Guru Besar Unud Desak Penerapan Pertanian Organik
Empat Danau di Bali Tercemar Pestisida Kimia
MANGUPURA, NusaBali - Pertanian organik menjadi solusi rusaknya lingkungan pasca revolusi hijau. Empat danau di Bali telah menurun kualitasnya akibat pertanian konvensional yang ada di sekitarnya. Pertanian organik jadi solusi karena telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas petani
Hal ini terungkap saat Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), Prof Dr Ni Luh Kartini MS, menyampaikan orasi ilmiahnya berjudul 'Pertanian Organik Penyelamat Kehidupan Berbasis Sumberdaya Lokal dan Kearifan Lokal Mendukung Ekonomi Kreatif' dalam pengukuhannya sebagai guru besar Unud dalam bidang pertanian organik, di Auditorium Widya Sabha, Kampus Unud Jimbaran, Sabtu (16/9).
Dalam orasinya Prof Kartini memaparkan penelitiannya terkait pertanian organik selama hampir 32 tahun. Menurutnya revolusi hijau telah mengubah pandangan original masyarakat Bali terhadap alamnya. Revolusi hijau memandang alam (tanah) sebagai aset industri yang jika dimaksimalkan fungsinya akan menambah produktivitas ekonomi. Salah satu caranya dengan penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis.
"Revolusi hijau mengubah tanah sebagai sumber kehidupan menjadi industri yang dapat dimaksimalkan produktivitasnya," ujar Prof Kartini mengawali orasinya. Sayangnya penggunaan pupuk dan pestisida sintetis dilakukan secara berlebihan sehingga mengakibatkan sejumlah kerusakan lingkungan alam hingga berdampak pada kesehatan manusia itu sendiri. Empat danau di Bali, yakni Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan menjadi bukti bahwa revolusi hijau telah berdampak terhadap penurunan kualitas alam secara drastis. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, keempat danau tersebut telah mendekati Kelas IV (cemar berat). Pencemaran bersumber dari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang ada di sekitarnya.
Sementara itu pestisida sintetis juga telah mengakibatkan punahnya beberapa spesies yang mengakibatkan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati. "Salah satunya cacing tanah," ujar Prof Kartini yang mengaku sedari kecil terkesima dengan cacing tanah. Lebih jauh, cemaran bahan kimia sintetis juga telah terdeteksi pada air susu ibu (ASI). Menurut Prof Kartini 20 persen ASI terdeteksi mengandung bahan kimia sintetis yang berasal dari pupuk dan pestisida pada tanaman yang dikonsumsi.
Ia mengingatkan bahwa kearifan lokal Bali sejatinya telah memiliki pandangan yang tepat terhadap lingkungan alam. Bhisama Batur Kalawasan menitahkan kepada masyarakat Bali untuk hidup harmoni dengan alam. "Bhisama Batur Kalawasan mengamanahkan untuk memelihara gunung dan laut, untuk hidup dari tangan kita sendiri, kalau mau hidup bahagia jangan merusak alam, kalau merusak alam akan dikutuk, kutukannya adalah tidak menemukan keselamatan, tidak dapat makan dan minum, sakit-sakitan dan berkelahi dengan sesama," ujar guru besar asal Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng ini.
Prof Kartini menuturkan, hubungan antara manusia dengan alam adalah saling hidup menghidupi dan manusia adalah alam itu sendiri. Penelitian-penelitian Prof Kartini selama berkiprah di bidang pertanian organik telah membuktikan pertanian organik terpadu berhasil meningkatkan produktivitas petani tanpa bergantung dengan pupuk dan pestisida sintetis. Dua percontohan pertanian organik di antaranya dilakukan di wilayah Kintamani (Bangli) dan Desa Megati (Tabanan).
Pertanian terpadu yang disebut SaBiCaITala, yakni dengan mengkombinasikan usaha ternak sapi, biogas, cacing tanah, ikan, tanaman organik, lebah, hingga agrowisata telah terbukti berhasil meningkatkan pendapatan para petani. "Dengan pertanian organik terpadu SaBiCaITala, sudah bisa meningkatkan produksi sampai 400-500 persen," jelas alumnus Program Doktor Pertanian Universitas Padjajaran (Unpad) tahun 1997 ini.
Prof Kartini mendorong terus upaya Bali menjadi Pulau Organik. Dari sisi regulasi, kata Prof Kartini, Bali telah memiliki regulasi yang cukup lengkap dimulai dari Deklarasi Bali Pulau Organik pada tahun 2009 hingga yang terbaru dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik. Sehingga dengan demikian kini tinggal mengoptimalkan penerapannya di lapangan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali I Wayan Sunada mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menargetkan Bali menjadi Pulau Organik pada tahun 2024. Sunada mengklaim tahun 2022 lahan sawah di Bali yang sudah menerapkan pertanian organik sudah sekitar 35.000 hektare. Tidak hanya lahan sawah, praktik organik juga sudah dilakukan di 150.000 hektare lahan kebun di Bali. "Target saya pertanian organik paling lambat 2024 kita tuntaskan," ujar Sunada.
