Menyerupai Gunung dan Memakai Panca Rengga, Etika Pembuatan Gebogan
MANGUPURA, NusaBali.com - Gebogan adalah sesajen umat Hindu di Bali yang terdiri susunan buah-buahan, jajanan, janur, dan bunga. Gebogan biasanya dipersembahkan ketika ada upacara berskala besar di pura dan sanggah merajan (pura keluarga).
Gebogan ini disusun di atas dulang dengan batang pisang muda yang ditusukkan ke jarum raksasa dari batang pohon kelapa di atas dulang. Buah-buahan dan jajanan disusun dan ditusuk dengan batang daun aren melingkari batang pisang.
Sesajen atau banten jenis ini hadir hampir di setiap Panca Yadnya berskala besar. Namun, telah terjadi pergeseran etika pembuatan gebogan ini. Beberapa aturan dasar mulai ditinggalkan seiring perkembangan zaman dan alasan kepraktisan.
Misalnya, mulai banyak ditemukan gebogan yang memasukkan minuman instan dan kalengan. Jaja gipang (kue ketan kering yang digoreng) digantikan kue brownies dan bolu. Buah-buahan produksi lokal juga hilang dari susunan gebogan dan tergantikan buah-buahan impor.
Memang, bentuk atau konsep gebogan semacam itu tidak ada artinya dibandingkan ketulusikhlasan ketika mempersembahkan. Akan tetapi, penting bagi umat Hindu Bali mengetahui etika pembuatan gebogan yang diwariskan leluhur dan sesuai tattwa agama.
Praktisi pembuatan gebogan, Sigit Pramarta, 30, menjelaskan beberapa kriteria gebogan yang sesuai etika. Hal ini terdiri dari rupa atau bentuk gebogan dan unsur Panca Rengga yang digunakan.
Kata pemuda yang juga juri di beberapa lomba gebogan ini, gebogan hendaknya berbentuk kerucut. Lebar di bagian dasarnya dan meruncing ke atas. Sama seperti gunung yang juga simbol kemakmuran dan kesejahteraan.
"Susunan buah dalam gebogan itu, buah yang terbesar berada paling bawah, semakin ke atas semakin mengecil. Postur gebogan itu seperti gunung," jelas Sigit ketika dijumpai di sela penjurian lomba gebogan di Puspem Badung, Jumat (20/10/2023).
Postur gebogan yang menyerupai gunung harus dikuatkan dengan buah-buahan yang menyusun 'gunung'. Unsur buah gebogan yang baik mengandung Panca Rengga yakni buah yang berasal dari lima macam kelahiran.
Lima macam kelahiran buah ini yaitu buah yang lahir dari bunga seperti mangga, apel, jambu, dan jeruk. Kemudian buah yang lahir sekali kemudian tidak berbuah lagi seperti pisang. Ada pula buah yang lahir langsung dari batang pohon seperti nangka dan durian.
Tercatat pula dalam Panca Rengga, buah yang bersisik seperti nanas, salak, dan buah naga. Lantas, ada buah yang lahir dari akar atau umbi seperti bengkuang, ketela, dan umbi-umbian lainnya.
Panca Rengga inilah yang seharusnya menyusun gebogan jika gebogan itu dibuat memerhatikan etika. Di samping itu, buah yang menyusun Panca Rengga ini juga hendaknya disusun mulai dengan buah yang lahir dari akar atau umbi sebagai dasar.
"Belajar dari filosofinya, kalau buah dari akar otomatis paling bawah kemudian buah yang berasal dari bunga itu disusun paling atas," imbuh Sigit, seniman dan praktisi budaya muda jebolan ISI Denpasar.
Di samping itu, Sigit juga mengingatkan, bunga yang dipakai di gebogan hendaknya bunga yang tumbuh di alam sekitar. Bukan bunga yang didatangkan dari luar atau pun bunga yang tidak lumrah digunakan dalam persembahyangan dan piranti upacara. *rat
Sesajen atau banten jenis ini hadir hampir di setiap Panca Yadnya berskala besar. Namun, telah terjadi pergeseran etika pembuatan gebogan ini. Beberapa aturan dasar mulai ditinggalkan seiring perkembangan zaman dan alasan kepraktisan.
Misalnya, mulai banyak ditemukan gebogan yang memasukkan minuman instan dan kalengan. Jaja gipang (kue ketan kering yang digoreng) digantikan kue brownies dan bolu. Buah-buahan produksi lokal juga hilang dari susunan gebogan dan tergantikan buah-buahan impor.
Memang, bentuk atau konsep gebogan semacam itu tidak ada artinya dibandingkan ketulusikhlasan ketika mempersembahkan. Akan tetapi, penting bagi umat Hindu Bali mengetahui etika pembuatan gebogan yang diwariskan leluhur dan sesuai tattwa agama.
Praktisi pembuatan gebogan, Sigit Pramarta, 30, menjelaskan beberapa kriteria gebogan yang sesuai etika. Hal ini terdiri dari rupa atau bentuk gebogan dan unsur Panca Rengga yang digunakan.
Kata pemuda yang juga juri di beberapa lomba gebogan ini, gebogan hendaknya berbentuk kerucut. Lebar di bagian dasarnya dan meruncing ke atas. Sama seperti gunung yang juga simbol kemakmuran dan kesejahteraan.
"Susunan buah dalam gebogan itu, buah yang terbesar berada paling bawah, semakin ke atas semakin mengecil. Postur gebogan itu seperti gunung," jelas Sigit ketika dijumpai di sela penjurian lomba gebogan di Puspem Badung, Jumat (20/10/2023).
Postur gebogan yang menyerupai gunung harus dikuatkan dengan buah-buahan yang menyusun 'gunung'. Unsur buah gebogan yang baik mengandung Panca Rengga yakni buah yang berasal dari lima macam kelahiran.
Lima macam kelahiran buah ini yaitu buah yang lahir dari bunga seperti mangga, apel, jambu, dan jeruk. Kemudian buah yang lahir sekali kemudian tidak berbuah lagi seperti pisang. Ada pula buah yang lahir langsung dari batang pohon seperti nangka dan durian.
Tercatat pula dalam Panca Rengga, buah yang bersisik seperti nanas, salak, dan buah naga. Lantas, ada buah yang lahir dari akar atau umbi seperti bengkuang, ketela, dan umbi-umbian lainnya.
Panca Rengga inilah yang seharusnya menyusun gebogan jika gebogan itu dibuat memerhatikan etika. Di samping itu, buah yang menyusun Panca Rengga ini juga hendaknya disusun mulai dengan buah yang lahir dari akar atau umbi sebagai dasar.
"Belajar dari filosofinya, kalau buah dari akar otomatis paling bawah kemudian buah yang berasal dari bunga itu disusun paling atas," imbuh Sigit, seniman dan praktisi budaya muda jebolan ISI Denpasar.
Di samping itu, Sigit juga mengingatkan, bunga yang dipakai di gebogan hendaknya bunga yang tumbuh di alam sekitar. Bukan bunga yang didatangkan dari luar atau pun bunga yang tidak lumrah digunakan dalam persembahyangan dan piranti upacara. *rat
Komentar