Membedah Bali dengan Menjelajah Pariwisata
PARIWISATA, lebih-lebih bagi Bali, salah satu sektor yang terlanjur dipuja-puji masyarakat.
Dalam perjalanannya, sektor touristik ini telah berhasil mengangkat citra-citra manis bagi Bali. Berkat turis, Bali sebagai pulau berpenduduk lebih sejahtera, bergelimang dolar, pulau internasional, pulau surga, dan julukan hebat lainnya.
Setidaknya kehebatan tersebut diterakan secara matematika ekonomi kapitalistik. Lonjakan kunjungan wisatawan, meskipun kenyataannya masih berkutat pada persoalan pariwisata massal, seturut dengan kehebatan pariwisata di belahan dunia lain, menjadi cita-cita bersama.
Perlahan namun pasti, pertumbuhan pesat wisata bertemali dengan hasrat kapitalistik. Nyaris tiada batas-batas nilai. Oleh glamour pariwisatanya yang disongsong hasrat kesejahteraan, pulau ini pun dihadapkan pada ambivalensi cultural yang secara samar-samar berbuah ketegangan, antara budaya dan pariwisata. Kemenduaan ini karena Bali dengan pariwisatanya sangat berhasil mengkomoditaskan budaya melalui strategi modifikasi-modifikasi hingga berikonik pariwisata budaya. Di saat yang sama, masyarakat Bali sangat ideal untuk mengamanatkan diri sebagai pelestari budaya berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal.
Memang, sulit untuk menjawab sebuah pertanyaan usang: apakah Bali untuk pariwisata, atau pariwisata untuk Bali? Belum lagi, pariwisata dengan pelbagai siasat dan daya olah kreatifnya makin berbuah degradasi lingkungan, tentu dengan segenap dalih. Guna menyikapi itu, maka lahirlah konsep ekowisata, sebuah menu baru yang sedapat mungkin jadi jawaban atas keterusikan Bali akibat gelegak wisatanya. Konsekuensinya, Bali tak bisa hindar dari hingar-bingar irama touristik.
Pariwisata, terkhusus di Bali, dalam pelbagai bentuk ketegangannya tersebut dikaji dengan apik oleh para dosen Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali. Para akademisi dari kampus di Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar, ini menerbitkan buku kumpulan tulisan bertema 'Jelajah Ekspansi Wacana dan Praktik Ekowisata. (Dalam Politik Kepariwisataan Bali) (2023). Tema ini dibentangkan untuk mengkaji tiga isu utama : 1. Bagaimana sejarah dan dinamika politik kepariwsataan Bali, termasuk mulai ekowisata hadir,
2. Apa saja tawaran-tawaran wacana dan praktik ekowisata dalam berbagai bidang/aspek yang memengaruhi politik kepariwisataan Bali kontemporer, 3. Apa saja ruang-ruang yang dimasuki oleh wacana ekowisata dalam konteks kepariwisataan Bali dan bagaimana cara wacana dan praktik ekowisata ini masuk dalam berbagai ruang tersebut dengan segala dinamikanya. (xiv - xv).
Buku ini memuat delapan tulisan hasil kajian secara akademik yang sarat dengan landasan konseptual berbasis bahasan pariwisata, terutama ekowisata sebagai entitas wisata kontemporer. Meskipun mengungkap pariwisata, buku ini menuangkan daya jelajah akademis dengan pelbagai pokok materi bahasan dan pendekatan, terutama tentang Bali.
Hampir dalam setiap bahasan, ekowisata sebagaI kata kunci bahkan pamungkas yang ditemalikan dengan sub-sub entitas kekinian. Penemalian ini bukan tanpa alasan. Karena pariwisata, apalagi di Bali, tak terpisahkan dengan elemen-elemen luar yang mengitari. Antara lain, sejarah, budaya, desa adat, warisan budaya, kearifan lokal, lingkungan, dan konstraksi nilai ekonomi. Relasi kuasa otoritas, baik di tataran lokal, nasional, dan global, dengan segala implikasi, tak luput jadi bahasan. Terutama, sejumlah produk hukum, daya dukung kebijakan, pentingnya urati (kepedulian), dan sejenisnya, untuk menata ruang-ruang narasi kepariwisataan agar tak makin koyak.
