Mengakrabi Teknologi, Menjauhi Kewajiban
GENERASI Z ditengarai sering lalai dengan kewajiban. Mereka asyik mengakrabi berbagai media sosial. Seringkali mereka tidak punya waktu untuk bersantai, berinteraksi dengan keluarga, ataupun teman lainnya.
Selepas sekolah, mereka berasyik masyuk untuk dirinya bermain dengan alat elektronik. Sikap dan perilaku demikian mereka anggap sebagai cara terbaik untuk menghilangkan ‘stres’ dari rutinitas, himpitan belajar, atau beban membaca buku. Jadi sesibuk apa pun, mereka harus tetap memiliki waktu untuk dirinya sendiri berinteraksi dengan berbagai kemajuan semesta. Kecenderungan untuk asyik dalam gelutan teknologi disebut sebagai budaya ‘me time’, waktu untuk diri sendiri.
Perkembangan budaya menyebutkan dua bentuk, yaitu ‘me cultures’ dan ‘we cultures’. ‘Me cultures’ bermakna diri pribadi yang utama. Dalam budaya ini terkandung makna, yaitu: berfokus pada pertumbuhan dan kemajuan, persaingan, dan capaian individual beserta perolehan gratifikasi diri. Sedangkan ‘we cultures’ bermakna kelompok yang utama, di samping kebersamaan, manut tradisi, mengedepankan kolaborasi, dan meraih kesuksesan. ‘Me time’ adalah waktu untuk diri sendiri tanpa kehadiran orang lain, atau bahkan tidak melakukan apa-apa kecuali bermain ‘gadgets’ itu saja, tidak ada hasil, tidak boleh diganggu, dan lupa akan segalanya. Ketika dilarang bermain, mereka mogok, marah-marah, dan tidak mau melakukan hal lain termasuk belajar. Mereka sebut sekolah atau kuliah sebagai pemborosan waktu, tidak menyenangkan, tidak menghibur, banyak pekerjaan rumah, ada tes, ada lainnya yang membuat mereka tidak nyaman.
Generasi muda milenial meningkahi ‘me time’ dengan menikmati aktivitas tidur yang lebih panjang. Untuk memeroleh privasi demikian, mereka kadang mengganti nomor ponsel dengan nomor pribadi yang hanya diketahui orang dekat. Hal ini bertujuan agar mereka tidak diganggu oleh telepon atau pesan yang tidak terlalu penting. Mereka sepertinya mengikuti pesannya Marianne Legato, seorang kardiolog dan penulis buku. Ketika otak mengalami stres, maka seseorang akan sulit untuk beristirahat. Sebaliknya, bila seseorang memiliki waktu banyak untuk diri sendiri dan menyenangkan, maka dia akan memiliki kendali terhadap hidupnya. Dengan memanjakan waktu untuk diri sendiri, segalanya menyenangkan bagi diri sendiri, dan orang lain menjadi tidak penting. Generasi milenial memanfaatkan waktunya sendiri. Misalnya, mereka belanja melalui ‘go shopping’, berurusan dengan bank lewat e-banking, dan bepergian dengan pesan kendaraan melalui aplikasi online. Mereka menempatkan dirinya menjadi top priority. Mereka bersemboyan ‘menyediakan waktu untuk diri sendiri adalah bagian krusial dari kehidupan penuh waktu’.
Anak-anak maupun remaja milenial suntuk berinteraksi dengan gadget. Anak-anak lebih asyik berinteraksi dengan berbagai permainan yang diunduh bebas dari telepon genggam. Berbagai acara dan program dengan mudah diunduh. Mereka asyik dengan permainan tersebut, waktu habis digunakan bermain, sehingga lupa tugas dan kewajiban. Remaja memiliki keasyikannya dengan ‘tik tok’ atau ‘youtube’ sebagai hiburan, belanja, teman, dan berbagai macam rekreasi. Waktu lebih diporsikan untuk diri pribadi ketimbang untuk lainnya di luar diri. Memang perilaku demikian ada efek positif dan negatifnya. Tetapi, keduanya sebaiknya dijaga proporsional. Anak dan remaja perlu menjaga proporsi demikian secara adil. Sehingga, tercipta ekuibrasi sosio-emosional dan psikologis dalam diri mereka.
