Warga Batur Selatan Budidayakan Cacing
I Wayan Badan, 46, warga Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan, Kecamatan Kintamani, Bangli, menggeluti budidaya cacing jenis lumbricus rubellus.
BANGLI, NusaBali
Budidaya cacing jenis ini ada dua keutungan, yakni untuk pertanian dan kesehatan. Ditemui di kediamannya di Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan, Minggu (2/7), Badan menuturkan dia bersama Kelompok Tani Amerta Lestari dengan anggota 30 orang mengembangkan budidaya cacing lumbricus rubellus untuk memdapatkan pupuk yang berkualitas bagi pertanian. Dikatakannya, berdasar penjelasan dari Balai Pengkajian Teknologi, pupuk yang dihasilkan oleh cacing ini lebih bagus dibandingkan dengan pupuk anorganik. “Petani bisa berkelanjutan untuk menaman, dan dengan menggunakan pupuk ini bisa menjaga tngkat keasaman tanah,” ujarnya.
Selain bagus untuk pertanian, cacing lumbricus rubellus bisa dimanfaatkan untuk kesehatan. Badan mengatakan, cacing lumbricus rubellus bisa diolah untuk dijadikan obat (dalam bentuk kapsul, Red) dan dibuat jus. Manfaatnya untuk menambah stamina, untuk mengobati sakit tipus, asma, demam berdarah, sakit kuning, dan beberapa sakit lainnya. Pengolahan cacing dalam kapsul belum bisa dilakukan sendiri oleh Badan. “Kapsul dibuat di Denpasar, kalau jus saya bisa buat sendiri,” tuturnya.
Budidaya cacing sudah dilakukan sejak tahun 2003 lalu. Kini pemasaran cacing sudah di seluruh Bali. Namun pemasaran hingga keluar negeri belum bisa dilakukan karena belum ada relasi. “Memenuhi permintaan di Bali saya siap. Tapi untuk keluar negeri hingga kini belum bisa. Kalau yang di luar Bali seperti Jawa sudah bisa memasarkan hingga Korea,” katanya sembari menunjukkan cacing hasil budidayanya.
Badan menjual cacing-cacing tersbeut kisaran harga Rp 150 ribu per kilogram, sedangkan pupuk dijual Rp 3.000 per kilogram. Diakui bila ada masyarakat yang ingin membudidayakan cacing seperti dirinya, dia siap untuk membagi ilmu dan akan diberikan bibit. “Biasa saya melakukan pendampingan agar lebih mudah diterapkan,” ujarnya.
Untuk mengembangkan cacing lumbricus rubellus, perlu disiapkan kotoran, bisa kotoran sapi, ayam maupun babi. Disiapkan lahan untuk tempat pengembangan. Kotoran yang digunakan minimal berjarak tiga minggu sejak dikeluarkan oleh hewan. Barulah kotoran tersebut dibuat medeng, cacing tinggal diletakkan di tumpukan kotoran tersebut.
“Cacing cukup diberikan makan dari limbah rumah tangga, seperti bekas sisa sayur. Kalau di sini sayur yang tidak dijual kami berikan ke cacing,” bebernya.
Cacing ini cukup rakus dibandingkan cacing pada umumnya, sehingga perlu diberi makan tiga sampai empat hari sekali. Sedangkan untuk panen cacing biasa di usia 6 bulan. Bila ingin cacing bertelur atau sudah berkembang, cacing dipanen di usia 8 bulan. “Kalau tidak ingin habis bibit maka panen di usia 8 bulan,” tambahya.
Badan mengakui budidaya cacing cukup menjanjikan, selain dimanfaatkan untuk pertanian juga untuk kesehatan. "Kami sebagai petani tidak kesulitan mencari pupuk dan hasilnya jauh lebih bagus,” ucapnya. *e
Budidaya cacing jenis ini ada dua keutungan, yakni untuk pertanian dan kesehatan. Ditemui di kediamannya di Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan, Minggu (2/7), Badan menuturkan dia bersama Kelompok Tani Amerta Lestari dengan anggota 30 orang mengembangkan budidaya cacing lumbricus rubellus untuk memdapatkan pupuk yang berkualitas bagi pertanian. Dikatakannya, berdasar penjelasan dari Balai Pengkajian Teknologi, pupuk yang dihasilkan oleh cacing ini lebih bagus dibandingkan dengan pupuk anorganik. “Petani bisa berkelanjutan untuk menaman, dan dengan menggunakan pupuk ini bisa menjaga tngkat keasaman tanah,” ujarnya.
Selain bagus untuk pertanian, cacing lumbricus rubellus bisa dimanfaatkan untuk kesehatan. Badan mengatakan, cacing lumbricus rubellus bisa diolah untuk dijadikan obat (dalam bentuk kapsul, Red) dan dibuat jus. Manfaatnya untuk menambah stamina, untuk mengobati sakit tipus, asma, demam berdarah, sakit kuning, dan beberapa sakit lainnya. Pengolahan cacing dalam kapsul belum bisa dilakukan sendiri oleh Badan. “Kapsul dibuat di Denpasar, kalau jus saya bisa buat sendiri,” tuturnya.
Budidaya cacing sudah dilakukan sejak tahun 2003 lalu. Kini pemasaran cacing sudah di seluruh Bali. Namun pemasaran hingga keluar negeri belum bisa dilakukan karena belum ada relasi. “Memenuhi permintaan di Bali saya siap. Tapi untuk keluar negeri hingga kini belum bisa. Kalau yang di luar Bali seperti Jawa sudah bisa memasarkan hingga Korea,” katanya sembari menunjukkan cacing hasil budidayanya.
Badan menjual cacing-cacing tersbeut kisaran harga Rp 150 ribu per kilogram, sedangkan pupuk dijual Rp 3.000 per kilogram. Diakui bila ada masyarakat yang ingin membudidayakan cacing seperti dirinya, dia siap untuk membagi ilmu dan akan diberikan bibit. “Biasa saya melakukan pendampingan agar lebih mudah diterapkan,” ujarnya.
Untuk mengembangkan cacing lumbricus rubellus, perlu disiapkan kotoran, bisa kotoran sapi, ayam maupun babi. Disiapkan lahan untuk tempat pengembangan. Kotoran yang digunakan minimal berjarak tiga minggu sejak dikeluarkan oleh hewan. Barulah kotoran tersebut dibuat medeng, cacing tinggal diletakkan di tumpukan kotoran tersebut.
“Cacing cukup diberikan makan dari limbah rumah tangga, seperti bekas sisa sayur. Kalau di sini sayur yang tidak dijual kami berikan ke cacing,” bebernya.
Cacing ini cukup rakus dibandingkan cacing pada umumnya, sehingga perlu diberi makan tiga sampai empat hari sekali. Sedangkan untuk panen cacing biasa di usia 6 bulan. Bila ingin cacing bertelur atau sudah berkembang, cacing dipanen di usia 8 bulan. “Kalau tidak ingin habis bibit maka panen di usia 8 bulan,” tambahya.
Badan mengakui budidaya cacing cukup menjanjikan, selain dimanfaatkan untuk pertanian juga untuk kesehatan. "Kami sebagai petani tidak kesulitan mencari pupuk dan hasilnya jauh lebih bagus,” ucapnya. *e
Komentar