Rintis Usaha Keramik Tableware yang Kini Tembus Pasar Ekspor
Kreativitas I Nyoman Agus Saputra, Pemuda asal Banjar Pekilen, Desa Selanbawak, Marga
Saat ini produk yang tengah ditekuni sedang berproses untuk mendapatkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai perlindungan dan legalitas produk yang dihasilkan
TABANAN, NusaBali
Kreativitas I Nyoman Agus Saputra,26, seorang pemuda di Banjar Pekilen, Desa Selanbawak, Kecamatan Marga, Tabanan menginspirasi. Di usianya yang masih muda telah memiliki bisnis produk handmade (kerajinan tangan) yang pemasarannya kini bisa tembus pasar ekspor. Produk kerajinan yang digeluti Agus Saputra adalah keramik tableware (peralatan makan). Bahkan usahanya yang baru dirintis selama 4 tahun ini sampai kewalahan order.
Usaha keramik tableware yang digeluti lulusan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar ini masih industri rumah tangga dan hanya dikerjakan oleh keluarganya saja, yakni kedua orangtuanya I Nyoman Artana dan Ni Made Wati, sang kakak Ni Luh Rai Trisnayanti, serta dibantu sang pacar Ni Made Ayu Ervira Fatma Dewi.
Kreativitas I Nyoman Agus Saputra,26, seorang pemuda di Banjar Pekilen, Desa Selanbawak, Kecamatan Marga, Tabanan menginspirasi. Di usianya yang masih muda telah memiliki bisnis produk handmade (kerajinan tangan) yang pemasarannya kini bisa tembus pasar ekspor. Produk kerajinan yang digeluti Agus Saputra adalah keramik tableware (peralatan makan). Bahkan usahanya yang baru dirintis selama 4 tahun ini sampai kewalahan order.
Usaha keramik tableware yang digeluti lulusan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar ini masih industri rumah tangga dan hanya dikerjakan oleh keluarganya saja, yakni kedua orangtuanya I Nyoman Artana dan Ni Made Wati, sang kakak Ni Luh Rai Trisnayanti, serta dibantu sang pacar Ni Made Ayu Ervira Fatma Dewi.
Kebanggaan terpancar dari raut wajah Agus Saputra ketika tempat usaha kerajinannya mendapat kunjungan langsung Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya, Jumat (15/9). Bupati Sanjaya pun memuji hasil karajinan tersebut. Sebab meskipun masih industri rumah tangga pemasarannya sudah tembus ekspor, seperti ke Turki, Kanada hingga Australia. “Ini kreativitas yang harus kita apresiasi,” ujar Sanjaya.
Foto: I Nyoman Agus Saputra (kedua dari kiri) menunjukkan sejumlah produk keramik tableware buatannya. -DESAK SUMBERWATI
Agus Saputra mengatakan kerajinannya ini baru dimulai sejak tahun 2021. Awalnya dia bersama sang kakak memang sudah berjualan piring tableware di tahun 2017 dengan membuat toko di daerah Canggu, Kuta Utara, Badung. Namun usahanya itu belum diproduksi sendiri melainkan menjual milik orang lain. Sayangnya saat pandemi Covid-19 melanda tokonya pun harus tutup selama 6 bulan lebih. Agus Saputra lalu pun memutar otak untuk bisa bertahan hidup. Akhirnya diputuskan untuk membuat sendiri kerajinan tangan tableware tersebut. "Kemudian atas saran kakak, saya les selama satu bulan untuk belajar dasar pembuatan keramik. Setelah bisa, kami putuskan produksi sendiri di rumah," ujarnya.
Ternyata awal memulai bisnisnya ini banyak sekali kekurangan. Kerap kali hasil kerajinan yang dibuat banyak pecah hingga menimbulkan kerugian dengan nominal tinggi. Namun hal itu tak menjadikan hambatan untuk dia dan kakaknya berusaha. "Semakin hari hasil karya kami sudah memiliki kualitas bagus, barulah dijual," tutur Agus Saputra. Gayung bersambut, sembari belajar mereka pun mulai untuk proses marketing. Kebetulan yang menekuni bidang penjualan adalah kakaknya sendiri Ni Luh Rai Trisnayanti. Ternyata hasil karyanya banyak peminat, sejumlah restoran di Bali, luar Bali hingga luar negeri mulai tertarik dan memutuskan memesan.
"Sebuah kafe terkenal di Kintamani, Bangli. Kemudian restoran yang ada di Laboan Bajo, Folres, NTT juga memesan ke kami. Ada juga yang sudah berlangganan seperti sejumlah restoran yang ada di wilayah Badung," tambah Rai Trisnayanti. Menurutnya, kerajinan keramik yang dibuat memang sengaja yang bertemakan tableware, karena pangsa pasarnya lebih banyak. Sekaligus dia sendiri ingin mengenalkan kesenian Bali.
