'Umanis Galungan Sangat Tepat Melakukan Tradisi Ngelawang'
DENPASAR, NusaBali - Saat Umanis Galungan anak-anak terlihat membawa barong dan memainkan gamelan sederhana, melakukan 'atraksi' dari rumah ke rumah. Aktivitas yang dikenal sebagai 'ngelawang' ini bukan sekadar pertunjukan biasa, namun memiliki filosofi yang bernilai di baliknya.
Budayawan Bali I Gede Anom Ranuara atau yang akrab disapa Guru Anom mengatakan, tradisi ngelawang dapat ditelusuri melalui karya rohaniawan, sastrawan Ida Pedanda Made Sidemen yakni Siwagama yang dikenal juga dengan tutur Barong Swari.
Dalam karya tersebut dikisahkan Dewi Uma turun ke bumi dalam rupa Dewi Durga yang menyeramkan. Pun Bhatara Guru atau Dewa Siwa turun ke bumi dalam rupa Kala Rudra. Kedua pasangan bersenggama di bumi melahirkan berbagai bentuk makhluk halus seperti gamang, memedi, samar, tonya, dan lainnya yang kemudian menjadi sumber penyakit.
Singkat kisah, Dewa Tri Semaya yakni Brahma, Wisnu, dan Iswara kemudian turun ke bumi untuk menghentikan wabah yang merebak. Mereka berganti wujud dalam rupa Tapel Bang, Tapel Petak, dan Dalang, mengadakan pementasan yang menghibur. Dengan hiburan ini Tri Semaya menetralisir situasi agar Kala Ludra dan Dewi Durga kembali ke asalnya yaitu Dewa Siwa dan Dewi Uma.
"Tradisi ini di Bali karena menghibur dari pintu ke pintu disebutlah ngelawang. Kata ngelawang itu berasal dari kata lawang yang artinya pintu. Berarti bergerak dari pintu ke pintu untuk membuat hiburan," jelas budayawan asal Kesiman, Denpasar, kepada NusaBali, Kamis (3/8).
Konteks kini, Guru Anom mengajak untuk memaknai ngelawang sebagai upaya dalam menetralisir 'wabah' yang ada dalam diri berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak sesuai ajaran dharma.
"Ketika kita mampu menetralisir emosional dalam diri dengan memproporsionalkan Tri Guna yang ada dalam diri yang sering kita sebut kemenangan Dharma melawan Adharma," sebutnya.
Pada hari Umanis Galungan yang penuh kegembiraan menurutnya sangat tepat untuk melakukan kegiatan ngelawang. Pada sehari setelah Galungan ini anak-anak dapat dengan sukacita melakukan kegiatan berkesenian.
Anak-anak dapat mengembangkan kreativitasnya melalui kegiatan seni berkeliling banjar atau desa. Selain untuk menghargai tradisi lambat laun mereka akan mengenal makna yang ada di balik pertunjukan yang dilakukan. Pun, ketika beberapa warga memberikan uang menjadi tambahan motivasi bagi anak-anak untuk terus melestarikan tradisi leluhur.
"Secara tidak langsung ada suatu edukasi kepada anak bagaimana kita menyikapi sebuah tradisi. Kenal aja dulu, nanti spontanitas mereka akan bertanya untuk apa sih, dari mana sih. Dari pertanyaan itu kita bisa memasuki. Secara mendasar filosofi akan bisa masuk ke dalam dirinya, daripada kita doktrin, bisa minder dia," ujar Guru Anom. 7 cr78
Dalam karya tersebut dikisahkan Dewi Uma turun ke bumi dalam rupa Dewi Durga yang menyeramkan. Pun Bhatara Guru atau Dewa Siwa turun ke bumi dalam rupa Kala Rudra. Kedua pasangan bersenggama di bumi melahirkan berbagai bentuk makhluk halus seperti gamang, memedi, samar, tonya, dan lainnya yang kemudian menjadi sumber penyakit.
Singkat kisah, Dewa Tri Semaya yakni Brahma, Wisnu, dan Iswara kemudian turun ke bumi untuk menghentikan wabah yang merebak. Mereka berganti wujud dalam rupa Tapel Bang, Tapel Petak, dan Dalang, mengadakan pementasan yang menghibur. Dengan hiburan ini Tri Semaya menetralisir situasi agar Kala Ludra dan Dewi Durga kembali ke asalnya yaitu Dewa Siwa dan Dewi Uma.
"Tradisi ini di Bali karena menghibur dari pintu ke pintu disebutlah ngelawang. Kata ngelawang itu berasal dari kata lawang yang artinya pintu. Berarti bergerak dari pintu ke pintu untuk membuat hiburan," jelas budayawan asal Kesiman, Denpasar, kepada NusaBali, Kamis (3/8).
Konteks kini, Guru Anom mengajak untuk memaknai ngelawang sebagai upaya dalam menetralisir 'wabah' yang ada dalam diri berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak sesuai ajaran dharma.
"Ketika kita mampu menetralisir emosional dalam diri dengan memproporsionalkan Tri Guna yang ada dalam diri yang sering kita sebut kemenangan Dharma melawan Adharma," sebutnya.
Pada hari Umanis Galungan yang penuh kegembiraan menurutnya sangat tepat untuk melakukan kegiatan ngelawang. Pada sehari setelah Galungan ini anak-anak dapat dengan sukacita melakukan kegiatan berkesenian.
Anak-anak dapat mengembangkan kreativitasnya melalui kegiatan seni berkeliling banjar atau desa. Selain untuk menghargai tradisi lambat laun mereka akan mengenal makna yang ada di balik pertunjukan yang dilakukan. Pun, ketika beberapa warga memberikan uang menjadi tambahan motivasi bagi anak-anak untuk terus melestarikan tradisi leluhur.
"Secara tidak langsung ada suatu edukasi kepada anak bagaimana kita menyikapi sebuah tradisi. Kenal aja dulu, nanti spontanitas mereka akan bertanya untuk apa sih, dari mana sih. Dari pertanyaan itu kita bisa memasuki. Secara mendasar filosofi akan bisa masuk ke dalam dirinya, daripada kita doktrin, bisa minder dia," ujar Guru Anom. 7 cr78
1
Komentar