Ritual Setahun Sekali untuk Menjaga Wewidangan secara Niskala
Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Klungkung, Gelar Tradisi Mejaga–jaga
Tradisi ritual Mejaga–jaga yang mestinya digelar setiap Tilem Sasih Karo, kali ini dimajukan sehari karena bertepatan dengan pasah.
SEMARAPURA, NusaBali
Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan/Kabupaten Klungkung menggelar tradisi ritual ‘Mejaga–jaga’ pada Anggara Pon Langkir, Selasa (15/8) pagi. Tradisi Mejaga–jaga yang bermakna sebagai ritual untuk menjaga wewidangan secara niskala ini digelar setiap Tilem Sasih Karo. Namun karena Tilem Sasih Karo kali ini jatuh pada Buda Wage Langkir, Rabu (16/8) hari ini yang bertepatan dengan pasah (hari yang kurang baik untuk melakukan upacara yadnya, Red), maka tradisi Mejaga–jaga dimajukan, menjadi Selasa kemarin.
Dalam tradisi yang digelar setahun sekali ini, krama rebutan ceceran darah sapi cula yang ditebas, untuk dioleskan ke sekujur tubuh.
Pantauan di lapangan, tradisi ritual Mejaga–jaga dipusatkan di Catus Pata (Perempatan) Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Selasa pagi mulai pukul 07.00 Wita. Diawali dengan ritual memandikan sapi pilihan. Kemudian, sapi yang telah dimandikan itu diarak oleh krama. Saat diarak, sapi tersebut diikat dengan tujuh tali.
Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan/Kabupaten Klungkung menggelar tradisi ritual ‘Mejaga–jaga’ pada Anggara Pon Langkir, Selasa (15/8) pagi. Tradisi Mejaga–jaga yang bermakna sebagai ritual untuk menjaga wewidangan secara niskala ini digelar setiap Tilem Sasih Karo. Namun karena Tilem Sasih Karo kali ini jatuh pada Buda Wage Langkir, Rabu (16/8) hari ini yang bertepatan dengan pasah (hari yang kurang baik untuk melakukan upacara yadnya, Red), maka tradisi Mejaga–jaga dimajukan, menjadi Selasa kemarin.
Dalam tradisi yang digelar setahun sekali ini, krama rebutan ceceran darah sapi cula yang ditebas, untuk dioleskan ke sekujur tubuh.
Pantauan di lapangan, tradisi ritual Mejaga–jaga dipusatkan di Catus Pata (Perempatan) Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Selasa pagi mulai pukul 07.00 Wita. Diawali dengan ritual memandikan sapi pilihan. Kemudian, sapi yang telah dimandikan itu diarak oleh krama. Saat diarak, sapi tersebut diikat dengan tujuh tali.
Pertama kali sapi diarak ke arah utara sampai di ujung desa, tepatnya di depan Pura Puseh Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa. Di lokasi ini, digelar ritual khusus di mana sapi ditebas bagian pantat sebelah kanan oleh Pamangku Catus Pata. Sapi tersebut ditebas menggunakan blakas sudamala yang disakralkan, hingga darahnya berceceran. Darah inilah diperebutkan krama, lalu dioleskan ke sekujur tubuh mereka.
Ceceran darah sapi kurban tersebut diyakini bertuah untuk menjaga wewidangan Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa secara niskala. Selain itu, darah sapi kurban juga dipercaya mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit.
Seusai arak-arakan ke utara, prosesi dilanjutkan dengan mengarak sapi yang sudah terluka ke arah selatan menuju jaba Pura Dalem Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa. Dari jaba Pura Dalem, arak-arakan kembali melewati Catus Pata, kemudian menuju arah timur ke perbatasan Banjar Besang Kawan dan Banjar Besang Kangin. Selanjutnya, arak-arakan menuju arah barat ke areal Pura Prajapati. Terakhir, arak-arakan kembali ke Catus Pata Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa.
Di masing-masing empat penjuru mata angin dan Catus Pata, dilakukan upacara matur piuning dan persembahyangan yang dipimpin para pamangku bersama prajuru desa. Setelah selesai diarak, sapi cula kemudian disembelih dan diolah dagingnya untuk caru, sesuai dengan pangider-ider. Sedangkan kulit dan kepalanya dijadikan bayang-bayang (bagian dari caru). Pengolahan daging dan jeroan sapi cula menjadi bahan caru dilakukan krama di areal Catus Pata Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa.
Bendesa Adat Besang Kawan Tohjiwa I Wayan Sulendra, mengatakan biasanya tradisi Mejaga–jaga ini digelar bertepatan dengan Tilem Sasih Karo. Namun, karena kali ini bertepatan dengan pasah, jadi ritual dimaksud dimajukan sehari. “Hal ini tidak mengurangi makna dari ritual tersebut,” ujar Wayan Sulendra.
Sapi yang digunakan dalam upacara ini harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya sudah dikebiri, tidak boleh ada suku bang (kuku kaki berwarna merah), lidah sapi tidak boleh berwarna poleng, serta tidak boleh ada panjut (ekor sapi berwarna putih). Sebulan sebelum ritual berlangsung, krama berkeliling mencari sapi sesuai syarat tersebut. “Kami mendapatkan sapi ini di wilayah Kabupaten Buleleng,” kata Wayan Sulendra.
“Krama desa adat tidak berani mengubah rentetan tradisi yang sudah diwariskan secara turun-menurun tersebut. Tradisi ini harus dilaksanakan. Dulu pernah ditiadakan karena kesibukan krama yang menggelar upacara ngaben. Akibatnya, tak berselang lama, beberapa krama meninggal mendadak, selain juga terjadi gagal panen,” ucap Wayan Sulendra.
Menurut Wayan Sulendra, tradisi ritual Mejaga–jaga ini digelar dengan tujuan untuk menghindari terjadinya malapetaka bagi krama desa adat. Tradisi Menjaga–jaga adalah ritual untuk menetralkan atau membersihkan alam, baik parahyangan, pawongan, maupun palemahan. 7 wan
Komentar