Perlu Kesabaran dan Ketelitian
Prasi, Seni dengan Kesulitan Tinggi
SINGARAJA, NusaBali - Puluhan siswa, mahasiswa, dan seniman di Buleleng serius mendengarkan penjelasan pelaku seni prasi (pemrasi) Buleleng I Gusti Bagus Sudiasta, pada Seminar Prasi di Museum Soenda Ketjil, kawasan Pelabuhan Tua Buleleng, Selasa (14/11). IB Sudiasta memberikan ilmu dasar prasi sebagai pemahaman awal generasi muda untuk kelestarian seni dan budaya Bali.
Ditemui usai memberikan seminar, IB Sudiasta menjelaskan seni prasi merupakan seni langka yang dikenal masyarakat. Seni ini hanya dikenal oleh kalangan tertentu saja. Sedikitnya peminat seni prasi ini tidak lain disebabkan oleh tingkat kesulitannya yang tinggi. Sehingga belum dapat dijangkau oleh seluruh kalangan.
Menurut pemrasi asal Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, ini banyak hal yang menjadi kendala dalam menekuni seni melukis dalam daun lontar ini. Antara lain, untuk dapat membuat prasi, seseorang harus memiliki kemampuan seni melukis atau menggambar. Lanjut, harus belajar teknik menggores pada daun lontar yang jauh lebih susah jika dibandingkan menggambar di kertas atau di atas kanvas.
“Kendala utama melukis di atas lontar itu terletak pada kesulitan menggores yang tidak boleh salah, karena kalau lontar sudah tergores tidak bisa dihapus. Perlu ketelitian dan kesabaran,” ucap Sudiasta.
Tingkat kesulitan yang tinggi membuat pengerjaan prasi memakan waktu yang lama. Pemrasi yang sudah ahli seperti Sudiasta pun untuk menuntaskan prasi di atas lontar sepanjang 50 cm memerlukan waktu satu minggu penuh.
Selain kendala teknik, hal yang menghalangi generasi muda menguasai prasi, karena cerita yang diangkat dan dituangkan dalam bentuk gambar diambil dari cerita-cerita berbahasa Bali Kuno, Sansekerta dan Bahasa Kawi. Seperti cerita Mahabharata, Ramayana, Tantri, Jayendriya dan lainnya. Hal ini menjadikan seni prasi hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu saja.
“Memang sejak dulu yang menguasai seni ini didominasi orang tua. Karena cerita yang dituangkan dalam gambar dari naskah berbahasa Kawi dan Sansekerta, sehingga hanya lapisan tertentu saja yang bisa menjangkau,” imbuh dia.
Namun dengan perkembangan teknologi yang memudahkan berbagai akses informasi, sangat memungkinkan seni prasi ini dipelajari oleh generasi muda. Perkembangan digitalisasi yang memudahkan berbagai persoalan membuat tidak ada lagi alasan generasi muda tidak mau belajar seni prasi.
Sebagai pelaku seni IB Sudiasta pun berharap seminar ini dapat berkelanjutan dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Buleleng. Seperti, pelatihan membuat prasi. Kegiatan pendukung lainnya seperti pengenalan dan pelajaran bahasa dan sastra Bali sejak SD sangat perlu dilakukan. Sehingga dasar seni prasi sudah dimiliki sejak dini.
Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng I Nyoman Wisandika mengatakan seni prasi dikenalkan kepada generasi muda sebagai upaya pelestarian. Selain melalui pameran juga dilakukan melalui seminar. Sehingga semakin seni prasi yang selama ini merupakan seni elit bisa diketahui masyarakat.
“Karya prasi yang kita pamerkan juga ada yang dibuat mahasiswa Undiksha dan juga siswa SMAN 4 Singaraja. Ini menandakan sudah mulai menjamah generasi muda sesuai harapan kita,” terang Wisandika.
