Ngelawar Penampahan Purnama
TAK pernah Wayan Lonod segeram hari-hari belakangan ini. Dia jengkel, marah, bersungut-sungut, gara-gara sekelompok cerdik pandai berpendapat kalau Penampahan Galungan bertepatan dengan hari purnama, dilarang ngelawar, memotong ayam apalagi babi.
Seumur-umur baru kali ini Lonod mendengar pendapat seseram itu. “Mereka sudah semau gue, ngomong suka-suka,” katanya kepada siapa saja kenalan yang dia jumpai di jalan.
Bagi Lonod, Penampahan itu peristiwa penting untuk menjamu leluhur. Penampahan Galungan tujuh bulan lalu, dia sangat gelisah gara-gara daging babi yang ia pesan tak kunjung datang. Hari kian merangkak siang, dia mondar-mandir di depan rumah, kemudian berdiri di ujung gang. Pensiunan itu celingak-celinguk, bercelana pendek, komat-kamit, kadang menggerutu. Tak jelas yang dia ucapkan, gelagatnya seperti orang gelisah, tak sabar menunggu.
Rekannya sebaya, Ketut Aget, warga satu banjar, pensiunan juga, kebetulan lewat, lagi jalan pagi. Tentu Aget heran menyaksikan Lonod uring-uringan.
“Jam segini belum juga datang. Dasar pemalas.”
“Siapa?”
“Itu, yang janji mengantar daging babi, buat lawar.”
“Kamu masih suka ngelawar, Lon? Setua ini kamu masih suka menyantap lawar? Jaga kesehatan, lawar tak bagus buat lansia. Bikin tensi, kolesterol, dan asam urat naik.”
“Ngelawar buat aku dan keluarga itu harus, Tut. Ini pesan leluhur, warisan suci. Berani melanggar, kutukan risikonya.”
Ketut Aget tertawa terbahak-bahak. “Alasan saja,” ujarnya terus terkekeh.
“Lho, serius, kakek dan ayahku berpesan, jika Penampahan Galungan usahakan sebisa-bisanya keluarga kita harus ngelawar. Harus ada bunyi talenan tek… tek… tek...”
Lonod menjelaskan, jika hari-hari menjelang Galungan, para leluhur datang ke bumi, mengunjungi anak-cucu-cicit mereka. Tentu mereka lapar setelah menempuh perjalanan jauh. Nah, jika melihat keturunan mereka ngelawar, mereka senang, minta disuguhi adonan daging dicincang dicampur sayur itu. Mereka akan menyantap lawar bersama kita. “Karena itulah, ngelawar itu bagi orang Bali, harus, Tut. Tak peduli purnama atau tidak.”
Ngelawar melibatkan banyak orang, repot, tapi dilakoni penuh kegembiraan. Lambat laun, tidak hanya ketika odalan orang-orang ngelawar, juga hari-hari penting seperti pernikahan atau ngaben. Lawar menjadi suguhan pasti hadir di setiap upacara adat dan keagamaan. “Tidak ngelawar, tak seru. Ngelawar itu harus,” ujar mereka.
Banyak pendapat muncul, jika hendak menikmati lawar yang sesungguhnya, rasakanlah lawar yang dibuat ketika hari-hari raya dan hari suci itu. “Pasti lezat,” komentar banyak orang. Alasan mereka, karena lawar itu dibuat penuh kegembiraan, rasanya pun jadi riang gembira. Jika ada anak-anak muda ngelawar menjelang mengarak ogoh-ogoh saat pangerupukan, rasanya pun jadi lezat bukan main. “Karena ya itu, dibuat dengan hepi,” ujar mereka.
Hari itu, Lonod akhirnya ngelawar, meski telat. Dia haturkan sejumput lawar-lawar itu di merajan, di depan pintu gerbang rumah, juga di dapur. Dia sangat yakin, ayah, kakek, dan buyutnya bersama para leluhur, pasti datang menikmati sari-sari lawar itu.
Dia juga mengantar lawar ke rumah temannya, Ketut Aget. “Makanlah, sedikit gak apa-apa. Jangan kebanyakan, bisa sakit. Makanya kubawakan kamu sedikit saja, Tut.”
Ketut Aget tersenyum-senyum, langsung mencicipi lawar olahan temannya yang ditaburi berambang goreng, dicampur limau, aromanya pun sedap dan gurih.
“Bagaimana? Kanggoang, seadanya.”
“Enak… enak… enak,” komentar Aget mengacungkan jempol. Dia pun foto selfi. “Mau kuposting nanti di medsos, biar teman-teman kita ngiler.”
Di hari Penampahan Galungan pas purnama kali ini, dia datangi Ketut Aget dengan riang gembira. “Ayo Tut, kita ngelawar Penampahan Galungan pas purnama, harus kita rayakan dengan meriah.”
Tentu Ketut Aget kaget. “Aku tidak boleh makan lawar, Lon. Kalau ngelawar sih boleh-boleh saja, tapi siapa yang makan?”
“Aku sudah beli daging babi dua puluh lima kilo. Kita ajak teman-teman ngelawar bareng di rumahku.”
“Sebanyak itu? Buat siapa?”
“Kita bikin tum yang banyak, urutan, be balung, sate tusuk, sate lilit, kita bagi-bagi buat teman, kerabat, keluarga, tetangga. Penampahan pas ketemu purnama, jarang terjadi, mesti dirayakan semeriah mungkin.”
