Pulau Surga Darurat Sampah, Banjar Tegeh Sari Bawa Secercah Harapan
Kampung Berseri Astra
Banjar Berseri Astra
Banjar Tegeh Sari
Kelurahan Tonja
Astra Internasional
TPA Suwung
Pengelolaan Sampah
Darurat Sampah
DENPASAR, NusaBali.com - Tidak berlebihan apabila menyebut Bali sedang darurat sampah. Sebab, semua pihak kelabakan begitu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Sarbagita di Desa Suwuh Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar terbakar sejak Kamis (12/10/2023).
Selain TPA Suwung, TPA lain di regional Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) turut terbakar. Hal ini membuat pemerintah memeras otak, terutama mencari TPA alternatif untuk membuang ribuan ton sampah dari empat wilayah regional Bali selatan ini.
Bungkusan sampah rumah tangga kini menumpuk di depan rumah-rumah warga Denpasar. I Ketut Adi Wiguna, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3), Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar menjelaskan hal ini dipicu tempat penampungan sampah sementara (TPS) yang overload.
"TPS-TPS kami masih penuh pasca kebakaran TPA Suwung, jadi pengangkutan sampah swakelola oleh desa/kelurahan dengan motor cikar (moci) belum bisa dilakukan," ujar Adi Wiguna ketika dijumpai NusaBali.com pada Senin (23/10/2023) di Gedung DLHK Denpasar, Jalan Majapahit Nomor 6 Denpasar.
Pengangkutan memakai moci yang diswakelolakan oleh pemerintah desa/kelurahan ini bertugas memindahkan sampah dari rumah tangga ke TPS terdekat. Selanjutnya, sampah di TPS itu akan diangkut oleh truk DLHK ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan sebagian besar ke TPA.
Terbakarnya TPA Suwung ini pun membuat alur pengangkutan terganggu. Tidak hanya itu, ratusan pemulung di pemukiman dalam kawasan TPA yang masuk ke wilayah Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan ini juga terdampak. Mereka tidak memulung berhari-hari.
Kata Kohol, 52, seorang pemulung di TPA Suwung, gunung sampah di dekat rumahnya itu adalah surga mata pencarian. Sejak 1980-an, ia mengais sampah yang bisa didaur ulang atau dijual kembali. Meski gunung sampah itu surga, risiko mematikan mengincarnya setiap hari.
Selain dampak kesehatan, para pemulung ini beradu dengan alat berat seperti excavator. Selama memulung, Wanita paruh baya ini sudah menyaksikan tiga rekannya meregang nyawa di gunung bikinan manusia itu. Satu rekannya tergelincir dari 'lereng' gunung sampah dan terlindas alat berat.
"Kami tidak bisa apa-apa. Karena kami ini mengganggu pekerjaan orang (petugas TPA Suwung). Tetapi, kami juga hidupnya dari sana," ungkap Kohol di sela kunjungan NusaBali.com ke Bali Life Suwung Community Centre serangkaian peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2023.
Kemalangan yang menimpa rekan Kohol seharusnya tidak perlu terjadi apabila timbulan sampah dikelola dengan baik dari sumbernya. Kohol dan rekan-rekannya bisa tetap memulung dengan lebih aman apabila timbulan sampah tidak menggunung dan menumpuk di TPA.
Pemerintah juga tidak perlu kelabakan mencari TPA alternatif apabila volume sampah ke TPA Suwung bisa ditekan dari sumbernya. Apalagi, selama ini tidak peduli sampah organik, non organik, residu, dan lainnya sama-sama berakhir di TPA. DLHK Denpasar mencatat 866 ton timbulan sampah per hari pada 2022, 70 persen di antaranya adalah sampah organik.
Sampah organik yang sebagian besar bekas upacara adat ini semestinya bisa dicegah berakhir di TPA lantaran berisiko menghasilkan gas metana. Gas ini mudah terbakar dan jika tertanam di dasar gunung sampah, gas metana dapat terkonsentrasi dan akhirnya meledak seperti peristiwa pilu TPA Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat pada 2005 silam.
Kabar baiknya, ada secercah harapan di tengah-tengah Kota Denpasar. Di tengah kondisi darurat sampah ini, ada satu banjar (dusun) di Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara yang tidak terpengaruh kebakaran TPA. Di saat bungkusan sampah menumpuk di wilayah lain di Denpasar, Banjar Tegeh Sari justru bebas bungkusan sampah yang menginap di tepi jalan.
Situasi ini tidak lepas dari kolaborasi perangkat banjar dinas dan banjar adat di Banjar Tegeh Sari. Lintas generasi di banjar yang berpredikat Kampung Berseri Astra (KBA) dalam Satu Indonesia Awards 2019 ini bahu membahu mengubah wajah lingkungan mereka dengan dukungan penuh Astra.
