Lomba Lelakut di Kuta Utara Peringati Hari Pangan Sedunia dan Impitan Alih Fungsi Lahan
Lelakut
Subak
Sawah Bali
Hari Pangan Sedunia
Pasikian Yowana Kuta Utara
Subak Daksina
Desa Tibubeneng
Kuta Utara
Alih Fungsi Lahan
MANGUPURA, NusaBali.com - Pasikian Yowana Kuta Utara menggelar lomba lelakut atau patakut (orang-orangan sawah) untuk memperingati Hari Pangan Sedunia di Pura Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung pada Minggu (15/10/2023).
Lomba yang diikuti oleh 8 desa adat se-Kecamatan Kuta Utara ini melombakan 16 lelakut yang dikirim oleh sekaa teruna/yowana dari masing-masing desa adat. Desa adat yang besar mengirim 4 lelakut, diikuti 3 lelakut dari desa adat yang sedang, dan 1-2 lelakut dari desa adat yang kecil.
"Misalkan, Desa Adat Kerobokan yang besar itu mengirim 4 lelakut sedangkan Desa Adat Berawa yang hanya terdiri dari satu banjar adat itu mengirim satu saja," ujar Ketua Panitia I Gede Surya Gunawan, 24, dijumpai di sela acara.
Lanjut Surya, ada kriteria yang harus dipenuhi oleh peserta yaitu standar ukuran, penggunaan bahan, dan kreativitas. Ukuran lelakut harus mendekati tinggi 1,5 meter untuk bisa lolos ke penjurian dan dipasang di pemantang sawah di jaba Pura Subak Daksina.
Kemudian, bahan yang digunakan untuk membuat lelakut harus ramah lingkungan atau dari barang-barang bekas. Selanjutnya, yowana harus sekreatif mungkin merupa wujud lelakut. Semakin seram dan unik karya lelakut yang dibuat, semakin tinggi peluang merebut perhatian juri.
Lomba lelakut ini juga sebagai bentuk pelestarian budaya. Sebab, lelakut sendiri sudah hampir pudar dari sawah-sawah Bali. Dulunya, kata I Wayan Wijana, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Badung, lelakut adalah budaya pengusir hama yang ramah lingkungan.
Wijana menjelaskan, para leluhur memiliki kepercayaan bahwa lelakut membawa energi niskala. Lelakut bisa mengusir hama khususnya burung tanpa penggunaan bahan-bahan kimia.
"Oleh karena itu, ini perlu dilestarikan agar anak cucu nanti masih bisa mengenali budaya lelakut ini. Tentu ke depannya bisa diinovasikan dengan teknologi seperti yang ada di ogoh-ogoh tanpa mengingkari pakem-pakem yang ada," tutur Wijana, dijumpai di sela acara.
Mantan Camat Kuta Selatan ini pun tidak menampik bahwa luas sawah di Kuta Utara semakin menurun meskipun ia tidak mengantongi angka pastinya. Kata Wijana, hal ini sebagai dampak perkembangan pariwisata dan alih fungsi lahan yang mau tidak mau sukar dibendung.
Lokasi lomba lelakut ini pun berada di subak yang dari pandangan mata telah dikelilingi bangunan-bangunan permanen. Meskipun peringatan Hari Pangan Sedunia ini terlihat ironis, lomba lelakut ini membawa filosofi perlindungan subak sama seperti fungsinya sebagai pengusir hama.
Surya selaku Ketua Panitia sekaligus Panyarikan Pasikian Yowana Kuta Utara juga tidak menutup mata dengan lingkungan di sekitar lokasi lomba ini. Kata Surya, cepatnya perkembangan zaman dan alih fungsi lahan sebagai ancaman tersendiri bagi keberlangsungan subak.
Sebagai generasi muda, dukungan yang diberikan kepada subak dikemas melalui wadah kreatif seperti lomba lelakut ini. Kata Surya, lomba ini mengenalkan kembali salah satu budaya subak yakni penggunaan orang-orangan sawah yang sudah ditinggalkan.
Dengan pengenalan budaya lelakut, memantik kembali kesadaran terhadap keberadaan sawah khususnya subak di Kuta Utara. Di mana, Sekretaris Daerah Badung I Wayan Adi Arnawa mengingatkan bahwa subak tidak boleh dipandang sebagai sekadar lembaga adat.
Subak harus dipandang sebagai kawasan produksi pangan yakni sawah itu sendiri. Kata birokrat asal Desa Pecatu, Kuta Selatan ini, subak yang dipandang sebagai lembaga bakal tidak dihiraukan dampak dari pengikisan luas lahan sawah.
