Dari Disnasti T`ang Menuju Kejayaan Makna
Sejarah Wastra Bali Membentang Ratusan Tahun
Zaman dahulu orang membuat selembar kain penuh dengan rasa, betul-betul detail dari motif, teknik pengerjaannya, kemudian peruntukan dan kegunaannya jelas.
DENPASAR, NusaBali
Ratusan wastra (kain) Bali yang menjadi koleksi Museum Bali merekam kecerdasan dan kemahiran para leluhur Bali di masa lampau. Tak hanya diwariskan sebagai sebuah benda seni, lembar wastra penuh makna menggambarkan kekayaan alam Bali dengan kapas terbaiknya dan berbagai warna alami yang ditampilkan, serta spirit agama Hindu Bali yang kuat.
Museum Bali melaksanakan pameran temporer mengangkat tema 'Samudera Mantana: Lautan Pengetahuan dan Informasi Peradaban Bali' dengan kategori wastra Bali, 22 September - 2 Oktober 2023.
Ratusan wastra (kain) Bali yang menjadi koleksi Museum Bali merekam kecerdasan dan kemahiran para leluhur Bali di masa lampau. Tak hanya diwariskan sebagai sebuah benda seni, lembar wastra penuh makna menggambarkan kekayaan alam Bali dengan kapas terbaiknya dan berbagai warna alami yang ditampilkan, serta spirit agama Hindu Bali yang kuat.
Museum Bali melaksanakan pameran temporer mengangkat tema 'Samudera Mantana: Lautan Pengetahuan dan Informasi Peradaban Bali' dengan kategori wastra Bali, 22 September - 2 Oktober 2023.
43 wastra yang hampir keseluruhan adalah koleksi Museum Bali dipamerkan bersama 20 artefak pendukung dan 1 film pendek yang berhubungan dengan wastra Bali. Wastra paling tua yang dipamerkan diperkirakan berusia 200 tahun merupakan wastra cepuk yang berasal dari Buleleng.
Koleksi wastra di Museum Bali total berjumlah 529 lembar yang terdiri dari berbagai jenis, seperti wastra geringsing, wastra songket, wastra endek, wastra cepuk, dan lainnya.
Kurator pameran Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana mengungkapkan, sejarah panjang wastra Bali berangkat dari masa Kerajaan Gelgel, Klungkung dalam kepemimpinan raja Dalem Waturenggong pada abad ke-16 M, yang merupakan masa keemasan kesenian di Bali. Namun jika ditelusuri lebih dalam sejarah wastra Bali telah dimulai ratusan tahun sebelumnya. "Jejak wastra Bali telah ditemukan sekitar abad ke-10 M, hal ini disimpulkan mengacu pada beberapa sumber dan prasasti yang ditemukan di bagian utara Bali," jelas Tjok Ratna.
Dia melanjutkan, pada masa Disnasti T`ang (618-907), seorang pangeran dari Bali mengirimkan kain katun yang diproduksi sendiri, kayu cendana, dan gading sebagai upeti kepada kaisar Cina pada periode kebijakan luar negeri ekspansionis Cina.
"Pada buku Hsing-ch a Sheng-lan karya pelaut Fei Hsin (1486), ada aktivitas impor kapas 'kain Jawa' ke Kerajaan Sriwijaya yang diperkirakan telah ditenun di Jawa dan Bali," ungkap Tjok Ratna sembari menambahkan di Bali pernah tumbuh tanaman kapas yang diakui kualitasnya.
Peneliti kain Bali ini menjelaskan, dilihat dari aspek bentuk terdapat dua jenis wastra Bali yaitu berbentuk lembaran dan berbentuk lingkaran (tanpa putus), berupa wastra geringsing, wastra songket, wastra endek, wastra cepuk, wastra perada dan lainnya. Wastra Bali berbentuk lembaran ditemui hampir di seluruh wilayah di Bali, seperti Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bangli, Tabanan, Buleleng, Denpasar, Jembrana hingga Denpasar.
Jelas Tjok Ratna, bentuk lembaran merupakan bentuk lazim ditemukan pada hampir seluruh jenis tekstil yang tersebar di seluruh dunia. Hal berbeda mungkin hanya ukuran pada setiap lembar wastra, ukuran tersebut dipengaruhi oleh fungsi, teknik dan alat yang digunakan untuk pembuatan wastra. ‘’Begitu juga dengan wastra Bali, ada berbagai ukuran dengan fungsi yang juga beragam, seperti men, selendang, pengangge pelinggih, parba, dan lainnya," beber akademisi ISI Denpasar.
Sementara itu, wastra Bali berbentuk lingkaran umumnya ditemukan di wilayah Bali bagian utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng. Wastra ini bagi masyarakat Buleleng disebut dengan wangsul, yang memiliki arti kembali. Selain di bagian utara, wastra lingkaran ini juga ditemukan di wilayah timur Bali khususnya Klungkung dan Karangasem yang dikenal sebagai gedogan yang memiliki arti lingkaran. "Jenis wastra Bali berbentuk lingkaran ini tergolong dalam kelompok wastra bebali jika dilihat berdasarkan fungsinya," ujar Tjok Ratna.
Sebagai salah satu ujung tombak kesenian dan warisan tradisi Bali, menjadi penting untuk memastikan posisi wastra sebagai salah satu kekayaan intelektual leluhur masyarakat Bali yang tercatat dan diakui baik secara nasional maupun internasional.
