Ringankan Beban Krama, Santha Swarga Layani Paket Ngaben hingga Nyekah
DENPASAR, NusaBali.com - Genah Pangabenan Santha Swarga yang terletak di Kawasan Setra Agung Badung mampu melayani krama melaksanakan pangabenan hingga nyekah. Dibanding ngabenan konvensional, beban finansialnya lebih ringan namun dresta upacaranya tetap sama.
Santha Swarga merupakan salah satu unit Bagha Utsaha Padruenan Desa Adat (BUPDA) Denpasar. Unit BUPDA ini bergerak pada pelayanan pangabenan sawa (jenazah) yang sudah beroperasi sejak Februari 2022 silam di Jalam Gunung Batukaru Nomor 2, Kelurahan Pemecutan, Denpasar Barat.
Lokasinya berada di sudut barat daya Setra Agung Badung, tepatnya pada kawasan Setra Bugbug. Setra ini awalnya berfungsi untuk tempat pangabenan dan pemakaman umum bagi krama tamiu dan tamiu di wilayah Desa Adat Denpasar.
Kini, sekitar 40 are dari Setra Bugbug telah berdiri Genah Pangabenan Santha Swarga. Pihak pengelola menolak menyebut unit usaha ini sebagai krematorium. Sebab, yang dilakukan bukan mengkremasi jenazah melainkan melaksanakan pangabenan disertai upacara yang sesuai dresta.
"Kami di sini tidak menggunakan istilah kremasi, mohon diluruskan. Di sini adalah genah pangabenan yang disertai upacara sesuai dresta. Kalau kremasi itu kan perabuan saja," tegas Ketua BUPDA Denpasar Jero Mangku Nyoman Sudarja, 60, dijumpai di lokasi genah pengabenan, Minggu (17/9/2023).
Kata Mangku Sudarja, Santha Swarga dibangun untuk membantu upacara pitra yadnya seluruh krama Hindu. Pelayanan tidak hanya dikhususnya untuk krama Hindu di internal Desa Adat Denpasar yang memiliki 106 banjar adat. Namun, juga untuk krama non Hindu yang bisa dibantu perabuannya.
Pamangku aktif di Pura Tambang Badung ini menegaskan, Santha Swarga tidak dibangun untuk melemahkan fungsi desa adat. Genah pangabenan ini justru dibuat untuk menguatkan dresta dari desa adat. Sebab, dengan kemajuan ekonomi, krama sudah bukan lagi individu agraris namun individu urban.
Perantau yang berada di Denpasar bisa saja ada yang ewuh-pakewuh untuk memulangkan jenazah ke kampung halaman. Daripada berakhir dengan kremasi, lebih baik disediakan tempat di mana mereka bisa melaksanakan upacara pangabenan yang sederhana dan sesuai dresta yakni memenuhi 5 unsur: bubuh pirata, nasi angkeb, padang lepas, panjang ilang, dan pangaskaran.
"Dari segi beban finansial sangat membengkak (apabila pangabenan diurus sendiri). Dengan adanya ini (Santha Swarga) bisa membantu umat. Kalau sendiri untuk ngaben saja itu hampir Rp 40 juta, ngaben saja. Di sini ngaben-nganyud Rp 16 juta," jelas pria yang maekajati pada 1996.
Dari segi piranti upacara pun, kata Mangku Sudarja, tidak ada yang disederhanakan. Semuanya sudah sesuai dengan dresta di Desa Adat Denpasar dan dari petunjuk para sulinggih. Dengan ini, Santha Swarga menegaskan keberadaan genah pangabenan ini bukanlah bentuk penyederhanaan ritual.
Rangkaian ritual sama seperti ngaben pada umumnya. Hanya saja, prosesi dan rangkaiannya masih berada dalam satu kawasan mulai dari prosesi nyiramin (memandikan) hingga ngeseng (pembakaran). Tersedia empat bangunan utama untuk mendukung rangkaian ngaben ini.
