Karya-karya Gde Dharna Dialihwahanakan
DENPASAR, NusaBali - Karya-karya almarhum seniman Bali I Gde Dharna mungkin lebih dikenal dibanding dengan sosok dirinya.
‘Merah Putih’ merupakan salah satu lagu berbahasa Bali yang akrab didengar telinga masyarakat Bali, namun sosok penciptanya Gde Dharna jarang dibicarakan.
Dua sosok seniman muda Fioretti Vera, 31, dan BM Anggana, 31, kemudian berusaha lebih mengungkap sosok seniman asal Buleleng itu. Rasa ingin tahu membawa mereka sampai ke keluarga Gde Dharna di Buleleng yang ternyata karya-karyanya bertebaran. Bahkan sang anak tidak mengetahui ayahnya memiliki karya sebanyak itu.
Dalam penelusurannya tersebut, Vera dan Anggana menemukan perhatian I Gde Dharna terhadap nasionalisme hingga lingkungan alam begitu tinggi. Keduanya kemudian memutuskan mengalihwahanakan karya-karya Gde Dharna ke dalam bentuk visual film dan buku bergaya penulisan outline. Kedua bentuk karya mereka tersebut diberi judul ‘Osmosia’.
Osmosia lebih menekankan perhatian Gde Dharna terhadap lingkungan alam Bali.
Peluncuran film dan buku Osmosia dilakukan di Mash Denpasar pada Senin (21/8) malam.
Film Osmosia diawali dengan testimoni beberapa tokoh di Bali tentang sosok I Gde Dharna. Latar selanjutnya adalah sebuah tempat galian gersang di Bali dengan dua orang pemeran utama dan beberapa figuran.
Nyanyian hingga geguritan dengan mengangkat lagu maupun puisi Gde Dharna pun berkumandang hampir di sepanjang film.
Sebuah aksi teatrikal turut dihadirkan di dalamnya dan diakhiri dengan pembakaran beberapa lukisan hingga pembacaan puisi.
“Lagu ‘Merah Putih’ terdengar di mana-mana dari sekolah sampai acara resmi, tapi penciptanya tidak ada yang tahu,” ujar Vera.
Dalam penggarapan film, Vera yang bertindak sebagai sutradara menggunakan pendekatan opera bidang seni yang sempat digelutinya. Anggana menyebut pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film menggunakan metodologi penciptaan libreto.
“Ini film opera sebetulnya, karena pendekatan arsip-arsip pak Dharna itu didekati dengan metodologi penciptaan libreto, naskah yang biasa digunakan dalam opera,” sebut pria asal Jogjakarta, itu.
Menurutnya, sosok Gde Dharna punya pengaruh tersendiri dalam kehidupan masyarakat Bali. Lewat lagu-lagunya, meskipun sosoknya sebagai pencipta lebih sering tidak diketahui, sedikit banyak membentuk karakter kehidupan di Bali. Apalagi lagu ‘Merah Putih’, misalnya, belakangan kerap terdengar dinyanyikan suporter klub sepakbola Bali United di tribun stadion. “Lagu ‘Bali Sutrepti’, anak-anak tahu tapi nggak tahu siapa penciptanya,” tambahnya.
Terkait judul film dan buku, Vera mengungkapkan terinspirasi dari konsep pergerakan di dalam dunia hayati. Osmosis merupakan salah satu proses pergerakan di dalam alam. Sama seperti maksud dari Osmosia yang ingin menyampaikan pemikiran-pemikiran Gde Dharna kepada lebih banyak orang. “Aku menganalogikan film ini sebagai media untuk memberikan nasihat-nasihat pak Dharna,” tandasnya.