I Putu Adi Tama, Penyarikan (Sekretaris) Banjar Adat Tegeh Sari mengungkapkan, gerakan kolektif berbasis lingkungan dan literasi ini mulai dirintis 20 tahun silam. Kala itu, didirikan Yayasan Banjar Tegeh Sari yang kini menaungi TK Tunas Mekar, Natah Rare, dan swakelola sampah.
"Di sini lah (melalui yayasan) kami (perangkat banjar dinas dan adat) berkolaborasi khususnya dalam mengelola sampah dan literasi lingkungan," ujar Adi ketika dijumpai NusaBali.com di Balai Banjar Tegeh Sari, Jalan Gatot Subroto I Nomor 38 Denpasar pada Sabtu (21/10/2023).
Berdikari kelola sampah
Banjar Tegeh Sari memiliki satu bank sampah yang melahirkan empat bank sampah lainnya meskipun secara administratif wilayah ini hanya setingkat dusun. Berbeda dengan wilayah lain, satu desa/kelurahan kadang hanya memiliki satu bank sampah.
Bank sampah menjadi kunci sukses banjar dengan 1.300-an kepala keluarga ini mampu berdikari mengelola dan mengolah sampah di dalam banjar. Selain itu, banjar seluas satu kilometer persegi ini memiliki hampir seribu lubang biopori dan 24 teba modern (sumur kompos).
"Minimal sampah organik itu harus sudah terkelola melalui sumur kompos. Kemudian yang sampah plastik melalui bank sampah. Baru-baru ini kami olah sampah plastik itu menjadi papan," beber I Gede Mantrayasa, Ketua Yayasan Banjar Tegeh Sari ketika dijumpai di Balai Banjar Tegeh Sari.
Mantra yang juga Duta KBA Banjar Tegeh Sari mengaku terdampak dengan bencana kebakaran TPA Suwung. Akan tetapi, dampaknya bukan pada kesulitan mencari tempat pembuangan sampah melainkan diberikan tugas tambahan oleh DLHK Denpasar.
Sampah yang diproduksi non warga Banjar Tegeh Sari seperti pertokoan, minimarket dan lainnya diminta oleh pemerintah agar diambil alih oleh Banjar Tegeh Sari selama penanganan kebakaran TPA Suwung. Walhasil, pengelolaan sampah banjar ini naik 100 persen.
Selama dua tahun terakhir, Banjar Tegeh Sari intens menggalakkan pengelolaan sampah di internal banjar. Oleh karena itu, mereka mampu mengendalikan volume sampah tanpa bergantung penuh pada TPA.
"Hanya sampah residu saja yang kami kirim ke TPA karena tidak bisa diolah sendiri. Sisanya sudah bisa kami kelola sendiri," imbuh Mantra.
Belia jadi pelopor literasi lingkungan
Untuk melanggengkan keberhasilan Banjar Tegeh Sari yang berdikari mengelola sampah, generasi belia dilibatkan menjadi pelopor. Skema peer-learning dan mengambil celah Merdeka Belajar, disertai praktik nyata, diterapkan untuk membentuk kader-kader banjar masa depan.
Setiap Sabtu, ekstrakurikuler lingkungan ditambah ke aktivitas pembelajaran SD Negeri 5 Tonja, tidak jauh dari Balai Banjar Tegeh Sari. Siswa SD diajak memahami pentingnya menjaga lingkungan melalui berbagai metode, salah satunya adalah kebun literasi.
Di samping itu, ada pula komunitas yang diisi belia usia SD-SMA bernama Sahabat Alam (Salam) Natah Rare. Komunitas ini satu dari komunitas Natah Rare lainnya yang bergerak di bidang seni dan budaya seperti musik dan tari.
Ni Putu Deswita Cintya Wiguna, 15, Ketua Salam Natah Rare menuturkan, komunitas ini sebagai wadah praktik lingkungan. Sebanyak 20 anggota lainnya diajak memahami lingkungan sekitar melalui aktivitas berkebun, literasi lingkungan, dan yang berbasis adat melalui pasraman hijau.
Mereka juga telah mengunjungi beberapa tempat seperti TPA Suwung sebelum terbakar dan komunitas lingkungan di wilayah lain untuk studi banding. Proyek yang tengah mereka kerjakan saat ini adalah merawat kebun agar bisa dipanen dalam waktu dekat.
"Bagaimana kita memperlakukan lingkungan sekitar itu kan sama dengan mempertaruhkan masa depan. Ah bosan dengar itu terus. Tapi itu sebuah kebenaran," ungkap Deswita ketika dijumpai di Kebun Kampung Hijau Banjar Tegeh Sari.
Belia seperti Deswita dan kawan-kawannya menjadi wajah masa depan Banjar Tegeh Sari. Siswi SMAN 8 Denpasar ini menerangkan, aktivitas di Salam Natah Rare juga untuk membentuk kemandirian serta pemahaman terkait alur penggarapan lahan dan produksi pangan.
