dimiliki oleh masyarakat daerah lain. Namun karena wisatawan yang datang ke Pulau Dewata lebih banyak, maka kebanyakan wisatawan manca negara menganggap orang Bali dan seluruh masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah dan murah senyum. Dan seterusnya. Semoga kekayaan pribadi demikian bertransformasi secara positif pada winisatawan, khususnya di desa wisata Bali. 7
Komentar