Posisi penjelajahan intelektual tersebut dapat dicatat sebagai keunggulan dalam satu kesatuan bahasan tema buku ini. Holistik dan cenderung lengkap, meski dalam setiap sub tema bahasan sangat membutuhkan analisis lebih tajam. Ketajaman analisis masih sangat mungkin lebih ditusukkan hingga tiap kajian tampak lebih 'trengginas', otentik, bahkan orisinal. Oleh kerenanya, interpretasi sekaligus argumentasi atas telaahan menjadi alat utama untuk menguatkan tema buku yang ciamik ini. Sitir-sitir tentang konsep-konsep bersifat umum, penting untuk diinduksikan ulang demi ketajaman analisis. Maka, analisis bernarasi kecil, dalam arti nukik, nyata, dan ngena, adalah asa tak terelakkan. Karena 'keumuman' selain akan dapat melelahkan (tulis dan baca), juga amat menunda ke substansi; sederhana tanpa krisis makna. Dengan itu, segenap kajian akan tertuju pada pendalaman solutif atas segenap persoalan yang diajukan.
Setidaknya kehebatan tersebut diterakan secara matematika ekonomi kapitalistik. Lonjakan kunjungan wisatawan, meskipun kenyataannya masih berkutat pada persoalan pariwisata massal, seturut dengan kehebatan pariwisata di belahan dunia lain, menjadi cita-cita bersama.
Perlahan namun pasti, pertumbuhan pesat wisata bertemali dengan hasrat kapitalistik. Nyaris tiada batas-batas nilai. Oleh glamour pariwisatanya yang disongsong hasrat kesejahteraan, pulau ini pun dihadapkan pada ambivalensi cultural yang secara samar-samar berbuah ketegangan, antara budaya dan pariwisata. Kemenduaan ini karena Bali dengan pariwisatanya sangat berhasil mengkomoditaskan budaya melalui strategi modifikasi-modifikasi hingga berikonik pariwisata budaya. Di saat yang sama, masyarakat Bali sangat ideal untuk mengamanatkan diri sebagai pelestari budaya berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal.
Memang, sulit untuk menjawab sebuah pertanyaan usang: apakah Bali untuk pariwisata, atau pariwisata untuk Bali? Belum lagi, pariwisata dengan pelbagai siasat dan daya olah kreatifnya makin berbuah degradasi lingkungan, tentu dengan segenap dalih. Guna menyikapi itu, maka lahirlah konsep ekowisata, sebuah menu baru yang sedapat mungkin jadi jawaban atas keterusikan Bali akibat gelegak wisatanya. Konsekuensinya, Bali tak bisa hindar dari hingar-bingar irama touristik.
Pariwisata, terkhusus di Bali, dalam pelbagai bentuk ketegangannya tersebut dikaji dengan apik oleh para dosen Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali. Para akademisi dari kampus di Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar, ini menerbitkan buku kumpulan tulisan bertema 'Jelajah Ekspansi Wacana dan Praktik Ekowisata. (Dalam Politik Kepariwisataan Bali) (2023). Tema ini dibentangkan untuk mengkaji tiga isu utama : 1. Bagaimana sejarah dan dinamika politik kepariwsataan Bali, termasuk mulai ekowisata hadir,
2. Apa saja tawaran-tawaran wacana dan praktik ekowisata dalam berbagai bidang/aspek yang memengaruhi politik kepariwisataan Bali kontemporer, 3. Apa saja ruang-ruang yang dimasuki oleh wacana ekowisata dalam konteks kepariwisataan Bali dan bagaimana cara wacana dan praktik ekowisata ini masuk dalam berbagai ruang tersebut dengan segala dinamikanya. (xiv - xv).
Buku ini memuat delapan tulisan hasil kajian secara akademik yang sarat dengan landasan konseptual berbasis bahasan pariwisata, terutama ekowisata sebagai entitas wisata kontemporer. Meskipun mengungkap pariwisata, buku ini menuangkan daya jelajah akademis dengan pelbagai pokok materi bahasan dan pendekatan, terutama tentang Bali.
Hampir dalam setiap bahasan, ekowisata sebagaI kata kunci bahkan pamungkas yang ditemalikan dengan sub-sub entitas kekinian. Penemalian ini bukan tanpa alasan. Karena pariwisata, apalagi di Bali, tak terpisahkan dengan elemen-elemen luar yang mengitari. Antara lain, sejarah, budaya, desa adat, warisan budaya, kearifan lokal, lingkungan, dan konstraksi nilai ekonomi. Relasi kuasa otoritas, baik di tataran lokal, nasional, dan global, dengan segala implikasi, tak luput jadi bahasan. Terutama, sejumlah produk hukum, daya dukung kebijakan, pentingnya urati (kepedulian), dan sejenisnya, untuk menata ruang-ruang narasi kepariwisataan agar tak makin koyak.