Ada bangunan Samanggen di sudut timur laut. Bangunan ini terdiri dari empat balai yang digunakan untuk meletakkan sawa. Di depan Samanggen ada Balai Pawedan, tempat di mana para sulinggih berjapa mantra memimpin jalannya ritual. Di sudut barat daya ada genah ngeseng atau tempat pebakaran.
Foto: Ketua BUPDA Denpasar Jero Mangku Nyoman Sudarja.
"Di depan genah ngeseng itu ada Balai Galih. Seusai ngeseng, galih (tulang sisa pembakaran) direka di sana. Satu kali rangkaian ngaben maksimal diikuti oleh empat sawa sesuai keadaan tempat. Kalau lebih, kami shift-kan," beber Mangku Sudarja.
Selama 1,5 tahun beroperasi sejak Februari 2022, Santha Swarga sudah mampu melayani rata-rata 30 sawa dalam satu bulan atau hampir 600 sawa sejak genah pangabenan ini berdiri. Pengguna jasanya pun disebut seimbang antara krama Hindu internal Desa Adat Denpasar dan dari luar desa adat.
Untuk membantu kelancaran pengabenan, Santha Swarga memiliki 12 kelompok sarati yang menyiapkan piranti upacara dan pelaksanaannya. Ada pula 30 staf pendukung yang membantu keluarga sawa melakukan prosesi pengabenan. Dan, ada 25 sulinggih yang akan memimpin ritual.
Mangku Sudarja menepis anggapan pihak yang memilih ngaben di Santha Swarga tidak mendapat banjar, kasepekan, dan tudingan lainnya. Pria asal Banjar Pemedilan, Kelurahan Pemecutan ini menyoroti beban biaya, waktu, dan tenaga pangabenan. Menurutnya, hal ini menjadi latar belakang utama krama memilih ngaben di tempatnya.
"Kami memang tidak berbicara sejauh itu dengan pamilet (peserta ngaben). Tapi, desa adat itu harus semakin fleksibel dan adaptif terhadap zaman. Ini kan soal kemudahan, ke-simple-an. Banyak kok krama adat bahkan bandesa yang mengiringi warganya yang ngaben di sini," tegas Mangku Sudarja.
I Gede Oka Artha Negara, 49, salah seorang keluarga peserta ngaben membenarkan alasan ini. Bagi pria asal Jembrana ini, waktu dan tenaga menjadi alasannya dan keluarga untuk mengupacarai sang ibu di Santha Swarga. Sang ibu sudah lama menetap di Denpasar, akan ewuh-pakewuh apabila dipaksakan ngaben di Jembrana.
"Keputusan ini kami buat bersama dengan alasan kecepatan dan percepatan proses yang simple (tidak perlu menyiapkan piranti upacara sendiri). Kami pun tidak dibikin bingung atau panik, ini akan bagaimana mengurusnya," kata Oka, dijumpai pada Minggu di Santha Swarga.
Oka berniat membawa ibunya pulang ke Jembrana namun akan memakan waktu dan tenaga. Baginya dan keluarga, baik di Jembrana maupun di Santha Swarga sama-sama baiknya. Meskipun memang, keluarga masih harus menyiapkan beberapa piranti non banten.
Untuk diketahui, Santha Swarga memiliki 4 mobil jenazah dan menawarkan beberapa paket pangabenan. Mulai paket makingsan di geni senilai Rp 10 juta, paket ngaben-ngayud senilai Rp 16 juta dengan sawa, Rp 15 juta tanpa sawa, dan Rp 10 juta untuk yang ngiring.
Ada pula paket komplet dari ngaben-nyekah-ngalinggihang di rong tiga senilai Rp 35 juta. Biaya ini sudah termasuk unen-unen dan prosesi nyagara gunung. Bahkan peserta ngaben diberikan opsi jika ingin memakai jenis banten babangkit untuk ngaben-ngayud atau banten pulogembal. Masing-masing senilai Rp 28 juta dan Rp 23 juta.
Ada pula pelayanan untuk menyelesaikan upacara di rumah seperti ngalungah dan macaru/makelud, masing-masing senilai Rp 2 juta dan Rp 1,5 juta. Staf sarati dan pamangku biasanya akan datang langsung ke kediaman peserta ngaben untuk melakukan dua jenis upacara ini.
