MUTIARA WEDA : Peradaban 'Aku' dan 'Kita'
Semoga kita dilindungi, semoga kita dinutrisi, semoga kita bekerja bersama dengan energi yang besar, semoga intelek kita ditajamkan (semoga pembelajaran kita efektif), semoga tidak ada kebencian di antara kita.
Om saha nāvavatu saha nau bhunaktu
Saha viryam karavāvahai tejasvi nāvadhitamastu ma vidvisāvahai
(Krishna Yajurveda Taittiriya Upanisad, 2.2.2)
Secara garis besar, ada dua jenis peradaban di dunia, yakni peradaban ‘aku’ dan peradaban ‘kita’. Peradaban ‘aku’ adalah peradaban yang mengarah pada kehancurannya, sementara peradaban ‘kita’ mengarah pada ketinggiannya. Peradaban ‘aku’ adalah peradaban yang memandang kebenaran dari perspektif yang melihat, sementara peradaban ‘kita’ adalah peradaban yang memandang kebenaran dari perspektif baik yang melihat maupun yang dilihat. Peradaban ‘aku’ dan peradaban ‘kita’ ini selamanya eksis, saling membutuhkan, sebab jika tidak ada yang turun, maka tidak ada pula yang naik. Mereka ada, tetapi yang satu meniada, yang lainnya menjadikan dirinya lebih ada.
Dimana peradaban ‘aku’ dan peradaban ‘kita’ itu hidup? Di dalam keyakinan kita, di dalam persepsi Tuhan kita, di dalam harapan kita, di dalam mimpi-mimpi kita yang belum menjadi kenyataan. Di sana kedua peradaban itu mengada dan meniada. Bagaimana kita menentukan, yang mana peradaban ‘aku’ dan yang mana peradaban ‘kita’. Sangat mudah mengenalinya. Saat peradaban itu membesar-besarkan mimpinya, saat mereka gatal mempropagandakan harapan-harapannya, saat mereka menyatakan ideologinya paling unggul dan menginginkan hanya ideologinya itu saja yang eksis, dipastikan peradaban itu adalah peradaban ‘aku.’ Sebaliknya, saat peradaban itu berniat menyentuh realita, saat mimpi-mimpinya tidak lagi menyulutnya, saat harapan-harapannya diupayakan untuk dicabut, saat menyebut ideologinya tidak berbeda dengan ideologi lain dan menginginkan indahnya taman ideologi, dipastikan peradaban itu adalah peradaban ‘kita’.
Jika lihat teks di atas, apakah itu dibuat oleh peradaban ‘aku’ atau peradaban ‘kita’? Jika diperhatikan dari ikhtiar atau maksud yang ingin disampaikan, sepertinya teks di atas dibuat oleh peradaban ‘kita’. Mengapa? Karena di dalamnya yang didoakan agar dilindungi adalah kita (aku dan dia), yang diharapkan hidup adalah kita bersama, yang diharapkan bekerja adalah kita bersama-sama, yang diharapkan cerdas adalah kita, dan yang paling penting adalah didoakan agar tidak ada permusuhan di antara kita. Berbanding terbalik dengan peradaban ‘aku’, yang didoakan agar dilindungi adalah aku, sementara dia yang tidak sama dengan aku mesti dimusnahkan. Yang diharapkan hidup adalah dirinya sendiri, sebab yang lain tidak layak hidup. Yang diharapkan bekerja adalah dirinya sendiri sementara yang lainnya tidak bisa, karena dianggap yang lain bukan manusia pilihan. Yang dianggap cerdas adalah dirinya, sebab dia merasa bahwa hanya isi pikirannya yang benar. Yang lebih penting lagi bagi mereka adalah agar permusuhan itu tetap
terpelihara, sebab dengan adanya permusuhan, mereka memiliki justifikasi untuk menghancurkan yang lainnya.
Seperti itulah sebenarnya peradaban itu. Kelihatannya peradaban ‘aku’ seolah-olah lebih berkembang, sebab mereka hidup di atas rasa ketakutan manusia atas dirinya, atas ketidakberdayaannya, kemiskinannya. Tetapi sebenarnya mereka sedang bergerak ke arah kehancuran, sebab peradaban yang berlandaskaan pada ketakutan senantiasa mengarah pada kehancuran. Sementara itu, peradaban ‘kita’ kelihatan tidak berkembang, karena mereka tidak lagi mendasari kehidupannya di atas ketakutan. Mereka justru ingin melepaskan diri dari ketakutan terhadap apapun. Tetapi peradaban inilah sesungguhnya yang sedang diarahkan menuju puncak. Mengapa demikian? Karena manusia secara alami memiliki rasa takut terhadap banyak hal. Sehingga pada puncak ketakutannya, mereka tidak lagi memerlukan harapan-harapan atau mimpi-mimpi, melainkan mereka ingin mencabut akar ketakutan yang telah mengakar di dalam dirinya. Manusia memerlukan antitesa sebenarnya, bukan penglipur lara.
Oleh karena demikian, apapun jenis peradaban yang mencoba berdiri di atas ketakutan manusia, mereka sebenarnya sedang menuju proses kehancurannya. Mengapa? Untuk memelihara ketakutan, mereka harus menanamkan kebencian, mempropagandakan mimpi-mimpi dan harapan-harapan, mengkristalkan ideologi dirinya sebagai yang paling mulia, berkuasa dan layak. Tanpa itu semua, mustahil ketakutan bisa dipelihara. Hanya saja masalahnya, manusia lama-lama akan bosan dengan ketakutan itu, mereka merasa perlu adanya revolusi, mereka merasa perlu menuju arah yang berlawanan. Arah berlawanan itulah yang akan memunculkan ketinggian peradaban ‘kita’. Saat arah telah berubah, maka mantra di atas akan menjadi sangat signifikan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Insitute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar.