Ketut Aget tertawa, dia ajak tiga teman pensiunan lain ngelawar di rumah Lonod. Mereka ngelawar sembari tertawa-tawa, bertukar kisah, kadang-kadang dibumbui cerita-cerita porno dan disambut ha-ha-ha. Rame pokoknya. Semua berkat Penampahan bertepatan dengan hari purnama. 7
Bagi Lonod, Penampahan itu peristiwa penting untuk menjamu leluhur. Penampahan Galungan tujuh bulan lalu, dia sangat gelisah gara-gara daging babi yang ia pesan tak kunjung datang. Hari kian merangkak siang, dia mondar-mandir di depan rumah, kemudian berdiri di ujung gang. Pensiunan itu celingak-celinguk, bercelana pendek, komat-kamit, kadang menggerutu. Tak jelas yang dia ucapkan, gelagatnya seperti orang gelisah, tak sabar menunggu.
Rekannya sebaya, Ketut Aget, warga satu banjar, pensiunan juga, kebetulan lewat, lagi jalan pagi. Tentu Aget heran menyaksikan Lonod uring-uringan.
“Jam segini belum juga datang. Dasar pemalas.”
“Siapa?”
“Itu, yang janji mengantar daging babi, buat lawar.”
“Kamu masih suka ngelawar, Lon? Setua ini kamu masih suka menyantap lawar? Jaga kesehatan, lawar tak bagus buat lansia. Bikin tensi, kolesterol, dan asam urat naik.”
“Ngelawar buat aku dan keluarga itu harus, Tut. Ini pesan leluhur, warisan suci. Berani melanggar, kutukan risikonya.”
Ketut Aget tertawa terbahak-bahak. “Alasan saja,” ujarnya terus terkekeh.
“Lho, serius, kakek dan ayahku berpesan, jika Penampahan Galungan usahakan sebisa-bisanya keluarga kita harus ngelawar. Harus ada bunyi talenan tek… tek… tek...”
Lonod menjelaskan, jika hari-hari menjelang Galungan, para leluhur datang ke bumi, mengunjungi anak-cucu-cicit mereka. Tentu mereka lapar setelah menempuh perjalanan jauh. Nah, jika melihat keturunan mereka ngelawar, mereka senang, minta disuguhi adonan daging dicincang dicampur sayur itu. Mereka akan menyantap lawar bersama kita. “Karena itulah, ngelawar itu bagi orang Bali, harus, Tut. Tak peduli purnama atau tidak.”
Ngelawar melibatkan banyak orang, repot, tapi dilakoni penuh kegembiraan. Lambat laun, tidak hanya ketika odalan orang-orang ngelawar, juga hari-hari penting seperti pernikahan atau ngaben. Lawar menjadi suguhan pasti hadir di setiap upacara adat dan keagamaan. “Tidak ngelawar, tak seru. Ngelawar itu harus,” ujar mereka.
Banyak pendapat muncul, jika hendak menikmati lawar yang sesungguhnya, rasakanlah lawar yang dibuat ketika hari-hari raya dan hari suci itu. “Pasti lezat,” komentar banyak orang. Alasan mereka, karena lawar itu dibuat penuh kegembiraan, rasanya pun jadi riang gembira. Jika ada anak-anak muda ngelawar menjelang mengarak ogoh-ogoh saat pangerupukan, rasanya pun jadi lezat bukan main. “Karena ya itu, dibuat dengan hepi,” ujar mereka.
Hari itu, Lonod akhirnya ngelawar, meski telat. Dia haturkan sejumput lawar-lawar itu di merajan, di depan pintu gerbang rumah, juga di dapur. Dia sangat yakin, ayah, kakek, dan buyutnya bersama para leluhur, pasti datang menikmati sari-sari lawar itu.
Dia juga mengantar lawar ke rumah temannya, Ketut Aget. “Makanlah, sedikit gak apa-apa. Jangan kebanyakan, bisa sakit. Makanya kubawakan kamu sedikit saja, Tut.”
Ketut Aget tersenyum-senyum, langsung mencicipi lawar olahan temannya yang ditaburi berambang goreng, dicampur limau, aromanya pun sedap dan gurih.
“Bagaimana? Kanggoang, seadanya.”
“Enak… enak… enak,” komentar Aget mengacungkan jempol. Dia pun foto selfi. “Mau kuposting nanti di medsos, biar teman-teman kita ngiler.”
Di hari Penampahan Galungan pas purnama kali ini, dia datangi Ketut Aget dengan riang gembira. “Ayo Tut, kita ngelawar Penampahan Galungan pas purnama, harus kita rayakan dengan meriah.”
Tentu Ketut Aget kaget. “Aku tidak boleh makan lawar, Lon. Kalau ngelawar sih boleh-boleh saja, tapi siapa yang makan?”
“Aku sudah beli daging babi dua puluh lima kilo. Kita ajak teman-teman ngelawar bareng di rumahku.”
“Sebanyak itu? Buat siapa?”
“Kita bikin tum yang banyak, urutan, be balung, sate tusuk, sate lilit, kita bagi-bagi buat teman, kerabat, keluarga, tetangga. Penampahan pas ketemu purnama, jarang terjadi, mesti dirayakan semeriah mungkin.”
Ketut Aget tertawa, dia ajak tiga teman pensiunan lain ngelawar di rumah Lonod. Mereka ngelawar sembari tertawa-tawa, bertukar kisah, kadang-kadang dibumbui cerita-cerita porno dan disambut ha-ha-ha. Rame pokoknya. Semua berkat Penampahan bertepatan dengan hari purnama. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
Pengarang
Komentar