Kemarau, Hasil Panen Anggur Tak Optimal
SINGARAJA, NusaBali - Petani anggur hitam di Desa Ringdikit, Kecamatan Seririt, Buleleng, mulai merasakan dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. Hasil panen petani tahun ini tak optimal karena sejak tiga bulan terakhir kebun buah ini tidak mendapatkan air, termasuk air irigasi.
Seperti diakui petani Luh Merta, 65. Dia mengatakan produksi buah anggur di musim kemarau sebenarnya bisa mendapatkan hasil maksimal dengan rasa buah yang lebih manis dibandingkan panen di musim hujan. Hanya saja kelebihan itu bisa berbalik menjadi kebuntungan saat suplai air saluran irigasi tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan pohon anggur.
Merta menyebut sejak dia memulai budidaya anggur 10 tahun terakhir, kondisi kemarau tahun ini yang terparah. “Sudah tiga bulan tidak dapat air. Padahal setelah panen sangat perlu sekali air untuk merangsang pertumbuhan buah,” keluh Merta, Selasa (24/10) kemarin.
Akibatnya, buah anggur yang tumbuh musim panen ini tidak maksimal. Ukurannya lebih kecil dari ukuran biasa dan sedikit mengkerut karena cuaca terlalu panas dan asupan air tidak ada. Kondisi ini pun membuat harga jual anggur menjadi anjlok. Ongkos produksi dan biaya pupuk yang mahal diyakini Merta tidak tertutupi pada musim panen tahun ini.
“Harganya memang berfluktuasi. Kalau dekat hari raya bisa Rp 12 ribu per kilogram. Kalau hari biasa kisaran Rp 9 ribu. Sekarang ini paling laku Rp 5 ribu per kilogram,” terang dia.
Sementara itu, Perbekel Desa Ringdikit, Made Sumadi mengungkapkan kelompok-kelompok petani anggur hitam di desanya sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir. Meski luasan lahan belum banyak, namun dapat berdampak pada perekonomian masyarakatnya.
Terkait dengan kondisi krisis air, Sumadi mengakui selain karena musim kemarau yang menurunkan debit air, krisis air ini mulai dirasakan karena dampak perabasan hutan dan alih fungsi lahan. “Air memang susah di wilayah kami saat musim kemarau. Disamping itu pula, ada perabasan hutan di atas dan alih fungsi lahan. Anggur butuh air banyak untuk menyiram,” kata Sumadi.
Pemdes sejauh ini belum dapat berbuat banyak terkait situasi dan kondisi alih fungsi lahan dan perambahan hutan. Namun solusi jangka pendek sedang diupayakan kerja sama dengan pabrik wine di Buleleng untuk menyerap hasil panen petani dengan harga stabil.7k23
Merta menyebut sejak dia memulai budidaya anggur 10 tahun terakhir, kondisi kemarau tahun ini yang terparah. “Sudah tiga bulan tidak dapat air. Padahal setelah panen sangat perlu sekali air untuk merangsang pertumbuhan buah,” keluh Merta, Selasa (24/10) kemarin.
Akibatnya, buah anggur yang tumbuh musim panen ini tidak maksimal. Ukurannya lebih kecil dari ukuran biasa dan sedikit mengkerut karena cuaca terlalu panas dan asupan air tidak ada. Kondisi ini pun membuat harga jual anggur menjadi anjlok. Ongkos produksi dan biaya pupuk yang mahal diyakini Merta tidak tertutupi pada musim panen tahun ini.
“Harganya memang berfluktuasi. Kalau dekat hari raya bisa Rp 12 ribu per kilogram. Kalau hari biasa kisaran Rp 9 ribu. Sekarang ini paling laku Rp 5 ribu per kilogram,” terang dia.
Sementara itu, Perbekel Desa Ringdikit, Made Sumadi mengungkapkan kelompok-kelompok petani anggur hitam di desanya sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir. Meski luasan lahan belum banyak, namun dapat berdampak pada perekonomian masyarakatnya.
Terkait dengan kondisi krisis air, Sumadi mengakui selain karena musim kemarau yang menurunkan debit air, krisis air ini mulai dirasakan karena dampak perabasan hutan dan alih fungsi lahan. “Air memang susah di wilayah kami saat musim kemarau. Disamping itu pula, ada perabasan hutan di atas dan alih fungsi lahan. Anggur butuh air banyak untuk menyiram,” kata Sumadi.
Pemdes sejauh ini belum dapat berbuat banyak terkait situasi dan kondisi alih fungsi lahan dan perambahan hutan. Namun solusi jangka pendek sedang diupayakan kerja sama dengan pabrik wine di Buleleng untuk menyerap hasil panen petani dengan harga stabil.7k23
1
Komentar