Tempat Malukat, Mohon Kesehatan, Usaha, Keturunan hingga Taksu
Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading, Mengwi, Badung Jadi Tujuan Tirtayatra Saat Galungan
Untuk memulai perjalanan spiritual di pura yang memiliki taman beji dan campuhan ini, pamedek (umat) diharapkan meminta petunjuk lebih dulu ke pamangku
MANGUPURA, NusaBali
Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading, Kelurahan Sading, Kecamatan Mengwi, Badung ramai dikunjungi keluarga yang malukat dan matirtayatra pada Umanis Galungan, Wraspati Umanis Dungulan, Kamis (3/8). Pura yang dikenal unik berada di dalam gua berlubang memperlihatkan langit ini sangat mudah diakses. Hanya sekitar 450 meter dari jalan utama, Jalan Raya Sading dengan akses gang yang sudah mulus diaspal.
Kemudahan akses ini menjadi salah satu faktor Pura Kereban Langit dituju keluarga untuk 'membersihkan' diri. Di samping itu, juga untuk memohon berbagai petunjuk mulai dari kesehatan, bisnis, keturunan, dan taksu. Seperti rombongan Koming Ariata,44, yang mengajak dua keluarga lainnya untuk mengisi momen Umanis Galungan. Seniman asal Blahbatuh, Gianyar ini mengaku datang untuk memohon kesehatan.
"Kami tangkil (datang) untuk berekreasi sambil maaturan (memberikan persembahan)," kata Koming ketika dijumpai di Pura Kereban Langit pada Kamis siang bersama 17 orang rombongannya. Ia mengaku tangkil tanpa keinginan yang neko-neko. Baginya memohon keselamatan dan kesehatan adalah yang terpenting. Kata Koming, sebagai seniman, taksu akan datang sendiri ketika kondisi sehat dan selamat.
Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading, Kelurahan Sading, Kecamatan Mengwi, Badung ramai dikunjungi keluarga yang malukat dan matirtayatra pada Umanis Galungan, Wraspati Umanis Dungulan, Kamis (3/8). Pura yang dikenal unik berada di dalam gua berlubang memperlihatkan langit ini sangat mudah diakses. Hanya sekitar 450 meter dari jalan utama, Jalan Raya Sading dengan akses gang yang sudah mulus diaspal.
Kemudahan akses ini menjadi salah satu faktor Pura Kereban Langit dituju keluarga untuk 'membersihkan' diri. Di samping itu, juga untuk memohon berbagai petunjuk mulai dari kesehatan, bisnis, keturunan, dan taksu. Seperti rombongan Koming Ariata,44, yang mengajak dua keluarga lainnya untuk mengisi momen Umanis Galungan. Seniman asal Blahbatuh, Gianyar ini mengaku datang untuk memohon kesehatan.
"Kami tangkil (datang) untuk berekreasi sambil maaturan (memberikan persembahan)," kata Koming ketika dijumpai di Pura Kereban Langit pada Kamis siang bersama 17 orang rombongannya. Ia mengaku tangkil tanpa keinginan yang neko-neko. Baginya memohon keselamatan dan kesehatan adalah yang terpenting. Kata Koming, sebagai seniman, taksu akan datang sendiri ketika kondisi sehat dan selamat.
Sementara itu, Pamangku Pura Kereban Langit, Jero Mangku I Ketut Witera,68, menjelaskan bahwa ia menerima siapa saja untuk tangkil. Sebagai pamangku, ia hanya sebagai perantara saja, sisanya berserah pada Ida Bhatara-Bhatari yang berstana. "Paling ramai itu justru pada saat Purnama dan Tilem," jelas Jero Mangku Witera ketika dijumpai pada Kamis siang. Untuk memulai perjalanan spiritual di pura yang memiliki taman beji dan campuhan ini, pamedek (umat) diharapkan meminta petunjuk lebih dulu ke pamangku. Biasanya yang ingin malukat, diharapkan membawa kelungah nyuh gading selain banten pejati yang dibawa.