(Krishna Yajurveda Taittiriya Upanisad, 2.2.2)
Secara garis besar, ada dua jenis peradaban di dunia, yakni peradaban ‘aku’ dan peradaban ‘kita’. Peradaban ‘aku’ adalah peradaban yang mengarah pada kehancurannya, sementara peradaban ‘kita’ mengarah pada ketinggiannya. Peradaban ‘aku’ adalah peradaban yang memandang kebenaran dari perspektif yang melihat, sementara peradaban ‘kita’ adalah peradaban yang memandang kebenaran dari perspektif baik yang melihat maupun yang dilihat. Peradaban ‘aku’ dan peradaban ‘kita’ ini selamanya eksis, saling membutuhkan, sebab jika tidak ada yang turun, maka tidak ada pula yang naik. Mereka ada, tetapi yang satu meniada, yang lainnya menjadikan dirinya lebih ada.
Dimana peradaban ‘aku’ dan peradaban ‘kita’ itu hidup? Di dalam keyakinan kita, di dalam persepsi Tuhan kita, di dalam harapan kita, di dalam mimpi-mimpi kita yang belum menjadi kenyataan. Di sana kedua peradaban itu mengada dan meniada. Bagaimana kita menentukan, yang mana peradaban ‘aku’ dan yang mana peradaban ‘kita’. Sangat mudah mengenalinya. Saat peradaban itu membesar-besarkan mimpinya, saat mereka gatal mempropagandakan harapan-harapannya, saat mereka menyatakan ideologinya paling unggul dan menginginkan hanya ideologinya itu saja yang eksis, dipastikan peradaban itu adalah peradaban ‘aku.’ Sebaliknya, saat peradaban itu berniat menyentuh realita, saat mimpi-mimpinya tidak lagi menyulutnya, saat harapan-harapannya diupayakan untuk dicabut, saat menyebut ideologinya tidak berbeda dengan ideologi lain dan menginginkan indahnya taman ideologi, dipastikan peradaban itu adalah peradaban ‘kita’.
Jika lihat teks di atas, apakah itu dibuat oleh peradaban ‘aku’ atau peradaban ‘kita’? Jika diperhatikan dari ikhtiar atau maksud yang ingin disampaikan, sepertinya teks di atas dibuat oleh peradaban ‘kita’. Mengapa? Karena di dalamnya yang didoakan agar dilindungi adalah kita (aku dan dia), yang diharapkan hidup adalah kita bersama, yang diharapkan bekerja adalah kita bersama-sama, yang diharapkan cerdas adalah kita, dan yang paling penting adalah didoakan agar tidak ada permusuhan di antara kita. Berbanding terbalik dengan peradaban ‘aku’, yang didoakan agar dilindungi adalah aku, sementara dia yang tidak sama dengan aku mesti dimusnahkan. Yang diharapkan hidup adalah dirinya sendiri, sebab yang lain tidak layak hidup. Yang diharapkan bekerja adalah dirinya sendiri sementara yang lainnya tidak bisa, karena dianggap yang lain bukan manusia pilihan. Yang dianggap cerdas adalah dirinya, sebab dia merasa bahwa hanya isi pikirannya yang benar. Yang lebih penting lagi bagi mereka adalah agar permusuhan itu tetap
terpelihara, sebab dengan adanya permusuhan, mereka memiliki justifikasi untuk menghancurkan yang lainnya.
Seperti itulah sebenarnya peradaban itu. Kelihatannya peradaban ‘aku’ seolah-olah lebih berkembang, sebab mereka hidup di atas rasa ketakutan manusia atas dirinya, atas ketidakberdayaannya, kemiskinannya. Tetapi sebenarnya mereka sedang bergerak ke arah kehancuran, sebab peradaban yang berlandaskaan pada ketakutan senantiasa mengarah pada kehancuran. Sementara itu, peradaban ‘kita’ kelihatan tidak berkembang, karena mereka tidak lagi mendasari kehidupannya di atas ketakutan. Mereka justru ingin melepaskan diri dari ketakutan terhadap apapun. Tetapi peradaban inilah sesungguhnya yang sedang diarahkan menuju puncak. Mengapa demikian? Karena manusia secara alami memiliki rasa takut terhadap banyak hal. Sehingga pada puncak ketakutannya, mereka tidak lagi memerlukan harapan-harapan atau mimpi-mimpi, melainkan mereka ingin mencabut akar ketakutan yang telah mengakar di dalam dirinya. Manusia memerlukan antitesa sebenarnya, bukan penglipur lara.
Oleh karena demikian, apapun jenis peradaban yang mencoba berdiri di atas ketakutan manusia, mereka sebenarnya sedang menuju proses kehancurannya. Mengapa? Untuk memelihara ketakutan, mereka harus menanamkan kebencian, mempropagandakan mimpi-mimpi dan harapan-harapan, mengkristalkan ideologi dirinya sebagai yang paling mulia, berkuasa dan layak. Tanpa itu semua, mustahil ketakutan bisa dipelihara. Hanya saja masalahnya, manusia lama-lama akan bosan dengan ketakutan itu, mereka merasa perlu adanya revolusi, mereka merasa perlu menuju arah yang berlawanan. Arah berlawanan itulah yang akan memunculkan ketinggian peradaban ‘kita’. Saat arah telah berubah, maka mantra di atas akan menjadi sangat signifikan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Insitute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar.
Komentar