Tiga Cagar Budaya Bali Ditetapkan Peringkat Nasional
DENPASAR, NusaBali - Tiga situs cagar budaya Bali mendapat persetujuan tim ahli cagar budaya nasional menjadi cagar budaya peringkat nasional.
Ketiganya kini menunggu SK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebelum sah menjadi tiga cagar budaya yang berstatus peringkat nasional.
Persetujuan penetapan tiga situs cagar budaya Bali menjadi peringkat nasional diberikan tim ahli pada saat Sidang Kajian Penetapan Cagar Budaya Peringkat Nasional 2023 yang berlangsung pada 4-7 Juli 2023 lalu di Jakarta. "Astungkara dari 5 cagar budaya yang kita usulkan, 3 cagar budaya diterima untuk ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat nasional, Taman Ayun (Badung), Prasasti Blanjong (Denpasar), dan Pura Pucak Penulisan (Bangli)," ujar Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Gede Arya Sugiartha, Jumat (15/9).
Sebelumnya ketiga warisan budaya tersebut merupakan situs cagar budaya yang memiliki status peringkat provinsi (Bali). Bersama Situs Cagar Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (Denpasar), Situs Cagar Budaya Rumah Nyoman Rai Srimben (Buleleng), didaftarkan naik kelas menjadi situs cagar budaya peringkat nasional.
Sayang Situs Cagar Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, dan Situs Cagar Budaya Rumah Nyoman Rai Srimben belum memenuhi syarat menjadi situs cagar budaya peringkat nasional. Keduanya perlu sejumlah perbaikan agar tahun depan bisa didaftarkan kembali dan lolos penilaian tim ahli cagar budaya nasional. "FIB (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana) dapat diusulkan kembali apabila ada data dan dokumentasi yang memenuhi pasal 42," sebut mantan Rektor ISI Denpasar ini.
Sebelumnya, Bali yang dikenal dengan warisan budaya yang kaya, belum memiliki sama sekali situs cagar budaya peringkat nasional. Kadisbud Arya Sugiartha mengatakan, salah satu tantangan penetapan situs cagar budaya di Bali, mulai peringkat Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga nasional adalah status kepemilikan situs cagar budaya yang dimiliki perseorangan hingga komunitas. "Kalau pemiliknya belum mengizinkan dengan pertimbangan tertentu, belum bisa kita ajukan," kata Arya Sugiartha.
Menurut Arya Sugiartha pemahaman masyarakat terkait cagar budaya belum sepenuhnya tepat. Beberapa bahkan menganggap dengan dijadikan cagar budaya akan membatasi aktivitas pemilik ataupun masyarakat di dalamnya. Hal itu juga mengingat kebanyakan situs cagar budaya di Bali merupakan living monument yang masih dipergunakan seperti pada awal pendiriannya. Ia pun memastikan dengan ditetapkannya Pura Taman Ayun dan Pura Taman Pucak Penulisan sebagai Situs Cagar Budaya nasional tidak akan mengurangi keleluasaan umat Hindu melakukan persembahyangan di dua pura bersejarah tersebut. Sebaliknya, kata Arya Sugiartha, penetapan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional justru akan menguatkan upaya pelestarian dua pura tersebut.
Terpisah, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV (Bali dan Nusa Tenggara Barat), Abi Kusno juga mengatakan penetapan tiga situs cagar budaya Bali menjadi peringkat nasional akan memperkuat upaya pelestarian ketiga situs, karena mulai Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Pusat akan saling bahu membahu melakukan pelindungan terhadap fisik maupun nilai-nilai yang ada di balik ketiga cagar budaya tersebut. "Yang harus dipahami adalah pemeringkatan nasional bukan berarti kewajibannya akan berpindah ke nasional, tetapi kewajiban pelestariannya akan menjadi gotong royong bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan juga masyarakat atau pemilik. Jadi dalam hal penganggaran, kebijakan program akan didiskusikan bersama," ujar Abi Kusno.
Untuk diketahui, beberapa syarat cagar budaya bisa ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat nasional, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010, meliputi cagar budaya merupakan wujud kesatuan dan persatuan bangsa, karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia, cagar budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat, dan/atau contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah. 7 cr78
Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun terletak di Mengwi, Badung. Pura Paibon/Pedarman Raja Mengwi ini untuk memuja roh leluhur dari raja-raja yang diwujudkan dengan dibangunnya sebuah gedong Paibon, serta dibangun pula meru-meru untuk pemujaan dan persembahyangan. Pura Taman Ayun dibangun pada abad ke-17 tepatnya dimulai tahun 1632. Dan selesai pada tahun 1634 oleh raja Kerajaan Mengwi yang pada saat itu mempunyai nama lain kerajaan Mangapura, Mangarajia, dan Kawiyapura, yaitu I Gusti Agung Putu raja kerajaan Mengwi saat itu. Pada tahun 2012 Unesco menetapkan Pura Taman Ayun sebagai bagian dari situs warisan budaya dunia.
Pura Pucak Penulisan
Pura Puncak Penulisan berada di ketinggian 1745 mdpl dan secara administrasi berada di wilayah Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pura ini merupakan salah satu pura tertua di Bali bahkan sudah ada sejak zaman Megalitikum. Di area pelataran pura banyak terdapat peninggalan benda-benda dari zaman Megalitikum. Pura Puncak Penulisan adalah tempat pemujaan Dewa Siwa. Dahulunya pura ini digunakan untuk tempat melakukan tapa yoga oleh para raja. Nama lain dari pura ini adalah Pura Tegeh Koripan yang berarti sebuah tempat kehidupan yang teguh dan tinggi. Atau disebut juga Pura Pamojan (Panah Raja), dan dikenal juga sebagai Pura Ukir Padelengan.
Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Prasasti Blanjong ditemukan di dekat Banjar Blanjong, Desa Sanur Kauh, Kota Denpasar. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno. (Diolah dari berbagai sumber).
Komentar