Untuk diketahui, luas lahan sawah di Bali saat ini sekitar 70.000 hektare. Sementara lahan kering berupa tegalan/perkebunan kurang lebih mencapai 200.000 hektare yang ditanami holtikultura dan buah-buahan. 7 cr78
Dalam orasinya Prof Kartini memaparkan penelitiannya terkait pertanian organik selama hampir 32 tahun. Menurutnya revolusi hijau telah mengubah pandangan original masyarakat Bali terhadap alamnya. Revolusi hijau memandang alam (tanah) sebagai aset industri yang jika dimaksimalkan fungsinya akan menambah produktivitas ekonomi. Salah satu caranya dengan penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis.
"Revolusi hijau mengubah tanah sebagai sumber kehidupan menjadi industri yang dapat dimaksimalkan produktivitasnya," ujar Prof Kartini mengawali orasinya. Sayangnya penggunaan pupuk dan pestisida sintetis dilakukan secara berlebihan sehingga mengakibatkan sejumlah kerusakan lingkungan alam hingga berdampak pada kesehatan manusia itu sendiri. Empat danau di Bali, yakni Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan menjadi bukti bahwa revolusi hijau telah berdampak terhadap penurunan kualitas alam secara drastis. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, keempat danau tersebut telah mendekati Kelas IV (cemar berat). Pencemaran bersumber dari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang ada di sekitarnya.
Sementara itu pestisida sintetis juga telah mengakibatkan punahnya beberapa spesies yang mengakibatkan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati. "Salah satunya cacing tanah," ujar Prof Kartini yang mengaku sedari kecil terkesima dengan cacing tanah. Lebih jauh, cemaran bahan kimia sintetis juga telah terdeteksi pada air susu ibu (ASI). Menurut Prof Kartini 20 persen ASI terdeteksi mengandung bahan kimia sintetis yang berasal dari pupuk dan pestisida pada tanaman yang dikonsumsi.
Ia mengingatkan bahwa kearifan lokal Bali sejatinya telah memiliki pandangan yang tepat terhadap lingkungan alam. Bhisama Batur Kalawasan menitahkan kepada masyarakat Bali untuk hidup harmoni dengan alam. "Bhisama Batur Kalawasan mengamanahkan untuk memelihara gunung dan laut, untuk hidup dari tangan kita sendiri, kalau mau hidup bahagia jangan merusak alam, kalau merusak alam akan dikutuk, kutukannya adalah tidak menemukan keselamatan, tidak dapat makan dan minum, sakit-sakitan dan berkelahi dengan sesama," ujar guru besar asal Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng ini.
Prof Kartini menuturkan, hubungan antara manusia dengan alam adalah saling hidup menghidupi dan manusia adalah alam itu sendiri. Penelitian-penelitian Prof Kartini selama berkiprah di bidang pertanian organik telah membuktikan pertanian organik terpadu berhasil meningkatkan produktivitas petani tanpa bergantung dengan pupuk dan pestisida sintetis. Dua percontohan pertanian organik di antaranya dilakukan di wilayah Kintamani (Bangli) dan Desa Megati (Tabanan).
Pertanian terpadu yang disebut SaBiCaITala, yakni dengan mengkombinasikan usaha ternak sapi, biogas, cacing tanah, ikan, tanaman organik, lebah, hingga agrowisata telah terbukti berhasil meningkatkan pendapatan para petani. "Dengan pertanian organik terpadu SaBiCaITala, sudah bisa meningkatkan produksi sampai 400-500 persen," jelas alumnus Program Doktor Pertanian Universitas Padjajaran (Unpad) tahun 1997 ini.
Prof Kartini mendorong terus upaya Bali menjadi Pulau Organik. Dari sisi regulasi, kata Prof Kartini, Bali telah memiliki regulasi yang cukup lengkap dimulai dari Deklarasi Bali Pulau Organik pada tahun 2009 hingga yang terbaru dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik. Sehingga dengan demikian kini tinggal mengoptimalkan penerapannya di lapangan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali I Wayan Sunada mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menargetkan Bali menjadi Pulau Organik pada tahun 2024. Sunada mengklaim tahun 2022 lahan sawah di Bali yang sudah menerapkan pertanian organik sudah sekitar 35.000 hektare. Tidak hanya lahan sawah, praktik organik juga sudah dilakukan di 150.000 hektare lahan kebun di Bali. "Target saya pertanian organik paling lambat 2024 kita tuntaskan," ujar Sunada.
Untuk diketahui, luas lahan sawah di Bali saat ini sekitar 70.000 hektare. Sementara lahan kering berupa tegalan/perkebunan kurang lebih mencapai 200.000 hektare yang ditanami holtikultura dan buah-buahan. 7 cr78
Komentar