Lokasi Danghyang Astapaka Tancapkan Tongkat yang Tumbuh Jadi Pohon Tanjung
Kisah di Balik Berdirinya Pura Taman Tanjung di Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Bebandem, Karangasem
Saat ini di Pura Taman Tanjung sedang digelar Karya Mamungkah lan Nubung Daging yang puncak karya jatuh pada Wraspati Wage Sungsang, Kamis (27/7).
AMLAPURA, NusaBali
Pura Taman Tanjung, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem, ternyata memiliki sejarah yang panjang dan unik. Pura yang menandai kedatangan Danghyang Astapaka ke Desa Budakeling ini diempon oleh keturunan Danghyang Astapaka yang dikenal dengan Brahmana Buddha. Saat ini di pura tersebut digelar Karya Mamungkah lan Nubung Daging yang jatuh pada Wraspati Wage Sungsang, Kamis (27/7).
Karya Mamungkah lan Nubung Daging dengan mendem 8 kemasan panca datu ini salah satu tujuannya untuk mengenang tempat Pasraman Ida Bhatara Danghyang Astapaka di lokasi tersebut. Menurut Ida Pedanda Gede Karang Kerta Nustana dari Griya Sukayasa Tegal Manggis, Banjar Saren Kangin, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem yang juga mantan Bendesa Adat Budakeling periode 1993-2023, Danghyang Astapaka awalnya datang ke Bali atas permintaan Raja Gelgel, Klungkung Dalem Waturenggong pada tahun 1953 untuk melaksanakan upacara yadnya homa (agnihotra).
Setelah selesai menggelar ritual agnihotra di Kerajaan Gelgel, ternyata Danghyang Astapaka berselisih dengan Patih Agung Raja Gelgel I Gusti Arya Batanjeruk. Danghyang Astapaka lalu meninggalkan istana menuju ke arah timur Karangasem mengikuti cahaya bola api yang muncul secara gaib. Titik bola api tersebut ternyata berada di Desa Budakeling. Setiba di Desa Budakeling, Danghyang Astapaka menancapkan tongkatnya yang terbuat dari kayu tanjung. Di lokasi tersebut kemudian tumbuh pohon tanjung dan tumbuh subur sampai saat ini.
Di areal pohon tanjung itu, Danghyang Astapaka lalu membangun pasraman. Untuk mengenang dan menandai keberadaan pasraman itu maka di lokasi tersebut dibangun Pura Taman Tanjung. Sedangkan lokasi turunnya bola api secara ajaib berada 500 meter di utara Pura Taman Tanjung. Di sana Danghyang Astapaka membangun Pura Merajan yang selanjutnya bernama Pura Taman Sari. Di Desa Budakeling Danghyang Astapaka memiliki banyak keturunan yang kini dikenal dengan Brahmana Buddha sekaligus sebagai pangempon Pura Taman Tanjung dan Pura Taman Sari.
Pura Taman Tanjung, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem, ternyata memiliki sejarah yang panjang dan unik. Pura yang menandai kedatangan Danghyang Astapaka ke Desa Budakeling ini diempon oleh keturunan Danghyang Astapaka yang dikenal dengan Brahmana Buddha. Saat ini di pura tersebut digelar Karya Mamungkah lan Nubung Daging yang jatuh pada Wraspati Wage Sungsang, Kamis (27/7).
Karya Mamungkah lan Nubung Daging dengan mendem 8 kemasan panca datu ini salah satu tujuannya untuk mengenang tempat Pasraman Ida Bhatara Danghyang Astapaka di lokasi tersebut. Menurut Ida Pedanda Gede Karang Kerta Nustana dari Griya Sukayasa Tegal Manggis, Banjar Saren Kangin, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem yang juga mantan Bendesa Adat Budakeling periode 1993-2023, Danghyang Astapaka awalnya datang ke Bali atas permintaan Raja Gelgel, Klungkung Dalem Waturenggong pada tahun 1953 untuk melaksanakan upacara yadnya homa (agnihotra).