I Gde Dharna lahir di Sukasada, Buleleng, 27 Oktober 1931. Dia adalah pensiunan PNS dari kantor Perdagangan Buleleng. Sejak 1953 Dharna menulis sajak dan drama pentas, drama radio, serta drama televisi baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali. Selain itu, dia juga menulis cerpen, lagu berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali, lagu Janger, Genjek, Dolanan, Geguritan, dan lagu paduan suara. Gde Dharna meninggal dunia tahun 2015 pada usia 85 tahun. 7 cr78
Dua sosok seniman muda Fioretti Vera, 31, dan BM Anggana, 31, kemudian berusaha lebih mengungkap sosok seniman asal Buleleng itu. Rasa ingin tahu membawa mereka sampai ke keluarga Gde Dharna di Buleleng yang ternyata karya-karyanya bertebaran. Bahkan sang anak tidak mengetahui ayahnya memiliki karya sebanyak itu.
Dalam penelusurannya tersebut, Vera dan Anggana menemukan perhatian I Gde Dharna terhadap nasionalisme hingga lingkungan alam begitu tinggi. Keduanya kemudian memutuskan mengalihwahanakan karya-karya Gde Dharna ke dalam bentuk visual film dan buku bergaya penulisan outline. Kedua bentuk karya mereka tersebut diberi judul ‘Osmosia’.
Osmosia lebih menekankan perhatian Gde Dharna terhadap lingkungan alam Bali.
Peluncuran film dan buku Osmosia dilakukan di Mash Denpasar pada Senin (21/8) malam.
Film Osmosia diawali dengan testimoni beberapa tokoh di Bali tentang sosok I Gde Dharna. Latar selanjutnya adalah sebuah tempat galian gersang di Bali dengan dua orang pemeran utama dan beberapa figuran.
Nyanyian hingga geguritan dengan mengangkat lagu maupun puisi Gde Dharna pun berkumandang hampir di sepanjang film.
Sebuah aksi teatrikal turut dihadirkan di dalamnya dan diakhiri dengan pembakaran beberapa lukisan hingga pembacaan puisi.
“Lagu ‘Merah Putih’ terdengar di mana-mana dari sekolah sampai acara resmi, tapi penciptanya tidak ada yang tahu,” ujar Vera.
Dalam penggarapan film, Vera yang bertindak sebagai sutradara menggunakan pendekatan opera bidang seni yang sempat digelutinya. Anggana menyebut pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film menggunakan metodologi penciptaan libreto.
“Ini film opera sebetulnya, karena pendekatan arsip-arsip pak Dharna itu didekati dengan metodologi penciptaan libreto, naskah yang biasa digunakan dalam opera,” sebut pria asal Jogjakarta, itu.
Menurutnya, sosok Gde Dharna punya pengaruh tersendiri dalam kehidupan masyarakat Bali. Lewat lagu-lagunya, meskipun sosoknya sebagai pencipta lebih sering tidak diketahui, sedikit banyak membentuk karakter kehidupan di Bali. Apalagi lagu ‘Merah Putih’, misalnya, belakangan kerap terdengar dinyanyikan suporter klub sepakbola Bali United di tribun stadion. “Lagu ‘Bali Sutrepti’, anak-anak tahu tapi nggak tahu siapa penciptanya,” tambahnya.
Terkait judul film dan buku, Vera mengungkapkan terinspirasi dari konsep pergerakan di dalam dunia hayati. Osmosis merupakan salah satu proses pergerakan di dalam alam. Sama seperti maksud dari Osmosia yang ingin menyampaikan pemikiran-pemikiran Gde Dharna kepada lebih banyak orang. “Aku menganalogikan film ini sebagai media untuk memberikan nasihat-nasihat pak Dharna,” tandasnya.
I Gde Dharna lahir di Sukasada, Buleleng, 27 Oktober 1931. Dia adalah pensiunan PNS dari kantor Perdagangan Buleleng. Sejak 1953 Dharna menulis sajak dan drama pentas, drama radio, serta drama televisi baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali. Selain itu, dia juga menulis cerpen, lagu berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali, lagu Janger, Genjek, Dolanan, Geguritan, dan lagu paduan suara. Gde Dharna meninggal dunia tahun 2015 pada usia 85 tahun. 7 cr78
1
Komentar