Tjok Ratna menuturkan, berbagai upaya kolektif telah dilakukan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan akademisi, budayawan, dan pelaku budaya dalam konteks ini yaitu penenun wastra Bali, telah menghasilkan beberapa pengakuan baik secara tangible maupun intangible atas eksistensi ragam wastra di Bali.
Wastra geringsing telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia dalam kategori Kemahiran dan Kerajinan Tradisional pada tahun 2015. Pada tahun yang sama dalam kategori serupa wastra endek pun diakui sebagai salah satu WBTB Indonesia. Setahun setelahnya, pada tahun 2016 geringsing kembali mendapatkan perlindungan produk sebagai Indikasi Geografis (ICG) dengan dasar pertimbangan kekhasan, konsep, filosofis, dan bahan-bahan alam yang digunakan dalam pembuatan produk melalui Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Wastra bebali merupakan salah satu warisan budaya Bali yang telah tercatat sebagai bagian dari WBTB Indonesia tahun 2020 dengan domain Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional. Pada tahun yang sama, Provinsi Bali juga menerima Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) untuk wastra endek Bali, wastra tradisional yang sudah terkenal di mancanegara ini dicatatkan sebagai Pengetahuan Tradisional Bali. Menyusul kemudian pada tahun 2022, wastra songket Bali mendapatkan HKI yang serupa.
Desainer Anak Agung Ngurah Anom Mayun K Tenaya mengakui kualitas wastra yang dibuat para leluhur Bali di masa lalu tidak bisa dibandingkan dengan wastra Bali yang kini beredar di pasaran. Agung Mayun menuturkan para tetua Bali tahu jelas tujuan mereka membuat selembar wastra.
"Zaman dahulu orang membuat selembar kain penuh dengan rasa, betul-betul detail dari motif, teknik pengerjaannya, kemudian peruntukan dan kegunaannya jelas. Zaman dahulu harus jelas apa fungsi dan kegunaannya baru dibuatkan kain tersebut. Beda dengan sekarang, sekarang diproduksi orang tidak akan tahu kegunaan dari kain - kain tersebut," ujar desainer yang juga akademisi ISI Denpasar.
Agung Mayun menjelaskan, melalui pameran wastra Bali, masyarakat dapat melihat berbagai jenis wastra Bali serta fungsinya yang pada umumnya pada ranah ritual agama Hindu di Bali. Motif-motif yang dirangkai tetua Bali mempunyai nilai tentang kehidupan. Lembar wastra Bali yang penuh makna menunjukkan teguhnya kepercayaan dan keyakinan masyarakat Bali terhadap agama Hindu Bali.
Wastra Bali digunakan sebagai pelengkap upacara, dimulai dari upacara bayi baru lahir, usia satu bulan tujuh hari, memasuki usia dewasa, menikah, hingga meninggal dunia. Menurut Agung Mayun setiap wastra Bali memberi sebuah pesan agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik. "Seperti wastra bebali ini, walaupun sederhana, ada padang segabung (rumput terikat). Bagaimana kalau kita bersaudara itu menjadi satu tidak terpecahkan," ujar Agung Mayun.
Dengan berbagai nilai luhur tersebut Agung Mayun tidak menampik jika wastra-wastra yang sudah ada sejak ratusan tahun dapat diproduksi pada zaman sekarang untuk memenuhi kebutuhan dalam upacara adat di Bali. "Sebenarnya ini bisa dikomersilkan karena ini semua digunakan untuk upacara apakah dia bersifat panca yadnya semua berfungsi," sebutnya.
Namun demikian, untuk membuat wastra Bali yang sekadar menyamai kualitas wastra Bali di zaman dahulu bukan hal yang mudah. Salah satu tantangannya adalah dalam penyediaan bahan baku. Menurutnya, untuk saat ini negara yang mampu memproduksi benang berkualitas adalah Cina dan India. Karena itu para perajin Bali sangat bergantung dari impor dari kedua negara. "Seperti benang emas kalau di Bali kan tidak bisa diproduksi," lanjut Agung Mayun.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha memberi apresiasi pameran temporer wastra Bali. Pameran yang dibuka tanpa dipungut biaya masuk ini diharapkan menjadi daya tarik bagi kalangan muda. Ia menuturkan, dengan berkunjung ke museum para pelajar dapat melihat langsung karya-karya budaya bersejarah yang selama ini hanya dipelajari di sekolah. "Tujuannya membiasakan anak-anak SD SMP, SMA, terutama, agar terbiasa berkunjung ke museum, menjadikan museum sebagai tempat belajar," ujar mantan Rektor ISI Denpasar.
Kadis Arya Sugiartha menuturkan pihak Museum Bali selama ini terus melakukan sosialisasi keberadaan Museum Bali dengan ribuan koleksinya. Upaya lainnya yakni dengan melakukan berbagai lomba melibatkan siswa dari seluruh Bali.
Dia mendorong pengelola Museum Bali terus bersemangat membangun budaya berkunjung ke museum, khususnya kepada masyarakat Bali sendiri yang jumlah kunjungannya masih jauh di bawah kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik.
"Harus ada kesenangan juga untuk mengelola museum, kalau tidak begitu nanti (koleksinya) dianggap benda-benda yang tidak ada artinya padahal penuh makna," tandasnya.7cr78
1
Komentar