Selama beroperasi hingga kini, Santha Swarga sudah mampu berkontribusi ke kas Desa Adat Denpasar lewat Sisa Hasil Usaha (SHU). Setoran pertama Santha Swarga untuk tahun pertama beroperasi berhasil mencapai kurang lebih Rp 60 juta. *rat
Lokasinya berada di sudut barat daya Setra Agung Badung, tepatnya pada kawasan Setra Bugbug. Setra ini awalnya berfungsi untuk tempat pangabenan dan pemakaman umum bagi krama tamiu dan tamiu di wilayah Desa Adat Denpasar.
Kini, sekitar 40 are dari Setra Bugbug telah berdiri Genah Pangabenan Santha Swarga. Pihak pengelola menolak menyebut unit usaha ini sebagai krematorium. Sebab, yang dilakukan bukan mengkremasi jenazah melainkan melaksanakan pangabenan disertai upacara yang sesuai dresta.
"Kami di sini tidak menggunakan istilah kremasi, mohon diluruskan. Di sini adalah genah pangabenan yang disertai upacara sesuai dresta. Kalau kremasi itu kan perabuan saja," tegas Ketua BUPDA Denpasar Jero Mangku Nyoman Sudarja, 60, dijumpai di lokasi genah pengabenan, Minggu (17/9/2023).
Kata Mangku Sudarja, Santha Swarga dibangun untuk membantu upacara pitra yadnya seluruh krama Hindu. Pelayanan tidak hanya dikhususnya untuk krama Hindu di internal Desa Adat Denpasar yang memiliki 106 banjar adat. Namun, juga untuk krama non Hindu yang bisa dibantu perabuannya.
Pamangku aktif di Pura Tambang Badung ini menegaskan, Santha Swarga tidak dibangun untuk melemahkan fungsi desa adat. Genah pangabenan ini justru dibuat untuk menguatkan dresta dari desa adat. Sebab, dengan kemajuan ekonomi, krama sudah bukan lagi individu agraris namun individu urban.
Perantau yang berada di Denpasar bisa saja ada yang ewuh-pakewuh untuk memulangkan jenazah ke kampung halaman. Daripada berakhir dengan kremasi, lebih baik disediakan tempat di mana mereka bisa melaksanakan upacara pangabenan yang sederhana dan sesuai dresta yakni memenuhi 5 unsur: bubuh pirata, nasi angkeb, padang lepas, panjang ilang, dan pangaskaran.
"Dari segi beban finansial sangat membengkak (apabila pangabenan diurus sendiri). Dengan adanya ini (Santha Swarga) bisa membantu umat. Kalau sendiri untuk ngaben saja itu hampir Rp 40 juta, ngaben saja. Di sini ngaben-nganyud Rp 16 juta," jelas pria yang maekajati pada 1996.
Dari segi piranti upacara pun, kata Mangku Sudarja, tidak ada yang disederhanakan. Semuanya sudah sesuai dengan dresta di Desa Adat Denpasar dan dari petunjuk para sulinggih. Dengan ini, Santha Swarga menegaskan keberadaan genah pangabenan ini bukanlah bentuk penyederhanaan ritual.
Rangkaian ritual sama seperti ngaben pada umumnya. Hanya saja, prosesi dan rangkaiannya masih berada dalam satu kawasan mulai dari prosesi nyiramin (memandikan) hingga ngeseng (pembakaran). Tersedia empat bangunan utama untuk mendukung rangkaian ngaben ini.
Ada bangunan Samanggen di sudut timur laut. Bangunan ini terdiri dari empat balai yang digunakan untuk meletakkan sawa. Di depan Samanggen ada Balai Pawedan, tempat di mana para sulinggih berjapa mantra memimpin jalannya ritual. Di sudut barat daya ada genah ngeseng atau tempat pebakaran.
Foto: Ketua BUPDA Denpasar Jero Mangku Nyoman Sudarja.
