MDA Klaim Masalah Desa Adat Menurun
Ombudsman banyak mendapat pengaduan masyarakat, khususnya persoalan yang berhubungan dengan pungutan oleh desa adat.
DENPASAR, NusaBali
Sebagai sebuah organisasi, desa adat di Bali tak luput dari berbagai persoalan. Persoalan yang muncul tak hanya bersifat internal, namun tak sedikit juga terhubung dengan keterlibatan pihak eksternal.
Konflik terkait desa adat seperti perebutan lahan setra, perebutan kepemilikan pura, hingga pengelolaan lembaga keuangan desa adat kerap mencuat ke permukaan.
Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menyebutkan, seiring waktu permasalahan di desa adat di Bali mengalami penurunan. Namun, tak dijelaskan seperti apa angka penurunan persoalan adat yang tak jarang berstatus kasus tersebut.
Menurutnya, adanya pelatihan-pelatihan yang selama ini dilakukan MDA Bali kepada para prajuru desa adat, menjadi salah satu langkah untuk menurunkan angka permasalahan yang terjadi di desa adat. Sosialisasi penyamabrayaan, baik secara langsung maupun melalui media, juga dikatakan Bendesa Agung mendukung kemajuan desa adat yang damai dan sejahtera.
"Dari pengamatan sekarang ini secara umum saya bisa pastikan. Perebutan setra sudah tidak ada lagi, perebutan pura sudah tidak ada lagi. Soal tapal batas masih ada satu – dua. Tapi, masalah yang banyak sekarang adalah tentang kaprajuruan," ungkapnya, pekan lalu.
Menurut catatan MDA Bali, jumlah permasalahan di desa adat saat ini bisa dihitung dengan jari. Yang masih menjadi catatan Bendesa Agung adalah permasalahan LPD yang notabene adalah lembaga keuangan yang dikelola desa adat.
Bendesa Agung pun menekankan bahwa untuk memajukan desa adat dibutuhkan usaha dan kerja keras. Bendesa Agung mengingatkan bahwa menjadi prajuru desa adat maupun pengurus LPD sifatnya ngayah sekala dan niskala. Dengan demikian, motif mencari keuntungan yang melanggar aturan wajib dihindari.
"Era dulu sebenarnya masalah (yang tersangkut adat,Red) banyak. Tapi, media tidak seperti sekarang ini. Sekarang kuantitas menurun, kualitasnya juga menurun, itu yang paling penting," tegasnya.
Penyarikan Agung MDA Bali I Ketut Sumarta menjelaskan berbagai permasalahan yang dihadapi desa adat di Bali dapat dibagi berdasarkan skala permasalahannya.
Dalam skala paling rendah disebut kapiambeng, kemudian dalam skala menengah disebut pikobet, dan dalam skala permasalahan yang paling luas disebut wicara.
"Desa adat memiliki kewenangan menyelesaikan setiap permasalahan adat (wicara) secara mandiri berdasarkan hukum adat yang berlaku di setiap desa adat itu berupa awig-awig atau juga perarem," ujar penyarikan asal Klungkung ini.
Hal itu, tambahnya, telah ditegaskan melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Lebih jauh, menurut Ketut Sumarta, berbagai permasalahan di desa adat yang selama ini ada dapat dibagi ke dalam beberapa klaster. Yakni, permasalahan antar krama, krama dengan kelompok krama, krama atau kelompok krama dengan lembaganya (banjar, desa adat) atau juga permasalahan kelembagaan antara banjar dengan desa adat, desa adat dengan desa adat, atau hubungan desa adat dengan pihak lain di luar desa adat.
"Kami di majelis ini memiliki datanya permasalahan yang ada di desa adat. Kami aktif mendampingi dan memberikan masukan," ungkapnya sembari menyebut jumlah desa adat di Bali kini genap 1.500 drsa adat.
Adapun upaya penyelesaian permasalahan di desa adat juga berjenjang. Idealnya permasalahan di desa adat dapat diselesaikan melalui penyamabrayaan (kekeluargaan). Jika tidak bisa diselesaikan secara kekeluarkan maka akan berlanjut melalui cara penengahan (mediasi) bahkan kerta desa (peradilan adat) yang melibatkan MDA di tingkat kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi.
"Kami menuju desa adat yang pasukretan. Kasukretan, maju, makmur, sejahtera, tenang, damai, secara sekala niskala," harapnya.
Sementara itu, keberadaan desa adat juga menjadi salah satu bahan kajian Ombudsman Provinsi Bali. Langkah ini diambil karena Ombudsman banyak mendapat pengaduan masyarakat, khususnya persoalan yang berhubungan dengan pungutan oleh desa adat.
“Kami mulai bisa masuk untuk melakukan pengawasan terhadap desa adat karena sudah ada payung hukum berupa Perda. Sudah bisa diketagorikan urusan dinas karena ada anggaran pemerintah masuk ke desa adat,” ujar Kepala Ombudsman Provinsi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Jelasnya, Ombudsman mendorong Pemprov Bali mengambil langkah untuk memperlancar proses pemberian nomor register agar konsep pararem yang telah disusun sejumlah desa adat dapat segera disahkan dan menjadi payung hukum melakukan pungutan di wewidangan masing-masing.7cr78
Sebagai sebuah organisasi, desa adat di Bali tak luput dari berbagai persoalan. Persoalan yang muncul tak hanya bersifat internal, namun tak sedikit juga terhubung dengan keterlibatan pihak eksternal.
