Digelar Dua Tahun Sekali Setelah Piodalan, Penarinya Krama Lanang
Melihat Keunikan Tradisi Ngigel Desa di Pura Desa Adat Nagasepaha, Kecamatan/Kabupaten Buleleng
Tidak ada ritual dan syarat khusus untuk pelaksanaan tradisi Ngigel Desa ini, pakem tarian yang dibawakan dan pakaian yang digunakan juga diserahkan ke krama
SINGARAJA, NusaBali
Satu per satu krama lanang (pria) Desa Adat Nagasepaha, Desa Nagasepaha, Kecamatan/Kabupaten Buleleng keluar dari pintu keluar mandala utama Pura Desa Nagasepaha pada Saniscara Pon Tambir, Sabtu (30/9). Mereka langsung menari dengan iringan tetabuhan yang dialunkan oleh sekaa gong di madya mandala. Tidak ada kesamaan gerak antara satu penari dengan penari lain. Mereka menari bebas dengan keahlian dan keterampilannya masing-masing.
Menariknya adalah kreasi busana yang digunakan menyerupai penari Bali. Ada yang memakai badong, udeng hingga saput prada, namun ada juga yang berias sederhana dengan nuansa busana putih yang menjadi warna wajib di setiap pelaksanaan upacara Dewa Yadnya di Bali. Kegiatan ini dikenal dengan Tradisi Ngigel Desa yang merupakan rangkaian upacara piodalan di Pura Desa. Tradisi unik ini hanya datang dua tahun sekali.
Satu per satu krama lanang (pria) Desa Adat Nagasepaha, Desa Nagasepaha, Kecamatan/Kabupaten Buleleng keluar dari pintu keluar mandala utama Pura Desa Nagasepaha pada Saniscara Pon Tambir, Sabtu (30/9). Mereka langsung menari dengan iringan tetabuhan yang dialunkan oleh sekaa gong di madya mandala. Tidak ada kesamaan gerak antara satu penari dengan penari lain. Mereka menari bebas dengan keahlian dan keterampilannya masing-masing.
Menariknya adalah kreasi busana yang digunakan menyerupai penari Bali. Ada yang memakai badong, udeng hingga saput prada, namun ada juga yang berias sederhana dengan nuansa busana putih yang menjadi warna wajib di setiap pelaksanaan upacara Dewa Yadnya di Bali. Kegiatan ini dikenal dengan Tradisi Ngigel Desa yang merupakan rangkaian upacara piodalan di Pura Desa. Tradisi unik ini hanya datang dua tahun sekali.
Tradisi Ngigel Desa ini, dilaksanakan oleh krama melinggih. Sebelum rangkaian piodalan dimulai, desa adat akan membagi kramanya menjadi dua. Satu kelompok adalah krama saye yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara. Sedangkan satu kelompok lainnya adalah kelompok melinggih, mereka hanya bertugas duduk di bale panjang dan menari dalam tradisi ngigel desa. Posisi inipun di-rolling setiap dua tahun sekali, sehingga krama akan mendapat giliran pada waktunya.
Kelian Desa Adat Nagasepaha, Jro Mangku Made Darsana menjelaskan pelaksanaan Ngigel Desa merupakan rangkaian piodalan Pura Desa yang jatuh pada Purnama Kapat, Sukra Pon Tambir, Jumat (29/9). Namun rangkaian piodalan sudah dilaksanakan hampir sepekan sebelumnya. Sedangkan Tradisi Ngigel Desa dilaksanakan saat Wayonan atau sehari setelah puncak piodalan. Tradisi Ngigel Desa juga sebagai penutup rangkaian piodalan.
“Sesolahan (Tarian) Ngigel Desa ini memang sudah kami laksanakan turun temurun dari leluhur dan wajib ada setiap dua tahun sekali dan hanya ada di rangkaian piodalan Pura Desa,” ucap Darsana. Sebelum menari, krama melinggih akan di-pendak (dijemput) dari Balai Banjar oleh krama saye dan kemudian menuju Pura Desa diiringi baleganjur. Kemudian krama malinggih akan duduk di bale panjang sebelum menari.
Foto: Kelian Desa Adat Nagasepaha, Jro Mangku Made Darsana. -LILIK SURYA ARIANI
Menurut Darsana tidak ada ritual dan persyaratan khusus yang diberlakukan untuk pelaksanaan tradisi ini. Bahkan pakem tarian yang dibawakan dan juga pakaian yang digunakan diserahkan ke krama masing-masing sesuai dengan kreasinya. Kebebasan berekspresi dalam Ngigel Desa ini pun tidak jarang mengundang gelak tawa krama yang menyaksikan, karena dinilai lucu. “Masing-masing penari diberikan waktu lima menit untuk menari kemudian di akhir tarian mereka akan menyentuh api damar sebagai pertanda sudah dilaksanakan sesolahan,” imbuh Jro Darsana.
Sementara itu seorang krama melinggih Made Alit Budiarta mengatakan dia yang baru pertama kali Ngigel Desa sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari. Bahkan dia secara khusus belajar menari kepada tetua dan kerabatnya yang sudah pernah Ngigel Desa. “Karena ini tradisi kami di sini, sudah sepantasnya wajib dilaksanakan. Tentu ini menjadi kebanggaan kami sebagai krama. Meskipun tidak bisa, itu adalah tantangan yang bisa dipelajari,” ungkap Alit. 7 k23
Menurut Darsana tidak ada ritual dan persyaratan khusus yang diberlakukan untuk pelaksanaan tradisi ini. Bahkan pakem tarian yang dibawakan dan juga pakaian yang digunakan diserahkan ke krama masing-masing sesuai dengan kreasinya. Kebebasan berekspresi dalam Ngigel Desa ini pun tidak jarang mengundang gelak tawa krama yang menyaksikan, karena dinilai lucu. “Masing-masing penari diberikan waktu lima menit untuk menari kemudian di akhir tarian mereka akan menyentuh api damar sebagai pertanda sudah dilaksanakan sesolahan,” imbuh Jro Darsana.
Sementara itu seorang krama melinggih Made Alit Budiarta mengatakan dia yang baru pertama kali Ngigel Desa sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari. Bahkan dia secara khusus belajar menari kepada tetua dan kerabatnya yang sudah pernah Ngigel Desa. “Karena ini tradisi kami di sini, sudah sepantasnya wajib dilaksanakan. Tentu ini menjadi kebanggaan kami sebagai krama. Meskipun tidak bisa, itu adalah tantangan yang bisa dipelajari,” ungkap Alit. 7 k23
Komentar