Salah seorang peserta seminar, Komang Darmawan yang mahasiswa Undiksha Singaraja, ini mengaku senang mendapatkan ilmu baru. Dia mengaku sebelumnya masih sangat awam memahami seni prasi. Namun setelah melihat pameran dan mengikuti seminar, dia mengaku memiliki keinginan untuk mempelajari prasi. “Mudah-mudahan kedepannya ada pelatihan membuat prasi, karena secara pribadi saya berminat belajar membuat prasi karena suka melukis dan menggambar juga,” harapnya.7k23
Menurut pemrasi asal Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, ini banyak hal yang menjadi kendala dalam menekuni seni melukis dalam daun lontar ini. Antara lain, untuk dapat membuat prasi, seseorang harus memiliki kemampuan seni melukis atau menggambar. Lanjut, harus belajar teknik menggores pada daun lontar yang jauh lebih susah jika dibandingkan menggambar di kertas atau di atas kanvas.
“Kendala utama melukis di atas lontar itu terletak pada kesulitan menggores yang tidak boleh salah, karena kalau lontar sudah tergores tidak bisa dihapus. Perlu ketelitian dan kesabaran,” ucap Sudiasta.
Tingkat kesulitan yang tinggi membuat pengerjaan prasi memakan waktu yang lama. Pemrasi yang sudah ahli seperti Sudiasta pun untuk menuntaskan prasi di atas lontar sepanjang 50 cm memerlukan waktu satu minggu penuh.
Selain kendala teknik, hal yang menghalangi generasi muda menguasai prasi, karena cerita yang diangkat dan dituangkan dalam bentuk gambar diambil dari cerita-cerita berbahasa Bali Kuno, Sansekerta dan Bahasa Kawi. Seperti cerita Mahabharata, Ramayana, Tantri, Jayendriya dan lainnya. Hal ini menjadikan seni prasi hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu saja.
“Memang sejak dulu yang menguasai seni ini didominasi orang tua. Karena cerita yang dituangkan dalam gambar dari naskah berbahasa Kawi dan Sansekerta, sehingga hanya lapisan tertentu saja yang bisa menjangkau,” imbuh dia.
Namun dengan perkembangan teknologi yang memudahkan berbagai akses informasi, sangat memungkinkan seni prasi ini dipelajari oleh generasi muda. Perkembangan digitalisasi yang memudahkan berbagai persoalan membuat tidak ada lagi alasan generasi muda tidak mau belajar seni prasi.
Sebagai pelaku seni IB Sudiasta pun berharap seminar ini dapat berkelanjutan dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Buleleng. Seperti, pelatihan membuat prasi. Kegiatan pendukung lainnya seperti pengenalan dan pelajaran bahasa dan sastra Bali sejak SD sangat perlu dilakukan. Sehingga dasar seni prasi sudah dimiliki sejak dini.
Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng I Nyoman Wisandika mengatakan seni prasi dikenalkan kepada generasi muda sebagai upaya pelestarian. Selain melalui pameran juga dilakukan melalui seminar. Sehingga semakin seni prasi yang selama ini merupakan seni elit bisa diketahui masyarakat.
“Karya prasi yang kita pamerkan juga ada yang dibuat mahasiswa Undiksha dan juga siswa SMAN 4 Singaraja. Ini menandakan sudah mulai menjamah generasi muda sesuai harapan kita,” terang Wisandika.
Salah seorang peserta seminar, Komang Darmawan yang mahasiswa Undiksha Singaraja, ini mengaku senang mendapatkan ilmu baru. Dia mengaku sebelumnya masih sangat awam memahami seni prasi. Namun setelah melihat pameran dan mengikuti seminar, dia mengaku memiliki keinginan untuk mempelajari prasi. “Mudah-mudahan kedepannya ada pelatihan membuat prasi, karena secara pribadi saya berminat belajar membuat prasi karena suka melukis dan menggambar juga,” harapnya.7k23
1
Komentar