Rumah Ibunda Bung Karno Diusulkan Jadi Cagar Budaya
Rumah masa kecil ibunda Presiden RI pertama Dr Ir Soekarno, yakni Nyoman Rai Srimben, di Lingkungan Bale Agung, Kelurahan Paket Agung, Singaraja (Kecamatan Buleleng), diusulkan jadi cagar budaya
SINGARAJA, NusaBali
Tim dari Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Bali pun sudah datang untuk melakukan survei terkait keberadaan rumah kecil Rai Srimben tersebut, Kamis (6/7).
Usulan agar rumah ibunda Bung Karno di Lingkungan Bale Agung, Kelurahan Paket Agung ini untuk jadi cagar budaya diajukan Pemkab Buleleng melalui Dinas Kebudayaan Buleleng. Terkait pengajuan itu, Dinas Kebudayaan Buleleng undang tim BPCB untuk melihat dari dekat sejumlah sudut kawasan rumah tua di mana Rai Srimben lahir dan dibesarkan, sebelum akhirnya dipersunting Raden Sukemi dan diboyong ke Jawa Timur.
Kadis Kebudayaan Buleleng, Putu Tastra Wijaya, ikut terjun mendampingi tim BPCB Bali yang melakukan survei di rumah kecil ibunda Bung Karno, Kamis kemarin. Sedangkan tim dari BPCB dipimpin langsung Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Provinsi Bali, Dra Ni Komang Anik Purniti Msi.
Menurut Putu Tastra Wijaya, Pemkab Buleleng memang berencana menjadikan rumah masa kecil Rai Srimben ini sebagai cagar budaya dan sekaligus rencana pembangunan heritage Bung Karno. “Hari ini (kemarin) kami undang tim PBCB Bali untuk melihat dan mengevaluasi rumah ini. Karena dari yang sudah dilihat, banyak bagian rumah yang telah diperbaiki. Kendalanya, kami juga belum punya tim ahli dan tim pendaftaran untuk pengusulan sebagai cagar budaya. Kami masih lobi-lobi, mudah-mudahan bisa didaftarkan,” jelas Tastra Wijaya di rumah asal ibunda Bung Karno, Kamis kemarin.
Sementara, dari hasil survei yang dilakukan tim BPCB Bali kemarin, ditemukan banyak bangunan di rumah ibunda Bung Karno yang sudah dirubah dari aslinya. Kasi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Bali, Komang Anik Purniti, pihaknya belum dapat memastikan apakah rumah Rai Srimben zaman dulu tersebut bisa dijadiukan cagar budaya atau tidak. Sebab, landasan penetapan cagar budaya sesuai UU Nomot 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebelum ditetapkan masih harus menjalani proses yang panjang.
“Kalau dilihat dari survei hari ini dan mendengar cerita pemiliknya, ada beberapa yang dikategorikan dan diduga sebagai cagar budaya. Tapi, kalau keseluruhan, terlalu banyak perubahan. Sekarang kami serahkan kembali ke Pemkab Buleleng untuk didaftarkan dulu,” ujar Anik Purniti.
Anik Purniti menjelaskan, untuk mendaftarkan sebuah kawasan menjadi cagar budaya, memerlukan proses panjang. Dinas Kebudayaan lebih dulu harus membentuk tim pendaftaran, untuk dapat mendaftarkan kawasan atau tempat tersebut sebagai cagar budaya. Tim pendaftaran nantinya akan menyusun berkas pengajuan yang ditujukan kepada tim ahli cagar budaya.
Tim ahli cagar budaya ini juga harus dibentuk oleh Pemkab Buleleng, sesuai UU Cagar Budaya. Mereka yang ada di tim ahli ini nantinya akan mengkaji berkas usulan dan memberikan rekomendasi kepada Bupati Buleleng untuk penetapan cagar budaya. Menurut Anik Purniti, satu tim ahli minimal terdiri dari 5 orang yang dibentuk berdasarkan SK Bupati. Kelima ornag itu juga harus memegang sertifikat ahli cagar budaya, baik arkeolog, sejarawan, antropolog, arsitek, maupun budayawan.
Rumah masa kecil ibunda Bung Karno yang diusulkan jadi cagar budaya ini dibangun di atas lahan seluas 70 meter persegi. Bangunan rumah utama sudah direhab, sedangkan bangunan yang tersisa utuh belum tersentuh adalah Bale Gede di sisi utara. Bale Gede ini beratap genting, lantai tanah, dinding bata yang sudah diplester. Ada undakan menggunakan bata dengan ukuran masing-masing 20 sentimeter persegi. Sejumlah tiang kayu di Bale Gede kini dimanfaatkan sebagai tempat melukis.
