Hilirisasi Cokelat Bernilai Tambah hingga 1.500%
JAKARTA, NusaBali - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan besarnya potensi ekonomi hilirisasi kakao menjadi cokelat artisan bean to bar atau yang sering juga dikenal sebagai craft chocolate bernilai tambah tinggi.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menyebut produk cokelat artisan bean to bar memiliki nilai tambah berkisar 700 persen hingga 1.500 persen sedangkan produk cokelat lainnya berkisar 100 persen hingga 300 persen.
“Produk craft chocolate sangat digemari oleh wisatawan mancanegara dan kalangan menengah atas di dalam negeri, karena menghasilkan produk dengan rasa yang unik yang didukung dengan cerita tertentu yang berasal dari daerah tertentu", ujarnya lewat keterangan di Jakarta, seperti dilansir Antara, Kamis.
Cokelat artisan biasanya diproses dari biji berasal dari daerah tertentu (single origin), misalnya craft bean to bar dari Ransiki (Papua), Berau (Kalimantan Timur), atau Jembrana (Bali) dan lain-lain. Saat ini, terdapat 31 produsen cokelat artisan dengan kapasitas 1.242 ton per tahun.
Indonesia sendiri, lanjut Juli Ardika, memiliki peluang untuk pengembangan cokelat artisan, karena didukung sekitar 600 profil aroma yang dapat digunakan sebagai modal dasar inovasi dan variasi produk cokelat artisan. Karena nilai tambahnya yang tinggi, produsen cokelat artisan ini mampu membeli biji kakao dengan harga yang lebih bersaing, sekitar Rp50.000 per kg hingga Rp70.000 per kg, di mana harga biji kakao pada umumnya sekitar Rp30.000 per kg.
Produsen cokelat artisan membutuhkan biji kakao yang telah difermentasi dengan kualitas premium, sedangkan produsen kakao olahan lainnya masih dapat mengolah biji kakao asalan.
“Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemenperin akan terus mendorong hilirisasi pengolahan cokelat artisan,” tegas Juli Ardika.
Program pengembangan cokelat artisan bean to bar, telah dimulai dengan pembentukan wadah (perkumpulan/asosiasi), yang akan dilanjutkan dengan berbagai program kerja, antara lain peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) bagi chocolate maker.
Selain itu, kampanye peningkatan konsumsi cokelat di dalam negeri, kampanye cokelat untuk kesehatan dan gaya hidup, promosi atau pameran nasional maupun internasional, program fasilitasi restrukturisasi mesin dan peralatan dalam rangka peningkatan teknologi, serta dukungan terhadap program sustainability dan traceability pada rantai pasok juga dilakukan untuk mengembangkan potensi cokelat artisan.
“Penyelenggaraan kegiatan bertaraf internasional, seperti pameran, promosi dan kompetisi pengolahan kakao yang diselenggarakan di daerah-daerah tujuan wisata nasional, seperti Bali, Jogjakarta, dan lain-lain, diharapkan mampu menjadikan Indonesia sebagai epicentrum kegiatan cokelat global. Hal ini perlu didukung oleh para pemangku kepentingan terkait,” katanya.
Sebagai pengolah kakao ketiga terbesar di dunia yang memproduksi berbagai produk kakao olahan seperti cocoa pasta/liquor, cocoa cake, cocoa butter dan cocoa powder, Indonesia punya potensi mengembangkan hilirisasi industri pengolahan kakao untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, serta pengembangan cokelat artisan.
Adapun komposisi ekspor kakao olahan yang pada lima tahun lalu antara sebesar 85 intermediate product dan 15 persen diproses lebih lanjut di dalam negeri menjadi produk akhir (finished good) berupa makanan dan minuman berbasis cokelat. Sedangkan saat ini, komposisi produksi olahan cokelat di dalam negeri telah meningkat menjadi 20 persen.
“Artinya produk kakao olahan di dalam negeri mengalami penguatan atau terjadi hilirisasi lebih lanjut,” kata Ardika.
1
Komentar