Setelah selesai menggelar ritual agnihotra di Kerajaan Gelgel, ternyata Danghyang Astapaka berselisih dengan Patih Agung Raja Gelgel I Gusti Arya Batanjeruk. Danghyang Astapaka lalu meninggalkan istana menuju ke arah timur Karangasem mengikuti cahaya bola api yang muncul secara gaib. Titik bola api tersebut ternyata berada di Desa Budakeling. Setiba di Desa Budakeling, Danghyang Astapaka menancapkan tongkatnya yang terbuat dari kayu tanjung. Di lokasi tersebut kemudian tumbuh pohon tanjung dan tumbuh subur sampai saat ini.
Di areal pohon tanjung itu, Danghyang Astapaka lalu membangun pasraman. Untuk mengenang dan menandai keberadaan pasraman itu maka di lokasi tersebut dibangun Pura Taman Tanjung. Sedangkan lokasi turunnya bola api secara ajaib berada 500 meter di utara Pura Taman Tanjung. Di sana Danghyang Astapaka membangun Pura Merajan yang selanjutnya bernama Pura Taman Sari. Di Desa Budakeling Danghyang Astapaka memiliki banyak keturunan yang kini dikenal dengan Brahmana Buddha sekaligus sebagai pangempon Pura Taman Tanjung dan Pura Taman Sari.
Foto: Pohon tanjung di Pura Taman Tanjung, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Bebandem, Karangasem.
Sementara Karya Mamungkah lan Nubung Daging di kedua pura itu digelar setiap 30 tahun sekali. Saat puncak karya kemarin, sebanyak 8 sulinggih mapuja dan muput prosesi upacara. Rangkaian upacara di bawah koordinasi Ida Pedanda Gede Karang Kerta Nustana dari Griya Sukayasa Tegal Manggis, Banjar Saren Kangin, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem.
Prosesinya berawal dari nedunang pralingga, pratima, dan pusaka Ida Bhatara Dang Hyang Astapaka, selanjutnya mapurwadaksina dengan melintasi lantaran dengan titi mahmah kebo buda Cemeng sebanyak tiga kali. Selanjutnya seluruh pralingga dan pratima Ida Bhatara kembali kalinggihang di bale pesamuan.
Selama prosesi upacara juga mementaskan Tari Rejang Dewa sebanyak 16 penari pentas dari Banjar Adat Tilem, Desa Budakeling. Selain itu juga mementaskan 26 penari rejang titi mahmah, tari topeng Sidha karya dengan penari Ida Made Basmadi dari Griya Tengah, Banjar Abang Kaler, Desa/Kecamatan Abang, dan wayang kulit dengan dalang Ida Nyoman Sugata.
Sebanyak delapan sulinggih yang muput upacara itu, yakni Ida Pedanda Gede Wayan Datah, Ida Pedanda Gede Made Jelantik Padang, Ida Pedanda Wayan Sogata, Ida Pedanda Gede Jelantik, Ida Pedanda Gede Rai Gunung Ketewel, Ida Pedanda Gede Jelantik Sidemen, Ida Pedanda Istri Karang dan Ida Pedanda Istri Singarsa.
Ida Pedanda Gede Karang Kerta Nustana mengungkapkan Karya Mamungkah lan Nubung Daging di Pura Taman Tanjung terakhir digelar pada tahun 1993. “Saat ini setelah genap 30 tahun kembali menggelar Karya Nubung Daging. Karya ini dilaksanakan untuk menambah panca datu di setiap dasar palinggih,” jelas sulinggih yang semasih walaka bernama Ida Wayan Jelantik Oyo ini. Tujuan mendem panca datu lanjut sang sulinggih, agar kesakralan dan kesucian setiap palinggih tetap terjaga.
Prosesinya berawal dari nedunang pralingga, pratima, dan pusaka Ida Bhatara Dang Hyang Astapaka, selanjutnya mapurwadaksina dengan melintasi lantaran dengan titi mahmah kebo buda Cemeng sebanyak tiga kali. Selanjutnya seluruh pralingga dan pratima Ida Bhatara kembali kalinggihang di bale pesamuan.