Langkah pertama, membersihkan diri di taman beji yang memiliki Pancakatirta atau lima mata air. Lima mata air itu adalah pangleburan, panglukatan, prascita, pawintenan, dan kemakmuran. Setelah bersih, dilanjutkan dengan malukat di madya mandala dengan kelapa gading. Pasca dua langkah panglukatan ini, pamedek sudah dalam kondisi bersih dan siap atau boleh memasuki utama mandala yang ada di dalam gua.
Di utama mandala inilah berstana manifestasi Tuhan dengan berbagai fungsinya: Ratu Gede Nyeneng, Ratu Niang, Ratu Made, Ratu Ayu, dan Kanjeng Ratu Segara Batubolong. Pamedek diperkenankan bersembahyang sembari memberitahukan maksud dan tujuan untuk tangkil. "Tujuannya bermacam-macam, mulai dari urusan tamba (obat), bisnis, masalah keluarga, taksu, bahkan terkait jabatan," tutur Jero Mangku Witera.
Apabila ingin memohon tamba, diharapkan membawa kelungah nyuh gadang. Dalam beberapa kasus, proses memohon tamba di Pura Kereban Langit bahkan membocorkan pihak yang menyakiti melalui pemohon tamba yang kerauhan. Akan tetapi, Jero Mangku Witera berharap pihak yang memohon tamba tidak berfokus kepada pihak yang menyakiti itu. Sebab, tidak akan ada nilai baiknya selain menambah luka. Jauh lebih baik fokus pada sanak keluarga yang sedang memerlukan kesembuhan.
Selain pamedek dari kalangan keluarga dari krama Bali, kemarin ada pula sepasang suami-istri warga negara asing (WNA) asal Kroasia yang tampak tangkil ke Pura Kereban Langit dengan bawaan sarana yang lengkap. Pujawali di Pura Kereban Langit jatuh pada Buda Cemeng Ukir.
Foto: Pasangan suami-istri asal Kroasia yang tangkil ke Pura Kereban Langit, Kamis (3/8). -NGURAH RATNADI
Dilansir dari sejarahbali.com asal-usul ditemukannya Pura Kereban Langit diperkirakan kurang lebih pada tahun Saka 923 sekitar atau sekitar tahun 1001 Masehi. Dari wawancara dengan Jero Mangku Witera disebutkan Pura Kereban Langit konon ditemukan pada Pemerintahan Sri Udayana. Saat itu Beliau lama tidak memiliki keturunan, lalu ada pawisik dari Batara-Batari Gunung Kulangkir atau Gunung Agung agar beliau memohon restu guna mencari Tirta Slaka di Gua Kereban Langit.
"Diutuslah salah satu Brahmana bersama seorang patih guna menelusuri keberadaan Pura tersebut. Akhirnya, ditemukanlah Pura tepatnya di Desa Sading, Badung ini di sini,” papar Jero Mangku Witera. Kemudian Beliau (Sri Udayana) masuk ke gua dan di dalam gua ada seorang pertapa. Pertapa tersebut ceritanya konon ingin lari karena mengira dirinya ingin dibunuh. Akan tetapi yang mencari tirta hanyalah seorang Pedanda dan seorang patih.
"Mereka menanyakan keberadaan tirta akhirnya diberi tahulah bahwa, tirta tersebut berada di pancoran kemudian diambil tirta tersebut dan dimohonkan ke hadapan Betara Betari di Pura Kereban Langit kemudian dihaturkan ke kerajaan, " katanya. Jero Mangku Witera menambahkan setelah meminum tirta selang beberapa bulan sang Permaisuri hamil dari kehamilan tersebut permaisuri melahirkan anak kembar buncing, laki-laki dan perempuan bernama Sri Masula dan Sri Masuli.
Pada saat itu tempat ini memang seperti hutan, namun petunjuk Raja waktu itu Pura berada di dalam gua. "Dia menengok dari atas gua dan turun perlahan-lahan sampai di bawah ditemukanlah pancoran bernama tirta Slaka itu. Secara spiritual sebagian orang menyebutkan lorong gua katanya tembus di Gunung Kulangkir atau Gunung Agung karena berkaitan dengan pawisik tetapi secara nyata ada lubang, tapi belum ada yang menyusurinya lebih jauh lagi,” bebernya. 7 ol1
1
Komentar