Turnamen Ceki, Wahana Gembira dan Pelestarian Budaya Tanpa Judi
MANGUPURA, NusaBali.com - Permainan kartu ceki identik dengan perjudian lantaran memakai taruhan uang. Namun, belakangan menjamur permainan ceki yang diformat sebagai turnamen dan memperebutkan hadiah tanpa uang di atas meja.
Permainan ceki dewasa ini merupakan satu dari banyak jenis 'olahraga' yang masuk dalam Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Disebut olahraga rekreasi karena bersifat hiburan sekaligus mengasah strategi layaknya olahraga kartu lainnya.
Dihimpun dari berbagai sumber, permainan kartu ceki, koa, atau pei ini diperkirakan berasal dari daratan Tiongkok. Di masa lalu, permainan ini cukup populer di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dan menjadi semacam budaya di beberapa tempat seperti di Bali.
Terlepas dari citranya sebagai permainan judi, ceki kerap dimanfaatkan sebagai permainan 'penahan kantuk' saat meramaikan rumah duka atau kerap disebut magebagan. Tidak jarang permainan dilakukan sampai pagi dan membuat suasana rumah duka tidak terlalu suram.
Awalnya, permainan ini populer di kalangan orang tua. Namun, karena anak-anak mereka juga kerap dibawa saat magebagan, popularitasnya menjadi ikut naik di kalangan anak muda. Meski memakai taruhan uang, sukar untuk disimpulkan ceki itu murni judi sebab taruhan biasa jadi sarana pemantik kompetisi.
Ketua FORMI Bali AA Ngurah Oka Ratmadi menjelaskan, permainan ceki yang sudah distandarisasi menjadi turnamen dan nihil perjudian bisa bermanfaat untuk masyarakat. Keseruan yang terbentuk di atas dulang ceki (meja bundar) memantik kegembiraan pemain yang tidak langsung baik bagi kesehatan rohani.
"Olahraga rekreasi ini menjadikan masyarakat sehat, bugar, dan gembira. Juga, sebagai pelestarian budaya karena olahraga ceki sudah dilakukan dari zaman kerajaan," kata Cok Ratmadi di sela turnamen ceki yang digelar ST Wastra Kwanija, Desa Adat Kwanji, Kelurahan Sempidi, Mengwi, Badung, Minggu (3/9/2023).
Pemain ceki yang biasanya berjumlah lima orang dalam satu dulang secara alamiah membentuk obrolan. Momen bersua itu hidup sepanjang permainan dengan puluhan kartu berbagai macam motif ini. Obrolan ini pun kadang diinterupsi seruan dari salah satu pemain yang muncul ketika intensitas kompetisi mulai meningkat.
Khususnya di Kabupaten Badung, tidak jarang pembukaan turnamen ceki dilakukan oleh pejabat dan tokoh masyarakat. Sekretaris Daerah Kabupaten Badung I Wayan Adi Arnawa misalnya. Ia kerap mewakilkan Bupati Badung memenuhi undangan membuka turnamen ceki.
Selain sekadar membuka, pemerintah juga menunjukkan dukungan pada perkembangan permainan ceki sebagai sebuah turnamen lewat dana apresiasi. Di mana, penyelenggaraannya terorganisir, tanpa taruhan, dan memberikan manfaat misalkan sebagai medium penggalian dana dan lain-lain.
"Dukungan untuk pengembangan olahraga rekreasi bersifat tradisional ini kami lakukan bersama FORMI Bali untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan olahraga rekreasi warisan leluhur," tutur Adi Arnawa di sela acara yang sama.
Kata birokrat asal Desa Pecatu, Kuta Selatan ini, turnamen ceki ini dalam praktiknya berbasis masyarakat. Selain itu, kemasannya cukup memperhatikan prinsip mudah, murah, menarik, massal, dan bermanfaat. Tentu, tanpa unsur yang membuat turnamen jadi judi dan berimplikasi hukum. *rat
Komentar