"Di depan genah ngeseng itu ada Balai Galih. Seusai ngeseng, galih (tulang sisa pembakaran) direka di sana. Satu kali rangkaian ngaben maksimal diikuti oleh empat sawa sesuai keadaan tempat. Kalau lebih, kami shift-kan," beber Mangku Sudarja.
Selama 1,5 tahun beroperasi sejak Februari 2022, Santha Swarga sudah mampu melayani rata-rata 30 sawa dalam satu bulan atau hampir 600 sawa sejak genah pangabenan ini berdiri. Pengguna jasanya pun disebut seimbang antara krama Hindu internal Desa Adat Denpasar dan dari luar desa adat.
Untuk membantu kelancaran pengabenan, Santha Swarga memiliki 12 kelompok sarati yang menyiapkan piranti upacara dan pelaksanaannya. Ada pula 30 staf pendukung yang membantu keluarga sawa melakukan prosesi pengabenan. Dan, ada 25 sulinggih yang akan memimpin ritual.
Mangku Sudarja menepis anggapan pihak yang memilih ngaben di Santha Swarga tidak mendapat banjar, kasepekan, dan tudingan lainnya. Pria asal Banjar Pemedilan, Kelurahan Pemecutan ini menyoroti beban biaya, waktu, dan tenaga pangabenan. Menurutnya, hal ini menjadi latar belakang utama krama memilih ngaben di tempatnya.
"Kami memang tidak berbicara sejauh itu dengan pamilet (peserta ngaben). Tapi, desa adat itu harus semakin fleksibel dan adaptif terhadap zaman. Ini kan soal kemudahan, ke-simple-an. Banyak kok krama adat bahkan bandesa yang mengiringi warganya yang ngaben di sini," tegas Mangku Sudarja.
I Gede Oka Artha Negara, 49, salah seorang keluarga peserta ngaben membenarkan alasan ini. Bagi pria asal Jembrana ini, waktu dan tenaga menjadi alasannya dan keluarga untuk mengupacarai sang ibu di Santha Swarga. Sang ibu sudah lama menetap di Denpasar, akan ewuh-pakewuh apabila dipaksakan ngaben di Jembrana.
"Keputusan ini kami buat bersama dengan alasan kecepatan dan percepatan proses yang simple (tidak perlu menyiapkan piranti upacara sendiri). Kami pun tidak dibikin bingung atau panik, ini akan bagaimana mengurusnya," kata Oka, dijumpai pada Minggu di Santha Swarga.
Oka berniat membawa ibunya pulang ke Jembrana namun akan memakan waktu dan tenaga. Baginya dan keluarga, baik di Jembrana maupun di Santha Swarga sama-sama baiknya. Meskipun memang, keluarga masih harus menyiapkan beberapa piranti non banten.
Untuk diketahui, Santha Swarga memiliki 4 mobil jenazah dan menawarkan beberapa paket pangabenan. Mulai paket makingsan di geni senilai Rp 10 juta, paket ngaben-ngayud senilai Rp 16 juta dengan sawa, Rp 15 juta tanpa sawa, dan Rp 10 juta untuk yang ngiring.
Ada pula paket komplet dari ngaben-nyekah-ngalinggihang di rong tiga senilai Rp 35 juta. Biaya ini sudah termasuk unen-unen dan prosesi nyagara gunung. Bahkan peserta ngaben diberikan opsi jika ingin memakai jenis banten babangkit untuk ngaben-ngayud atau banten pulogembal. Masing-masing senilai Rp 28 juta dan Rp 23 juta.
Ada pula pelayanan untuk menyelesaikan upacara di rumah seperti ngalungah dan macaru/makelud, masing-masing senilai Rp 2 juta dan Rp 1,5 juta. Staf sarati dan pamangku biasanya akan datang langsung ke kediaman peserta ngaben untuk melakukan dua jenis upacara ini.
Selama beroperasi hingga kini, Santha Swarga sudah mampu berkontribusi ke kas Desa Adat Denpasar lewat Sisa Hasil Usaha (SHU). Setoran pertama Santha Swarga untuk tahun pertama beroperasi berhasil mencapai kurang lebih Rp 60 juta. *rat
1
Komentar