Selama prosesi upacara juga mementaskan Tari Rejang Dewa sebanyak 16 penari pentas dari Banjar Adat Tilem, Desa Budakeling. Selain itu juga mementaskan 26 penari rejang titi mahmah, tari topeng Sidha karya dengan penari Ida Made Basmadi dari Griya Tengah, Banjar Abang Kaler, Desa/Kecamatan Abang, dan wayang kulit dengan dalang Ida Nyoman Sugata.
Sebanyak delapan sulinggih yang muput upacara itu, yakni Ida Pedanda Gede Wayan Datah, Ida Pedanda Gede Made Jelantik Padang, Ida Pedanda Wayan Sogata, Ida Pedanda Gede Jelantik, Ida Pedanda Gede Rai Gunung Ketewel, Ida Pedanda Gede Jelantik Sidemen, Ida Pedanda Istri Karang dan Ida Pedanda Istri Singarsa.
Ida Pedanda Gede Karang Kerta Nustana mengungkapkan Karya Mamungkah lan Nubung Daging di Pura Taman Tanjung terakhir digelar pada tahun 1993. “Saat ini setelah genap 30 tahun kembali menggelar Karya Nubung Daging. Karya ini dilaksanakan untuk menambah panca datu di setiap dasar palinggih,” jelas sulinggih yang semasih walaka bernama Ida Wayan Jelantik Oyo ini. Tujuan mendem panca datu lanjut sang sulinggih, agar kesakralan dan kesucian setiap palinggih tetap terjaga.
Foto: Ida Pedanda Gede Karang Kerta Nustana. -NANTRA
Panglingsir pangempon Pura Taman Tanjung, Ida Made Alit menambahkan Pura Taman Tanjung yang berdiri abad ke-14 merupakan tempat pasraman Ida Bhatara Danghyang Astapaka. Guna mengenang keberadaan Ida Bhatara Danghyang Astapaka, maka semeton keturunan Buddha mendirikan pura.
“Di Pura Taman Tanjung digelar Karya Nubung Daging tiap 30 tahun sekali. Sebagai bukti sejarah, masih tumbuh pohon tanjung setinggi sekitar 8 meter di lokasi ini. Itu tongkat Ida Bhatara Danghyang Astapaka yang beliau tancapkan tumbuh jadi pohon tanjung,” jelas Ida Made Alit.
Ida Made Alit menuturkan Ida Bhatara Danghyang Astapaka-lah yang menurunkan keturunan brahmana Buddha di Desa Budakeling. Sebenarnya peninggalan Ida Bhatara Danghyang Astapaka ada dua, yakni Pura Taman Tanjung sebagai pasraman dan Pura Taman Sari adalah sebagai Pura Merajan.
Karya Mamungkah lan Nubung Daging di Pura Taman Tanjung itu masineb pada Anggara Umanis Kuningan, Selasa (8/8) mendatang.
Dihimpun dari sejumlah sumber, Danghyang Astapaka atau Mpu Astapaka adalah seorang pendeta Siwa-Buddha yang melakukan perjalanan suci Dharmayadnya ke Bali pada tahun 1530 Masehi atas permohonan Raja Dalem Waturenggong agar dapat melaksanakan Yadna Homa (Agnihotra) demi kesejahteraan rakyat di kerajaan Bali. Ia merupakan putera dari Danghyang Angsoka. Dalam Babad Karangasem juga disebutkan, Danghyang Astapaka merupakan guru dari I Gusti Oka (raja ke-2 Karangasem), yang mempunyai pesraman di Bukit Mangun, di Desa Toya Anyar. Dalam silsilah dan kisah bhagawanta, Dang Hyang Astapaka merupakan putra dari Danghyang Angsoka dan juga keponakan dari Danghyang Nirartha. 7 k16
1
Komentar