Sementara itu, tokoh Lingkungan Bale Agung yang masih garis keturunan keluarga ibunda Bung Karno, I Made Hardika, mengatakan pihaknya belum paham betul terkait pengajuan rumah Rai Srimben menjadi cagar budaya. Namun, jika nantinya ini disepakati, Hardika yang masih tergolong cucu Rai Srimben mengaku harus tahu apa kewajiban dan hak bagi keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. Sebab, beberapa bangunan khususnya rumah, sudah banyak diperbaiki oleh yang menempati saat ini.
Made Hardika memaparkan, rumah keluarga Bale Agung memang merupakan rumah masa kecil dan muda ibunda Bung Karno, Nyoman Rai Srimben. Bahkan, rumah yang kini ditempati hardika, dulunya adalah rumah asal nenek Bung Karni, Ni Made Liran (ibunda dari Rai Srimben). Made Liran menikah dengan Nyoman Pasek, yang juga masih keluarga dan rumahnya jadi satu halaman yang berjarak kurang lebih 50 meter. Perkawinan Nyoman Pasek dan Made Liran inilah kemudian melahirkan Rai Srimben.
“Saat Rai Srimben dilahirkan, itu masih di rumah bapaknya yang bale gede-nya sampai saat ini belum diperbaiki,” kata Hardika. Menurut Hardika, beberapa lama setelah Rai Srimben lahir, kedua orangtuanya berpisah, karena Nyoman Pasek berpoligami. Nah, Made Liran yang saat itu tidak terima, pilih kembali ke rumah asalnya dengan mengajak serta Rai Srimben.
Di rumah yang ditempati Hardika inilah dulunya Rai Srimben tumbuh hingga dewasa dan tempat ibunya meninggal. Di sini pula sekitra tahun 1877-1878, Raden Sukemi (ayah Bung Karno) yang menjadi guru di SDN 1 Singaraja (di seblah timur kantor DPRD Buleleng sekarang) pertama kalinya melihat Rai Srimben, saat menari di Pura Bale Agung Buleleng. Kedatangan Raden Sukemi yang saat itu juga mencari murid yang ingin bersekolah, hingga akhirnya kepincut dengan Rai Srimben.
Namun, karena saat itu tradisi di Bale Agung sangat kental dan tidak membolehkan keturunanya kawin keluar, akhirnya Rai Srimben dan Raden Sukemi kawin lari. “Semasa kawin lari dan hidup berkeluarga, Rai Srimben tidak pernah pulang dari Jawa, namun hubungan surat menyurat masih terjalin,” cerita Hardika.
Hardika berharap, dengan pengusulan rumah kecil Rai Srimben menjadi cagar budaya, nantinya ada kejelasan dari pemerintah soal apa yang boleh dna tidak boleh dilakukan, serta apa hak dan kewajiban keluarga besarnya. *k23
Usulan agar rumah ibunda Bung Karno di Lingkungan Bale Agung, Kelurahan Paket Agung ini untuk jadi cagar budaya diajukan Pemkab Buleleng melalui Dinas Kebudayaan Buleleng. Terkait pengajuan itu, Dinas Kebudayaan Buleleng undang tim BPCB untuk melihat dari dekat sejumlah sudut kawasan rumah tua di mana Rai Srimben lahir dan dibesarkan, sebelum akhirnya dipersunting Raden Sukemi dan diboyong ke Jawa Timur.
Kadis Kebudayaan Buleleng, Putu Tastra Wijaya, ikut terjun mendampingi tim BPCB Bali yang melakukan survei di rumah kecil ibunda Bung Karno, Kamis kemarin. Sedangkan tim dari BPCB dipimpin langsung Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Provinsi Bali, Dra Ni Komang Anik Purniti Msi.
Menurut Putu Tastra Wijaya, Pemkab Buleleng memang berencana menjadikan rumah masa kecil Rai Srimben ini sebagai cagar budaya dan sekaligus rencana pembangunan heritage Bung Karno. “Hari ini (kemarin) kami undang tim PBCB Bali untuk melihat dan mengevaluasi rumah ini. Karena dari yang sudah dilihat, banyak bagian rumah yang telah diperbaiki. Kendalanya, kami juga belum punya tim ahli dan tim pendaftaran untuk pengusulan sebagai cagar budaya. Kami masih lobi-lobi, mudah-mudahan bisa didaftarkan,” jelas Tastra Wijaya di rumah asal ibunda Bung Karno, Kamis kemarin.
Sementara, dari hasil survei yang dilakukan tim BPCB Bali kemarin, ditemukan banyak bangunan di rumah ibunda Bung Karno yang sudah dirubah dari aslinya. Kasi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Bali, Komang Anik Purniti, pihaknya belum dapat memastikan apakah rumah Rai Srimben zaman dulu tersebut bisa dijadiukan cagar budaya atau tidak. Sebab, landasan penetapan cagar budaya sesuai UU Nomot 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebelum ditetapkan masih harus menjalani proses yang panjang.