Sebab dari hasil karyanya dia juga padukan dengan lukisan bali kebetulan adiknya Agus Saputra pintar mengukir. Paling banyak pesanan yang dibuat adalah keramik untuk minum kopi. "Sebulan rata-rata pesanan hampir 500 pcs dengan beragam mix," katanya. Dari hasil karyanya ini mereka pun memperoleh keuntungan yang menggiurkan. Sebulan rata-rata mencapai Rp 50 juta untung bersih. "Bersyukur dengan usaha kami. Namun sebelum beralih ke keramik, dari dulu kami memang hobi jualan. Bahkan kami sempat jualan kacang saur," tambah Trisnayanti. Dia menambahkan untuk proses pembuatan memang perlu waktu lama. Apalagi dalam proses pencampuran bahan baku supaya bahan berkualitas perlu kehati-hatian. "Karena itu proses pembuatannya tidak bisa sekarang order seminggu jadi, kemungkinan satu bulan baru siap, itu yang menyebabkan harga produk mahal dengan kisaran mulai dari Rp 35.000 sampai ratusan ribu rupiah, tergantung besar kecilnya produk," bebernya.
Sementara untuk bahan yang mereka gunakan didatangkan dari lokal, dan luar Bali. "Kami beli bahan yang sudah jadi atau yang sudah dicampur, belum mampu campur sendiri karena perlu alat khusus dan itupun alatnya besar-besar," jelasnya. Saat ini produk yang tengah ditekuni sedang berproses untuk mendapatkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai perlindungan dan legalitas produk yang dihasilkan. “Proses pengajuan sudah mengurus di kabupaten, provinsi hingga pusat,” imbuh Trisnayanti. 7 des
Agus Saputra mengatakan kerajinannya ini baru dimulai sejak tahun 2021. Awalnya dia bersama sang kakak memang sudah berjualan piring tableware di tahun 2017 dengan membuat toko di daerah Canggu, Kuta Utara, Badung. Namun usahanya itu belum diproduksi sendiri melainkan menjual milik orang lain. Sayangnya saat pandemi Covid-19 melanda tokonya pun harus tutup selama 6 bulan lebih. Agus Saputra lalu pun memutar otak untuk bisa bertahan hidup. Akhirnya diputuskan untuk membuat sendiri kerajinan tangan tableware tersebut. "Kemudian atas saran kakak, saya les selama satu bulan untuk belajar dasar pembuatan keramik. Setelah bisa, kami putuskan produksi sendiri di rumah," ujarnya.
Ternyata awal memulai bisnisnya ini banyak sekali kekurangan. Kerap kali hasil kerajinan yang dibuat banyak pecah hingga menimbulkan kerugian dengan nominal tinggi. Namun hal itu tak menjadikan hambatan untuk dia dan kakaknya berusaha. "Semakin hari hasil karya kami sudah memiliki kualitas bagus, barulah dijual," tutur Agus Saputra. Gayung bersambut, sembari belajar mereka pun mulai untuk proses marketing. Kebetulan yang menekuni bidang penjualan adalah kakaknya sendiri Ni Luh Rai Trisnayanti. Ternyata hasil karyanya banyak peminat, sejumlah restoran di Bali, luar Bali hingga luar negeri mulai tertarik dan memutuskan memesan.
"Sebuah kafe terkenal di Kintamani, Bangli. Kemudian restoran yang ada di Laboan Bajo, Folres, NTT juga memesan ke kami. Ada juga yang sudah berlangganan seperti sejumlah restoran yang ada di wilayah Badung," tambah Rai Trisnayanti. Menurutnya, kerajinan keramik yang dibuat memang sengaja yang bertemakan tableware, karena pangsa pasarnya lebih banyak. Sekaligus dia sendiri ingin mengenalkan kesenian Bali.
Sebab dari hasil karyanya dia juga padukan dengan lukisan bali kebetulan adiknya Agus Saputra pintar mengukir. Paling banyak pesanan yang dibuat adalah keramik untuk minum kopi. "Sebulan rata-rata pesanan hampir 500 pcs dengan beragam mix," katanya. Dari hasil karyanya ini mereka pun memperoleh keuntungan yang menggiurkan. Sebulan rata-rata mencapai Rp 50 juta untung bersih. "Bersyukur dengan usaha kami. Namun sebelum beralih ke keramik, dari dulu kami memang hobi jualan. Bahkan kami sempat jualan kacang saur," tambah Trisnayanti. Dia menambahkan untuk proses pembuatan memang perlu waktu lama. Apalagi dalam proses pencampuran bahan baku supaya bahan berkualitas perlu kehati-hatian. "Karena itu proses pembuatannya tidak bisa sekarang order seminggu jadi, kemungkinan satu bulan baru siap, itu yang menyebabkan harga produk mahal dengan kisaran mulai dari Rp 35.000 sampai ratusan ribu rupiah, tergantung besar kecilnya produk," bebernya.
Sementara untuk bahan yang mereka gunakan didatangkan dari lokal, dan luar Bali. "Kami beli bahan yang sudah jadi atau yang sudah dicampur, belum mampu campur sendiri karena perlu alat khusus dan itupun alatnya besar-besar," jelasnya. Saat ini produk yang tengah ditekuni sedang berproses untuk mendapatkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai perlindungan dan legalitas produk yang dihasilkan. “Proses pengajuan sudah mengurus di kabupaten, provinsi hingga pusat,” imbuh Trisnayanti. 7 des
1
Komentar