MUTIARA WEDA : Kesempurnaan Manusia
Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk.
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking jaruna wwang juga,
wenang gumawayaken ikang subhdsubha karma.
(Sarasamucchaya, 2)
Dalam banyak kitab dinyatakan bahwa di antara semua makhluk, manusia adalah yang paling sempurna. Hampir seluruh peradaban yang pernah eksis di muka bumi ini mempercayai hal itu. Sehingga dikultuskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini diperuntukkan untuk kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Menerjemahkan kultus tersebut, manusia berpikir bahwa apapun yang ada, baik di darat, di air maupun di udara boleh digunakan sebanyak-banyaknya untuk keinginan manusia. Tidak salah jika eksploitasi terhadap alam terjadi secara massif.
Belakangan, ketika disinyalir bahwa kerusakan dan kepunahan bumi disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, membuat sebagian manusia sadar, bahwa kultus atas kesempurnaan dirinya dibandingkan makhluk lain mesti didefinisi ulang. Pemahaman antroposentris seperti ini adalah hal yang keliru dan berbahaya. Kesempurnaan manusia tidak dimaksudkan dalam hal eksploitasi, melainkan sebaliknya, untuk melestarikan keberlangsungan hidup itu sendiri. Ketika pemanasan global terjadi, ketika ozon berlubang, ketika polusi terjadi baik di udara, di air maupun di tanah, semua orang berkepentingan untuk mengubah cara pandangnya yang selama ini mapan dan seolah-olah didukung oleh kitab suci.
Jika dilihat dari teks di atas, kesempurnaan manusia tidaklah dalam hal pemanfaatan kekayaan alam atau eksploitasi berlebihan, melainkan dalam hal berbuat baik dan buruk. Dibandingkan makhluk lain, manusia bisa jauh lebih kejam dibandingkan hewan paling buas sekalipun. Demikian juga manusia bisa menjadi paling baik dibandingkan hewan yang terbaik. Hanya manusia yang hidupnya seperti pendulum, bisa ke kanan dan bisa ke kiri. Hewan lain tidak memiliki piranti itu. Sebuas-buasnya singa tidak pernah membunuh seluruh gerombolan kijang yang ada di hutan. Mereka hanya membunuh sejumlah yang diperlukan. Demikian juga hewan lainnya, perilaku dan kualitas hidupnya telah ditakar dengan takaran yang hampir pasti. Namun manusia dalam hal takaran tidak memiliki batasan. Dia bisa berada di dasar tetapi bisa pula ada di puncak. Bila kesadarannya diselimuti awan kebodohan, ia akan berada di dasar neraka, tetapi jika kesadarannya dijernihkan, dia akan mencapai puncak ketinggiannya.
Probabilitas hanya terletak pada diri manusia, sementara hewan telah ditentukan seperti demikian. Sejak dulu sampai sekarang peradaban yang dibangun oleh burung hanya sebatas mampu membuat sarang di dahan pohon. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Sementara manusia, dari jaman ke jaman mengalami perkembangan. Dulu transportasi orang hanya dengan kereta kuda, namun sekarang manusia telah menciptakan kereta cepat dan bahkan pesawat terbang yang orang dulu tidak bisa bayangkan. Probabilitas yang paling signifikan yang dipentingkan oleh kitab suci adalah perkembangan kesadaran manusia itu sendiri. Hanya manusia yang mampu mengubah dirinya dari bandit menjadi Walmiki. Hanya manusia yang mampu mengasah dirinya dari pengemis menjadi Buddha. Manusia mampu menjadikan dirinya dari danawa menjadi madawa.
Keunggulan seperti ini yang dimaksudkan oleh teks di atas, bukan keunggulan untuk mengeksploitasi. Apa yang dipercayai oleh orang selama ini mengenai keunggulannya sendiri menurut teks di atas adalah sisi destruktif saja. Sepanjang manusia menginginkan lebih, maka proses kehancuran itu akan tetap jalan. Jadi, hanya manusia yang mampu menajamkan kebuasan binatang. Jika di dalam diri manusia mengandung kesadaran binatang, maka manusia mampu mengubahnya ribuan bahkan jutaan kali lebih menghancurkan dari binatang itu sendiri. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa manusialah yang mampu meghancurkan atau memelihara bumi ini.
Satu lagi yang dimaksudkan oleh kitab suci di atas adalah kesempurnaan manusia itu dapat mencapai puncaknya hanya ketika mampu hidup berdampingan dengan segala yang ada. Mereka mampu hidup harmonis tidak saling menyakiti satu dengan yang lainnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah saling-keterhubungan. Jika satu hilang akan mengganggu keseimbangan yang ada. Kesempurnaan yang dimaksud adalah seperti ini, bukan kesempurnaan untuk bergaya, berpoya-poya, sombong dan yang sejensinya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
wenang gumawayaken ikang subhdsubha karma.