"Bagaimana kita bisa melakukan ketahanan pangan apalagi kedaulatan pangan ketika lahannya saja sudah tidak ada? Ini tantangan yang paling berat bagi kita," tegas Adi Arnawa.
Lanjut mantan Camat Kuta Utara ini, Pemkab Badung tengah menggodok program yang bisa membangkitan kebanggaan menjadi petani. Dengan begitu diharapkan sawah-sawah di Badung tetap hidup meski diterjang godaan pariwisata. *rat
"Misalkan, Desa Adat Kerobokan yang besar itu mengirim 4 lelakut sedangkan Desa Adat Berawa yang hanya terdiri dari satu banjar adat itu mengirim satu saja," ujar Ketua Panitia I Gede Surya Gunawan, 24, dijumpai di sela acara.
Lanjut Surya, ada kriteria yang harus dipenuhi oleh peserta yaitu standar ukuran, penggunaan bahan, dan kreativitas. Ukuran lelakut harus mendekati tinggi 1,5 meter untuk bisa lolos ke penjurian dan dipasang di pemantang sawah di jaba Pura Subak Daksina.
Kemudian, bahan yang digunakan untuk membuat lelakut harus ramah lingkungan atau dari barang-barang bekas. Selanjutnya, yowana harus sekreatif mungkin merupa wujud lelakut. Semakin seram dan unik karya lelakut yang dibuat, semakin tinggi peluang merebut perhatian juri.
Lomba lelakut ini juga sebagai bentuk pelestarian budaya. Sebab, lelakut sendiri sudah hampir pudar dari sawah-sawah Bali. Dulunya, kata I Wayan Wijana, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Badung, lelakut adalah budaya pengusir hama yang ramah lingkungan.
Wijana menjelaskan, para leluhur memiliki kepercayaan bahwa lelakut membawa energi niskala. Lelakut bisa mengusir hama khususnya burung tanpa penggunaan bahan-bahan kimia.
"Oleh karena itu, ini perlu dilestarikan agar anak cucu nanti masih bisa mengenali budaya lelakut ini. Tentu ke depannya bisa diinovasikan dengan teknologi seperti yang ada di ogoh-ogoh tanpa mengingkari pakem-pakem yang ada," tutur Wijana, dijumpai di sela acara.
Mantan Camat Kuta Selatan ini pun tidak menampik bahwa luas sawah di Kuta Utara semakin menurun meskipun ia tidak mengantongi angka pastinya. Kata Wijana, hal ini sebagai dampak perkembangan pariwisata dan alih fungsi lahan yang mau tidak mau sukar dibendung.
Lokasi lomba lelakut ini pun berada di subak yang dari pandangan mata telah dikelilingi bangunan-bangunan permanen. Meskipun peringatan Hari Pangan Sedunia ini terlihat ironis, lomba lelakut ini membawa filosofi perlindungan subak sama seperti fungsinya sebagai pengusir hama.
Surya selaku Ketua Panitia sekaligus Panyarikan Pasikian Yowana Kuta Utara juga tidak menutup mata dengan lingkungan di sekitar lokasi lomba ini. Kata Surya, cepatnya perkembangan zaman dan alih fungsi lahan sebagai ancaman tersendiri bagi keberlangsungan subak.
Sebagai generasi muda, dukungan yang diberikan kepada subak dikemas melalui wadah kreatif seperti lomba lelakut ini. Kata Surya, lomba ini mengenalkan kembali salah satu budaya subak yakni penggunaan orang-orangan sawah yang sudah ditinggalkan.
Dengan pengenalan budaya lelakut, memantik kembali kesadaran terhadap keberadaan sawah khususnya subak di Kuta Utara. Di mana, Sekretaris Daerah Badung I Wayan Adi Arnawa mengingatkan bahwa subak tidak boleh dipandang sebagai sekadar lembaga adat.
Subak harus dipandang sebagai kawasan produksi pangan yakni sawah itu sendiri. Kata birokrat asal Desa Pecatu, Kuta Selatan ini, subak yang dipandang sebagai lembaga bakal tidak dihiraukan dampak dari pengikisan luas lahan sawah.
"Bagaimana kita bisa melakukan ketahanan pangan apalagi kedaulatan pangan ketika lahannya saja sudah tidak ada? Ini tantangan yang paling berat bagi kita," tegas Adi Arnawa.
Lanjut mantan Camat Kuta Utara ini, Pemkab Badung tengah menggodok program yang bisa membangkitan kebanggaan menjadi petani. Dengan begitu diharapkan sawah-sawah di Badung tetap hidup meski diterjang godaan pariwisata. *rat
1
Komentar