Hidupkan Hompimpah Lewat Teater
Hompimpah dalam arti sebenarnya memiliki sebuah kekuatan, dimana saat anak-anak mengucapkan itu seperti muncul sebuah suasana kehangatan.
DENPASAR, NusaBali
Arus teknologi yang semakin canggih nampaknya mempengaruhi gaya bermain anak-anak zaman kini. Gadget, playstation, dan permainan anak-anak yang muncul di zaman modern lainnya, seolah menelan permainan-permainan tradisional yang jauh lebih memberikan pendidikan karakter.
Salah satu permainan tradisional yang ditelan zaman adalah Hompimpah. Ini merupakan sebuah permainan atau cara untuk menentukan menang atau kalah. Biasanya hal ini dilakukan oleh minimal 3 orang. Dahulu Hompimpah biasa dipakai dalam permainan-permainan klasik seperti petakumpet dan lainnya. Namun zaman sekarang ini, hompimpah pun kian menghilang. Anak-anak tidak ada yang mengenal Hompimpah.
Hompimpah dijadikan tema dalam pementasan teater VIP Jogjakarta di Wantilan Taman Budaya Bali, Senin (3/7) siang. Sutradara pementasan, IKD Vistwanatha mengaku sangat terinspirasi dengan permainan Hompimpah. Hompimpah dalam arti sebenarnya memiliki sebuah kekuatan, dimana saat anak-anak mengucapkan itu seperti muncul sebuah suasana kehangatan. “Ini seperti sebuah keajaiban, karena lewat Hompimpad anak-anak bisa berkumpul dan disatukan. Permainan ini begitu menyenangkan,” ujar mahasiswa ISI Jogjakarta itu.
Setelah gadget dan permainan moderen lainnya hadir, kondisi ini pun dianggap sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Ia seperti sekat. Dalam pementasan kemarin, teknologi canggih seolah menjadi batas antara waktu atau zaman dahulu dan sekarang. Begitu pula antara zaman jadul dan modern, serta anak kota dan anak desa.
Pada akhirnya cerita pun digambarkan, para anak-anak yang melakukan adegan menerobos tumpukan kardus. Vistwanatha mengaku, tumpukan kardus yang dihadirkan di atas panggung ini diibaratkan sebagai sekat pembatas. Pembatas inilah yang seharusnya diterobos oleh anak-anak untuk kembali bisa menemukan hompimpah dan permainan tradisional lainnya di tengah era digital seperti sekarang ini.
“Saya tidak mengkritik atau menilai. Saya lebih bertanya apakah ini sebagai kebudayaan atau apa. Saya hanya melihat kesan atau efek dari permainan Hompimpah itu sendiri dari perspektif anak-anak,” terangnya.
Pementasan ini melibatkan 19 orang pemain yang diambil dari beberapa kampus di Bali seperti dari kampus Unud, ISI Denpasar dan SMAN 5 Denpasar. Sedangkan pemeran anak-anak diambil dari sekitar Taman Budaya Bali. Awalnya pementasan ini direncanakan melibatkan kelompok teater VIP asal Jogja. Namun sebelum hari pementasan, tiba-tiba para anggota yang sudah ditugaskan berhalangan. Akhirnya sang sutradara, dalam hal ini adalah IKD Vistwanatha memutuskan untuk mencari para pementas di Bali. *in
Salah satu permainan tradisional yang ditelan zaman adalah Hompimpah. Ini merupakan sebuah permainan atau cara untuk menentukan menang atau kalah. Biasanya hal ini dilakukan oleh minimal 3 orang. Dahulu Hompimpah biasa dipakai dalam permainan-permainan klasik seperti petakumpet dan lainnya. Namun zaman sekarang ini, hompimpah pun kian menghilang. Anak-anak tidak ada yang mengenal Hompimpah.
Hompimpah dijadikan tema dalam pementasan teater VIP Jogjakarta di Wantilan Taman Budaya Bali, Senin (3/7) siang. Sutradara pementasan, IKD Vistwanatha mengaku sangat terinspirasi dengan permainan Hompimpah. Hompimpah dalam arti sebenarnya memiliki sebuah kekuatan, dimana saat anak-anak mengucapkan itu seperti muncul sebuah suasana kehangatan. “Ini seperti sebuah keajaiban, karena lewat Hompimpad anak-anak bisa berkumpul dan disatukan. Permainan ini begitu menyenangkan,” ujar mahasiswa ISI Jogjakarta itu.
Setelah gadget dan permainan moderen lainnya hadir, kondisi ini pun dianggap sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Ia seperti sekat. Dalam pementasan kemarin, teknologi canggih seolah menjadi batas antara waktu atau zaman dahulu dan sekarang. Begitu pula antara zaman jadul dan modern, serta anak kota dan anak desa.
Pada akhirnya cerita pun digambarkan, para anak-anak yang melakukan adegan menerobos tumpukan kardus. Vistwanatha mengaku, tumpukan kardus yang dihadirkan di atas panggung ini diibaratkan sebagai sekat pembatas. Pembatas inilah yang seharusnya diterobos oleh anak-anak untuk kembali bisa menemukan hompimpah dan permainan tradisional lainnya di tengah era digital seperti sekarang ini.
“Saya tidak mengkritik atau menilai. Saya lebih bertanya apakah ini sebagai kebudayaan atau apa. Saya hanya melihat kesan atau efek dari permainan Hompimpah itu sendiri dari perspektif anak-anak,” terangnya.
Pementasan ini melibatkan 19 orang pemain yang diambil dari beberapa kampus di Bali seperti dari kampus Unud, ISI Denpasar dan SMAN 5 Denpasar. Sedangkan pemeran anak-anak diambil dari sekitar Taman Budaya Bali. Awalnya pementasan ini direncanakan melibatkan kelompok teater VIP asal Jogja. Namun sebelum hari pementasan, tiba-tiba para anggota yang sudah ditugaskan berhalangan. Akhirnya sang sutradara, dalam hal ini adalah IKD Vistwanatha memutuskan untuk mencari para pementas di Bali. *in
1
Komentar