MUTIARA WEDA: Altruis dalam Hindu, Adakah?
Yajñārthāt karmano’nyatra loko’yam karmabandhanah, Tadartham karma kaunteya muktasangah samācara. (Bhagavad-gita, III.9)
Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk pengorbanan, dunia ini terikat pada pekerjaan. Oleh karena itu, wahai putra Kunti, lakukanlah pekerjaanmu sebagai pengorbanan, bebaskan dari segala kemelekatan.
ALTRUISME dikatakan lawan dari egoisme. Altruisme memusatkan perhatian pada menolong orang lain tanpa mementingkan hasil, sementara egoisme semata-mata mementingkan diri sendiri. Altruisme dinyatakan sebagai puncak dari moralitas, kebaikan absolut, kebajikan tertinggi. Demi kebahagiaan orang lain kita tidak masalah menderita. Seperti misalnya loyal pada raja, kepada Tuhan atau kepada konsep abstrak seperti patriotisme. Perang kemerdekaan penuh dengan nilai ini. Para pahlawan rela gugur demi bangsa. Dalam Hindu, khususnya teks Bhagavad-gita menyatakan, ‘kerjakan yang menjadi kewajibanmu tanpa terikat dengan hasil!’ atau ‘lakukan tindakan sebagai bentuk pengorbanan’. Apakah ini sebentuk altruisme?
Sepintas tampak sama, dan mungkin sebagian besar orang berpikir demikian. Namun, ada celah yang bisa didiskusikan yang kesimpulannya bisa saja berbeda. Mari kita mulai dengan hipotesis sementara atas teks di atas: ‘Hindu mengajarkan altruisme’. Ada beberapa narasi untuk mendiskusikan ini. Pertama, Krishna mengajarkan kepada Arjuna agar mengerti prinsip kerja semesta yang ada pada dirinya. Pondasi utamanya adalah pemahaman yang benar atas diri, sementara prinsip membela dharma atas adharma dalam masyarakat hanyalah konsekuensi dari tindakan yang dilandasi oleh pemahaman yang benar atas diri itu. Jadi, Krishna tidak semata-mata mengajarkan bahwa Arjuna mesti memerangi adharma yang dilakukan oleh Korawa guna menegakkan dharma, melainkan yang utama adalah memahami secara benar bahwa Sang Diri itu abadi, tak terlahirkan, tak terbunuh, dan bahagia. Kesadaran inilah yang mesti menjadi pondasi dari semua tindakan. Perang adalah bentuk drama kehidupan yang harus dilakoni. Dalam drama kehidupan inilah dharma itu ditegakkan.
Kalau seandainya Arjuna berperang hanya semata-mata untuk membela dharma, dirinya bisa saja menderita demi kepentingan orang lain. Namun, Krishna tidak mengajarkan berperang demi kepentingan orang lain, melainkan berperang oleh karena peran kehidupannya Arjuna memang seperti itu. ‘Bahagialah dalam menjalankan kewajiban, jangan semata-mata bahagia karena hasilnya’, dan konsekuensinya ‘dharma pasti ada di pihaknya’. Itu kesimpulan awal.
Kedua, Krishna menyarankan agar menjadikan kerja sebagai yadnya (pengorbanan). Seperti yang kita pahami bahwa yadnya adalah sebuah tindakan yang berhubungan dengan upaya menyamakan frekuensi antara keinginan kita dengan Realitas Tertinggi (baca: Dewa/Tuhan). Untuk apa penyamaan frekuensi ini? Agar resonansinya balik ke kita. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk anugerah berupa keselamatan, kesejahteraan, rezeki, terhindar dari marabahaya, dan sejenisnya. Teks menyebutkan bahwa dari yadnyalah kesejahteraan ini bermula. Kemudian secara sederhana kita menyatakan: ‘korban suci tulus ikhlas’, itulah yadnya. Prinsip yadnya ini adalah seperti cermin. Saat kita ada di depan cermin, wajah kita ada di sana. Jika wajah kita cantik, maka cantik pula pantulannya. Dengan cara yang sama, jika yadnya dilaksanakan dengan baik, maka kebaikan pula yang hadir, demikian sebaliknya.
Jadi, konsep yadnya adalah seperti melempar batu ke atas, semakin kuat lemparannya, semakin keras jatuhnya. Yadnya seperti melempar dan menangkap. Siapa yang melempar dan menangkap itu? Diri sendiri. Ketika dikatakan ‘jadikan kerja sebagai yadnya’, artinya, tujuannya bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Lalu, jika untuk diri sendiri, apakah itu lawan dari altruis, apakah itu egoisme? Pertanyaan ini sama dengan: ‘Untuk apa pohon kelapa berbuah, apakah untuk kepentingan dirinya atau untuk orang lain?’ Kesempurnaan dari pohon kelapa adalah apabila bisa tumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah. Kalau seandainya pohon itu tidak tumbuh atau tidak berbunga atau tidak berbuah, maka pohon itu tidak mencapai kesempurnaannya. Jadi pohon kelapa berbuah dalam rangka untuk memenuhi kesempurnaan dirinya. Sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Lalu, siapa yang memanfaatkan buahnya? Sepenuhnya bukan dirinya. Inilah yadnya. Yadnya dilakukan sepenuhnya untuk diri sendiri, tetapi hasilnya sepenuhnya dimanfaatkan oleh orang lain. Jadi, yadnya bukan altruis bukan pula egois, atau bisa dikatakan yadnya adalah egois sekaligus altruis secara bersamaan.
Kesimpulannya: Hindu mengajarkan yadnya. Sepenuhnya untuk diri sendiri, dan karenanya sepenuhnya pula bermanfaat bagi orang lain. Bahagia di awal, bahagia di akhir. Satu lilin menyala di awal, semua lilin yang lain menyala di akhir. 7
I Gede Suwantana
Bali Vedanta Society
Komentar