30 persen warga kelola sampah berbasis sumber
Keberhasilan gerakan-gerakan lingkungan di Banjar Tegeh Sari memang belum 100 persen lantaran baru sekitar 87 persen rumah tangga yang dikelola sampahnya oleh banjar. Meski begitu, angka ini sudah sangat baik apabila melihat kawasan lain di Kota Denpasar.
Dari sekitar 1.140 kepala keluarga di Banjar Tegeh Sari yang telah dikelola sampahnya, Mantra selaku Ketua Yayasan Tegeh Sari mencatat 30 persen di antaranya sudah mandiri mengolah sampah. Sejumlah 30 persen warga ini menerapkan pengolahan sampah berbasis sumber khususnya untuk sampah organik.
"Mereka mengelola sendiri sampah dapurnya. Mereka mandiri membuat komposter. Yang lain (yang belum mandiri) tinggal digerakkan karena anak-anak mereka sudah kami gerakkan," ucap Mantra.
Spesifikasi komposter ini pun tidak rumit. Hanya berupa lubang berukuran satu meter persegi dengan kedalaman dua meter. Sampah organik yang ditanam akan terdekomposisi dan menjadi pupuk alami alias kompos.
Kesadaran dari 30 persen rumah tangga ini, kata Mantra, turut meringankan beban banjar lantaran volume pengelolaan sampah otomatis berkurang sebanyak 30 persen pula.
Adat sokong gerakan lingkungan
Sampah organik terbesar di Kota Denpasar adalah peranti upacara adat dan keagamaan. Umat Hindu di Bali dikenal dengan berbagai ritualnya yang memakai banten (sesaji). Banten ini sebagian besar terbuat dari bahan alam.
DLHK Denpasar menegaskan, peran desa adat dalam pengelolaan sampah sangat krusial terkait timbulan sampah organik dari kegiatan adat itu sendiri. Kata Adi Wiguna, Kabid PSLB3, Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali mengamanatkan peran aktif desa adat untuk mengelola sampah sisa upacara.
"Memorandum of Understanding (MoU) antara Forum Kepala Desa/Lurah dan Majelis Desa Adat Kota Denpasar sudah ada. Tapi praktik di lapangan kan berbeda-beda," tutur Adi Wiguna.
Di Banjar Tegeh Sari, perangkat adat terlibat langsung dalam pengelolaan sampah. Banjar Tegeh Sari sendiri termasuk wilayah Desa Adat Tonja. Desa adat dan desa dinas/kelurahan selalu berkoeksis di dalam tatanan pemerintahan tingkat desa di Bali.
Pengelolaan sampah di Banjar Tegeh Sari dibekingi awig-awig (hukum adat). Satu di antaranya terbentuknya pararem (aturan turunan awig-awig) terkait palemahan (lingkungan). Pararem ini mengamanatkan bahwa lahan kosong yang menimbulkan masalah lingkungan akan diambil alih desa adat.
Lahan-lahan kosong biasanya jadi sasaran empuk warga nakal yang ingin membuang sampah. Setiap enam bulan sekali, Banjar Tegeh Sari rutin membersihkan lahan kosong yang dibuangi sampah. Namun, hal ini kurang efisien dan volume sampahnya mencapai minimal satu truk.
"Yang diambil alih itu hanya pengelolaannya bukan kepemilikan. Lahan itu kami jadikan kebun bersama. Hasil panennya bisa dipetik warga secukupnya, dan tidak untuk dijual kembali," tegas Penyarikan (Sekretaris) Banjar Adat Tegeh Sari, Adi Tama.
Lanjut Adi, ada empat kebun yang berhasil disemai buah dari amanat aturan adat ini. Masing-masing kebun dikelola komponen desa yakni kebun krama (umum), kebun pemuda, Kebun Sari Dewi dikelola Tim Penggerak PKK, dan Kebun Kampung Hijau untuk lansia.
Dengan aktivitas dan keaktifan Banjar Tegeh Sari, wilayah integral Kelurahan Tonja dan Desa Adat Tonja ini jadi primadona percontohan. Baru-baru ini, Senin (23/10/2023), Banjar Tegeh Sari turut terlibat dalam lomba Banjar Terbaik yang digelar Polresta Denpasar.
Kriteria yang dilombakan juga berkaitan erat dengan aktivitas kamtibmas, lingkungan, pengelolaan sampah, dan budaya. Kata Ketua Yayasan Tegeh Sari sekaligus Duta KBA Banjar Tegeh Sari, Mantra, pembinaan dan dukungan dari Astra berkontribusi mengakselerasi program banjar dan memperkaya jejaring.
"Kami belajar bagaimana program banjar tradisional itu dikelola dengan profesional. Dulu kami bergerak dengan minim inventarisasi data. Setelah Astra masuk, kami jadi lebih disiplin dengan data," tandas Mantra. *rat
1
Komentar