Efek positif maupun negatif menghabiskan waktu untuk diri sendiri amat terang benderang. Sekarang, bagaimana menipiskan efek negatif itu? Seperti timbangan, efek negatif dipertipis, maka efek positif akan semakin tebal. Untuk mencapai itu diperlukan semacam tatakelola lingkungan. Lingkungan awal adalah rumah. Keluarga menjadi gugus kendali untuk memperkecil aktivitas bermain yang tidak edukatif. Demikian pula sekolah, pendidikan rumah, sekolah maupun masyarakat. Tata kelola sederhana dapat dilakukan oleh orangtua dengan memberi waktu terbatas untuk bermain, bukan melarang sepenuhnya. Guru harus berkolaborasi dengan orangtua dalam pengawasan perilaku anak berkaitan dalam bermain. Semoga. 7
Perkembangan budaya menyebutkan dua bentuk, yaitu ‘me cultures’ dan ‘we cultures’. ‘Me cultures’ bermakna diri pribadi yang utama. Dalam budaya ini terkandung makna, yaitu: berfokus pada pertumbuhan dan kemajuan, persaingan, dan capaian individual beserta perolehan gratifikasi diri. Sedangkan ‘we cultures’ bermakna kelompok yang utama, di samping kebersamaan, manut tradisi, mengedepankan kolaborasi, dan meraih kesuksesan. ‘Me time’ adalah waktu untuk diri sendiri tanpa kehadiran orang lain, atau bahkan tidak melakukan apa-apa kecuali bermain ‘gadgets’ itu saja, tidak ada hasil, tidak boleh diganggu, dan lupa akan segalanya. Ketika dilarang bermain, mereka mogok, marah-marah, dan tidak mau melakukan hal lain termasuk belajar. Mereka sebut sekolah atau kuliah sebagai pemborosan waktu, tidak menyenangkan, tidak menghibur, banyak pekerjaan rumah, ada tes, ada lainnya yang membuat mereka tidak nyaman.
Generasi muda milenial meningkahi ‘me time’ dengan menikmati aktivitas tidur yang lebih panjang. Untuk memeroleh privasi demikian, mereka kadang mengganti nomor ponsel dengan nomor pribadi yang hanya diketahui orang dekat. Hal ini bertujuan agar mereka tidak diganggu oleh telepon atau pesan yang tidak terlalu penting. Mereka sepertinya mengikuti pesannya Marianne Legato, seorang kardiolog dan penulis buku. Ketika otak mengalami stres, maka seseorang akan sulit untuk beristirahat. Sebaliknya, bila seseorang memiliki waktu banyak untuk diri sendiri dan menyenangkan, maka dia akan memiliki kendali terhadap hidupnya. Dengan memanjakan waktu untuk diri sendiri, segalanya menyenangkan bagi diri sendiri, dan orang lain menjadi tidak penting. Generasi milenial memanfaatkan waktunya sendiri. Misalnya, mereka belanja melalui ‘go shopping’, berurusan dengan bank lewat e-banking, dan bepergian dengan pesan kendaraan melalui aplikasi online. Mereka menempatkan dirinya menjadi top priority. Mereka bersemboyan ‘menyediakan waktu untuk diri sendiri adalah bagian krusial dari kehidupan penuh waktu’.
Anak-anak maupun remaja milenial suntuk berinteraksi dengan gadget. Anak-anak lebih asyik berinteraksi dengan berbagai permainan yang diunduh bebas dari telepon genggam. Berbagai acara dan program dengan mudah diunduh. Mereka asyik dengan permainan tersebut, waktu habis digunakan bermain, sehingga lupa tugas dan kewajiban. Remaja memiliki keasyikannya dengan ‘tik tok’ atau ‘youtube’ sebagai hiburan, belanja, teman, dan berbagai macam rekreasi. Waktu lebih diporsikan untuk diri pribadi ketimbang untuk lainnya di luar diri. Memang perilaku demikian ada efek positif dan negatifnya. Tetapi, keduanya sebaiknya dijaga proporsional. Anak dan remaja perlu menjaga proporsi demikian secara adil. Sehingga, tercipta ekuibrasi sosio-emosional dan psikologis dalam diri mereka.
Efek positif maupun negatif menghabiskan waktu untuk diri sendiri amat terang benderang. Sekarang, bagaimana menipiskan efek negatif itu? Seperti timbangan, efek negatif dipertipis, maka efek positif akan semakin tebal. Untuk mencapai itu diperlukan semacam tatakelola lingkungan. Lingkungan awal adalah rumah. Keluarga menjadi gugus kendali untuk memperkecil aktivitas bermain yang tidak edukatif. Demikian pula sekolah, pendidikan rumah, sekolah maupun masyarakat. Tata kelola sederhana dapat dilakukan oleh orangtua dengan memberi waktu terbatas untuk bermain, bukan melarang sepenuhnya. Guru harus berkolaborasi dengan orangtua dalam pengawasan perilaku anak berkaitan dalam bermain. Semoga. 7
1
Komentar