“Kalau dilihat dari survei hari ini dan mendengar cerita pemiliknya, ada beberapa yang dikategorikan dan diduga sebagai cagar budaya. Tapi, kalau keseluruhan, terlalu banyak perubahan. Sekarang kami serahkan kembali ke Pemkab Buleleng untuk didaftarkan dulu,” ujar Anik Purniti.
Anik Purniti menjelaskan, untuk mendaftarkan sebuah kawasan menjadi cagar budaya, memerlukan proses panjang. Dinas Kebudayaan lebih dulu harus membentuk tim pendaftaran, untuk dapat mendaftarkan kawasan atau tempat tersebut sebagai cagar budaya. Tim pendaftaran nantinya akan menyusun berkas pengajuan yang ditujukan kepada tim ahli cagar budaya.
Tim ahli cagar budaya ini juga harus dibentuk oleh Pemkab Buleleng, sesuai UU Cagar Budaya. Mereka yang ada di tim ahli ini nantinya akan mengkaji berkas usulan dan memberikan rekomendasi kepada Bupati Buleleng untuk penetapan cagar budaya. Menurut Anik Purniti, satu tim ahli minimal terdiri dari 5 orang yang dibentuk berdasarkan SK Bupati. Kelima ornag itu juga harus memegang sertifikat ahli cagar budaya, baik arkeolog, sejarawan, antropolog, arsitek, maupun budayawan.
Rumah masa kecil ibunda Bung Karno yang diusulkan jadi cagar budaya ini dibangun di atas lahan seluas 70 meter persegi. Bangunan rumah utama sudah direhab, sedangkan bangunan yang tersisa utuh belum tersentuh adalah Bale Gede di sisi utara. Bale Gede ini beratap genting, lantai tanah, dinding bata yang sudah diplester. Ada undakan menggunakan bata dengan ukuran masing-masing 20 sentimeter persegi. Sejumlah tiang kayu di Bale Gede kini dimanfaatkan sebagai tempat melukis.
Sementara itu, tokoh Lingkungan Bale Agung yang masih garis keturunan keluarga ibunda Bung Karno, I Made Hardika, mengatakan pihaknya belum paham betul terkait pengajuan rumah Rai Srimben menjadi cagar budaya. Namun, jika nantinya ini disepakati, Hardika yang masih tergolong cucu Rai Srimben mengaku harus tahu apa kewajiban dan hak bagi keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. Sebab, beberapa bangunan khususnya rumah, sudah banyak diperbaiki oleh yang menempati saat ini.
Made Hardika memaparkan, rumah keluarga Bale Agung memang merupakan rumah masa kecil dan muda ibunda Bung Karno, Nyoman Rai Srimben. Bahkan, rumah yang kini ditempati hardika, dulunya adalah rumah asal nenek Bung Karni, Ni Made Liran (ibunda dari Rai Srimben). Made Liran menikah dengan Nyoman Pasek, yang juga masih keluarga dan rumahnya jadi satu halaman yang berjarak kurang lebih 50 meter. Perkawinan Nyoman Pasek dan Made Liran inilah kemudian melahirkan Rai Srimben.
“Saat Rai Srimben dilahirkan, itu masih di rumah bapaknya yang bale gede-nya sampai saat ini belum diperbaiki,” kata Hardika. Menurut Hardika, beberapa lama setelah Rai Srimben lahir, kedua orangtuanya berpisah, karena Nyoman Pasek berpoligami. Nah, Made Liran yang saat itu tidak terima, pilih kembali ke rumah asalnya dengan mengajak serta Rai Srimben.
Di rumah yang ditempati Hardika inilah dulunya Rai Srimben tumbuh hingga dewasa dan tempat ibunya meninggal. Di sini pula sekitra tahun 1877-1878, Raden Sukemi (ayah Bung Karno) yang menjadi guru di SDN 1 Singaraja (di seblah timur kantor DPRD Buleleng sekarang) pertama kalinya melihat Rai Srimben, saat menari di Pura Bale Agung Buleleng. Kedatangan Raden Sukemi yang saat itu juga mencari murid yang ingin bersekolah, hingga akhirnya kepincut dengan Rai Srimben.
Namun, karena saat itu tradisi di Bale Agung sangat kental dan tidak membolehkan keturunanya kawin keluar, akhirnya Rai Srimben dan Raden Sukemi kawin lari. “Semasa kawin lari dan hidup berkeluarga, Rai Srimben tidak pernah pulang dari Jawa, namun hubungan surat menyurat masih terjalin,” cerita Hardika.
Hardika berharap, dengan pengusulan rumah kecil Rai Srimben menjadi cagar budaya, nantinya ada kejelasan dari pemerintah soal apa yang boleh dna tidak boleh dilakukan, serta apa hak dan kewajiban keluarga besarnya. *k23
Komentar