(Sarasamucchaya, 2)
Dalam banyak kitab dinyatakan bahwa di antara semua makhluk, manusia adalah yang paling sempurna. Hampir seluruh peradaban yang pernah eksis di muka bumi ini mempercayai hal itu. Sehingga dikultuskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini diperuntukkan untuk kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Menerjemahkan kultus tersebut, manusia berpikir bahwa apapun yang ada, baik di darat, di air maupun di udara boleh digunakan sebanyak-banyaknya untuk keinginan manusia. Tidak salah jika eksploitasi terhadap alam terjadi secara massif.
Belakangan, ketika disinyalir bahwa kerusakan dan kepunahan bumi disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, membuat sebagian manusia sadar, bahwa kultus atas kesempurnaan dirinya dibandingkan makhluk lain mesti didefinisi ulang. Pemahaman antroposentris seperti ini adalah hal yang keliru dan berbahaya. Kesempurnaan manusia tidak dimaksudkan dalam hal eksploitasi, melainkan sebaliknya, untuk melestarikan keberlangsungan hidup itu sendiri. Ketika pemanasan global terjadi, ketika ozon berlubang, ketika polusi terjadi baik di udara, di air maupun di tanah, semua orang berkepentingan untuk mengubah cara pandangnya yang selama ini mapan dan seolah-olah didukung oleh kitab suci.
Jika dilihat dari teks di atas, kesempurnaan manusia tidaklah dalam hal pemanfaatan kekayaan alam atau eksploitasi berlebihan, melainkan dalam hal berbuat baik dan buruk. Dibandingkan makhluk lain, manusia bisa jauh lebih kejam dibandingkan hewan paling buas sekalipun. Demikian juga manusia bisa menjadi paling baik dibandingkan hewan yang terbaik. Hanya manusia yang hidupnya seperti pendulum, bisa ke kanan dan bisa ke kiri. Hewan lain tidak memiliki piranti itu. Sebuas-buasnya singa tidak pernah membunuh seluruh gerombolan kijang yang ada di hutan. Mereka hanya membunuh sejumlah yang diperlukan. Demikian juga hewan lainnya, perilaku dan kualitas hidupnya telah ditakar dengan takaran yang hampir pasti. Namun manusia dalam hal takaran tidak memiliki batasan. Dia bisa berada di dasar tetapi bisa pula ada di puncak. Bila kesadarannya diselimuti awan kebodohan, ia akan berada di dasar neraka, tetapi jika kesadarannya dijernihkan, dia akan mencapai puncak ketinggiannya.
Probabilitas hanya terletak pada diri manusia, sementara hewan telah ditentukan seperti demikian. Sejak dulu sampai sekarang peradaban yang dibangun oleh burung hanya sebatas mampu membuat sarang di dahan pohon. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Sementara manusia, dari jaman ke jaman mengalami perkembangan. Dulu transportasi orang hanya dengan kereta kuda, namun sekarang manusia telah menciptakan kereta cepat dan bahkan pesawat terbang yang orang dulu tidak bisa bayangkan. Probabilitas yang paling signifikan yang dipentingkan oleh kitab suci adalah perkembangan kesadaran manusia itu sendiri. Hanya manusia yang mampu mengubah dirinya dari bandit menjadi Walmiki. Hanya manusia yang mampu mengasah dirinya dari pengemis menjadi Buddha. Manusia mampu menjadikan dirinya dari danawa menjadi madawa.
Keunggulan seperti ini yang dimaksudkan oleh teks di atas, bukan keunggulan untuk mengeksploitasi. Apa yang dipercayai oleh orang selama ini mengenai keunggulannya sendiri menurut teks di atas adalah sisi destruktif saja. Sepanjang manusia menginginkan lebih, maka proses kehancuran itu akan tetap jalan. Jadi, hanya manusia yang mampu menajamkan kebuasan binatang. Jika di dalam diri manusia mengandung kesadaran binatang, maka manusia mampu mengubahnya ribuan bahkan jutaan kali lebih menghancurkan dari binatang itu sendiri. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa manusialah yang mampu meghancurkan atau memelihara bumi ini.
Satu lagi yang dimaksudkan oleh kitab suci di atas adalah kesempurnaan manusia itu dapat mencapai puncaknya hanya ketika mampu hidup berdampingan dengan segala yang ada. Mereka mampu hidup harmonis tidak saling menyakiti satu dengan yang lainnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah saling-keterhubungan. Jika satu hilang akan mengganggu keseimbangan yang ada. Kesempurnaan yang dimaksud adalah seperti ini, bukan kesempurnaan untuk bergaya, berpoya-poya, sombong dan yang sejensinya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
1
Komentar