Konflik terkait desa adat seperti perebutan lahan setra, perebutan kepemilikan pura, hingga pengelolaan lembaga keuangan desa adat kerap mencuat ke permukaan.
Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menyebutkan, seiring waktu permasalahan di desa adat di Bali mengalami penurunan. Namun, tak dijelaskan seperti apa angka penurunan persoalan adat yang tak jarang berstatus kasus tersebut.
Menurutnya, adanya pelatihan-pelatihan yang selama ini dilakukan MDA Bali kepada para prajuru desa adat, menjadi salah satu langkah untuk menurunkan angka permasalahan yang terjadi di desa adat. Sosialisasi penyamabrayaan, baik secara langsung maupun melalui media, juga dikatakan Bendesa Agung mendukung kemajuan desa adat yang damai dan sejahtera.
"Dari pengamatan sekarang ini secara umum saya bisa pastikan. Perebutan setra sudah tidak ada lagi, perebutan pura sudah tidak ada lagi. Soal tapal batas masih ada satu – dua. Tapi, masalah yang banyak sekarang adalah tentang kaprajuruan," ungkapnya, pekan lalu.
Menurut catatan MDA Bali, jumlah permasalahan di desa adat saat ini bisa dihitung dengan jari. Yang masih menjadi catatan Bendesa Agung adalah permasalahan LPD yang notabene adalah lembaga keuangan yang dikelola desa adat.
Bendesa Agung pun menekankan bahwa untuk memajukan desa adat dibutuhkan usaha dan kerja keras. Bendesa Agung mengingatkan bahwa menjadi prajuru desa adat maupun pengurus LPD sifatnya ngayah sekala dan niskala. Dengan demikian, motif mencari keuntungan yang melanggar aturan wajib dihindari.
"Era dulu sebenarnya masalah (yang tersangkut adat,Red) banyak. Tapi, media tidak seperti sekarang ini. Sekarang kuantitas menurun, kualitasnya juga menurun, itu yang paling penting," tegasnya.
Penyarikan Agung MDA Bali I Ketut Sumarta menjelaskan berbagai permasalahan yang dihadapi desa adat di Bali dapat dibagi berdasarkan skala permasalahannya.
Dalam skala paling rendah disebut kapiambeng, kemudian dalam skala menengah disebut pikobet, dan dalam skala permasalahan yang paling luas disebut wicara.
"Desa adat memiliki kewenangan menyelesaikan setiap permasalahan adat (wicara) secara mandiri berdasarkan hukum adat yang berlaku di setiap desa adat itu berupa awig-awig atau juga perarem," ujar penyarikan asal Klungkung ini.
Hal itu, tambahnya, telah ditegaskan melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Lebih jauh, menurut Ketut Sumarta, berbagai permasalahan di desa adat yang selama ini ada dapat dibagi ke dalam beberapa klaster. Yakni, permasalahan antar krama, krama dengan kelompok krama, krama atau kelompok krama dengan lembaganya (banjar, desa adat) atau juga permasalahan kelembagaan antara banjar dengan desa adat, desa adat dengan desa adat, atau hubungan desa adat dengan pihak lain di luar desa adat.
"Kami di majelis ini memiliki datanya permasalahan yang ada di desa adat. Kami aktif mendampingi dan memberikan masukan," ungkapnya sembari menyebut jumlah desa adat di Bali kini genap 1.500 drsa adat.
Adapun upaya penyelesaian permasalahan di desa adat juga berjenjang. Idealnya permasalahan di desa adat dapat diselesaikan melalui penyamabrayaan (kekeluargaan). Jika tidak bisa diselesaikan secara kekeluarkan maka akan berlanjut melalui cara penengahan (mediasi) bahkan kerta desa (peradilan adat) yang melibatkan MDA di tingkat kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi.
"Kami menuju desa adat yang pasukretan. Kasukretan, maju, makmur, sejahtera, tenang, damai, secara sekala niskala," harapnya.
Sementara itu, keberadaan desa adat juga menjadi salah satu bahan kajian Ombudsman Provinsi Bali. Langkah ini diambil karena Ombudsman banyak mendapat pengaduan masyarakat, khususnya persoalan yang berhubungan dengan pungutan oleh desa adat.
“Kami mulai bisa masuk untuk melakukan pengawasan terhadap desa adat karena sudah ada payung hukum berupa Perda. Sudah bisa diketagorikan urusan dinas karena ada anggaran pemerintah masuk ke desa adat,” ujar Kepala Ombudsman Provinsi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Jelasnya, Ombudsman mendorong Pemprov Bali mengambil langkah untuk memperlancar proses pemberian nomor register agar konsep pararem yang telah disusun sejumlah desa adat dapat segera disahkan dan menjadi payung hukum melakukan pungutan di wewidangan masing-masing.7cr78
1
Komentar