AWK Tak Masalah Desa Adat Bikin 'Pungutan' Asal Nomenklatur Diperhatikan
MANGUPURA, NusaBali.com - Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III atau Arya Wedakarna alias AWK tidak permasalahkan desa adat bikin pungutan dengan beberapa catatan.
Anggota Komite I Bidang Hukum DPD RI Utusan Provinsi Bali ini mengaku mengetahui betul bahwa desa adat memerlukan dukungan dana yang tidak main-main untuk memutar roda peradatan.
Hal ini disampaikan oleh AWK saat beraudiensi dengan Ketua DPRD Kabupaten Badung I Putu Parwata pada Senin (14/8/2023) di Puspem Badung.
"Itu dimungkinkan karena terutama desa adat itu ada Perda (Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali)," ujar AWK kepada awak media di ruang tamu Ketua DPRD Kabupaten Badung.
Namun, ada hal yang harus diperhatikan yakni penyesuaian nomenklatur untuk istilah 'pungutan' atau 'dudukan'. Mengingat, istilah seperti iuran, retribusi, dan sejenisnya dinilai sensitif dari kacamata perundang-undangan.
AWK menyarankan istilah semacam ini dikembalikan ke kacamata adat istiadat di Bali. Misalnya, memakai istilah 'punia' (derma) yang cenderung lebih spesifik mengandung filosofi adat Pulau Dewata.
"Kalau ada jenis pungutan yang nomenklaturnya melanggar undang-undang di atasnya seperti undang-undang kependudukan dan keuangan pasti akan jadi temuan," tegas AWK.
Nomenklatur ini, kata AWK, perlu diharmonisasi hingga ke tingkat perda. Di samping itu, koordinasi dan pencerahan perlu disampaikan ke lembaga vertikal seperti kejaksaan dan kepolisian, termasuk KPK agar tidak simpang siur.
Menurut AWK, dunia peradatan di Bali sangat kompleks dan tidak bisa serta merta dipadankan dengan sudut pandang hukum positif. Untuk itu, menjadi tugasnya di kamar senator agar aparat lembaga vertikal tidak memadang kebijakan adat di Bali dari satu kacamata saja.
"Pungutan-pungutan (untuk desa adat) itu bisa termasuk mekanisme seperti KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman) tapi istilahnya dipakai yang lain," imbuh AWK.
Dukungan AWK agar desa adat menguatkan sumber pendapatan adat yang sah tidak lain lantaran biaya operasional peradatan itu besar. Dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) misalnya, dengan nominal di bawah Rp 500 juta per tahun dinilai sangat kurang.
Faktornya menyangkut biaya operasional peradatan termasuk pelaksanaan piodalan padudusan agung dan berbagai yadnya untuk menjaga kasukretan jagat. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan dana yang sama sekali tidak sedikit. *rat
Hal ini disampaikan oleh AWK saat beraudiensi dengan Ketua DPRD Kabupaten Badung I Putu Parwata pada Senin (14/8/2023) di Puspem Badung.
"Itu dimungkinkan karena terutama desa adat itu ada Perda (Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali)," ujar AWK kepada awak media di ruang tamu Ketua DPRD Kabupaten Badung.
Namun, ada hal yang harus diperhatikan yakni penyesuaian nomenklatur untuk istilah 'pungutan' atau 'dudukan'. Mengingat, istilah seperti iuran, retribusi, dan sejenisnya dinilai sensitif dari kacamata perundang-undangan.
AWK menyarankan istilah semacam ini dikembalikan ke kacamata adat istiadat di Bali. Misalnya, memakai istilah 'punia' (derma) yang cenderung lebih spesifik mengandung filosofi adat Pulau Dewata.
"Kalau ada jenis pungutan yang nomenklaturnya melanggar undang-undang di atasnya seperti undang-undang kependudukan dan keuangan pasti akan jadi temuan," tegas AWK.
Nomenklatur ini, kata AWK, perlu diharmonisasi hingga ke tingkat perda. Di samping itu, koordinasi dan pencerahan perlu disampaikan ke lembaga vertikal seperti kejaksaan dan kepolisian, termasuk KPK agar tidak simpang siur.
Menurut AWK, dunia peradatan di Bali sangat kompleks dan tidak bisa serta merta dipadankan dengan sudut pandang hukum positif. Untuk itu, menjadi tugasnya di kamar senator agar aparat lembaga vertikal tidak memadang kebijakan adat di Bali dari satu kacamata saja.
"Pungutan-pungutan (untuk desa adat) itu bisa termasuk mekanisme seperti KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman) tapi istilahnya dipakai yang lain," imbuh AWK.
Dukungan AWK agar desa adat menguatkan sumber pendapatan adat yang sah tidak lain lantaran biaya operasional peradatan itu besar. Dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) misalnya, dengan nominal di bawah Rp 500 juta per tahun dinilai sangat kurang.
Faktornya menyangkut biaya operasional peradatan termasuk pelaksanaan piodalan padudusan agung dan berbagai yadnya untuk menjaga kasukretan jagat. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan dana yang sama sekali tidak sedikit. *rat
1
Komentar