Posisi penjelajahan intelektual tersebut dapat dicatat sebagai keunggulan dalam satu kesatuan bahasan tema buku ini. Holistik dan cenderung lengkap, meski dalam setiap sub tema bahasan sangat membutuhkan analisis lebih tajam. Ketajaman analisis masih sangat mungkin lebih ditusukkan hingga tiap kajian tampak lebih 'trengginas', otentik, bahkan orisinal. Oleh kerenanya, interpretasi sekaligus argumentasi atas telaahan menjadi alat utama untuk menguatkan tema buku yang ciamik ini. Sitir-sitir tentang konsep-konsep bersifat umum, penting untuk diinduksikan ulang demi ketajaman analisis. Maka, analisis bernarasi kecil, dalam arti nukik, nyata, dan ngena, adalah asa tak terelakkan. Karena 'keumuman' selain akan dapat melelahkan (tulis dan baca), juga amat menunda ke substansi; sederhana tanpa krisis makna. Dengan itu, segenap kajian akan tertuju pada pendalaman solutif atas segenap persoalan yang diajukan.
Narasi kecil, dalam arti lebih ke substantif pada kondisi langsung yang dihadapi masyarakat karena pergulatan hidup dalam dunia pariwisata. Untuk sekadar menyebutkan dampak negatif nyata yang harus disikapi bersama. Misalkan, ada objek wisata air terjun di beberapa desa, atau kah air yg diterjunkan, sehingga petani sawah makin didera krisis air.
Dalam perspektif kritis, jelajah intelektual dalam buku ini masih 'diwibawakan' oleh I Ngurah Suryawan dalam tulisannya baik pada pengantar editor (vii), dan 'Dari Pariwisata Budaya ke Ekowisata : Jelajah Perjalanan dan Relasi-relasinya'. (halaman 29). Dengan pendekatan dekonstruktifnya, dia membongkar aib wacana di balik puja-puji kaum rezim tentang Bali. Di antaranya, Ngurah membeberkan Perda tentang Pariwisata Budaya adalah legitimasi yang hanya setempel saja. Karena sebelumnya ideologi pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang ruang privat kehidupan masyarakat. Padahal di balik semua itu ada landasan rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali. (halaman 41).
Dalam perspektif kritis, jelajah intelektual dalam buku ini masih 'diwibawakan' oleh I Ngurah Suryawan dalam tulisannya baik pada pengantar editor (vii), dan 'Dari Pariwisata Budaya ke Ekowisata : Jelajah Perjalanan dan Relasi-relasinya'. (halaman 29). Dengan pendekatan dekonstruktifnya, dia membongkar aib wacana di balik puja-puji kaum rezim tentang Bali. Di antaranya, Ngurah membeberkan Perda tentang Pariwisata Budaya adalah legitimasi yang hanya setempel saja. Karena sebelumnya ideologi pembangunan pariwisata telah menyebar menyentuh ruang ruang privat kehidupan masyarakat. Padahal di balik semua itu ada landasan rapuh dari harmoni dan meriahnya lomba pemberdayaan desa adat di Bali. (halaman 41).
Menyitir Prof Darma Putra, daya kritis asal berlapis, tersebut tentu amat penting. Mungkin karena di luar sana tak sedikit muncul intelektual flamboyan yang ditandai dengan gaya pikiran 'klimis'. Mereka terlanjur mapan, nyaman, dan sukses 'cari aman'. 7 i nyoman wilasa
Identitas Buku :
Judul Buku : Jelajah Ekspansi Wacana dan Praktik Ekowisata. Dalam Politik Kepariwisataan Bali.
Nama Penulis :
Prof Dr Drs Wayan Wesna Astara SH MH M Hum, I Made Suwitra, Dr Dra AA Rai Sita Laksmi Msi, Dr Ir I Gede Pasek Mangku MP, Dr Drs I Made Yudhiantara MSP, I Gusti Lanang Putu Tantra, Ngurah Wisnu Murthi, dan Dr I Ngurah Suryawan (editor).
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Tahun Terbit : 2023
Jumlah halaman : xvii, 188 halaman
Identitas Buku :
Judul Buku : Jelajah Ekspansi Wacana dan Praktik Ekowisata. Dalam Politik Kepariwisataan Bali.
Nama Penulis :
Prof Dr Drs Wayan Wesna Astara SH MH M Hum, I Made Suwitra, Dr Dra AA Rai Sita Laksmi Msi, Dr Ir I Gede Pasek Mangku MP, Dr Drs I Made Yudhiantara MSP, I Gusti Lanang Putu Tantra, Ngurah Wisnu Murthi, dan Dr I Ngurah Suryawan (editor).
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Tahun Terbit : 2023
Jumlah halaman : xvii, 188 halaman
Komentar