Memuja Percumbuan Matahari dan Laut
ISI Denpasar Gelar Pameran Surya Segara Rupa
Eksplorasi kreatif dalam wujud visual dari Prodi Seni Murni ISI Denpasar berupaya mendorong perupa untuk menggali berbagai ide, gagasan, teknik, dan bahan dalam menginterpretasikan matahari, laut, dan bentuk estetis pada karya seni rupa.
DENPASAR, NusaBali
Matahari (surya) dan laut (segara) menjadi bagian makrokosmos yang kerap menginspirasi orang Bali membangun peradaban. Dalam ritual keagamaan, sosial, hingga seni, jejak-jejak pemaknaan orang Bali kepada Surya dan Segara terlihat jelas.
Pemaknaan terhadap Surya Segara ini pula yang kini tengah dilakukan para seniman kontemporer dari Progam Studi Seni Murni, ISI Denpasar. Karya-karya akademisi perguruan tinggi khusus seni satu-satunya di Bali ini dipamerkan di Griya Santrian Art Gallery, Sanur, Denpasar, 17 November - 31 Desember 2023.
Pameran mengambil tema 'Surya Segara Rupa' diikuti oleh 34 seniman akademisi Prodi Seni Murni ISI Denpasar yang masing-masing menampilkan satu karya seni rupa. Ikut pula lima seniman nasional dan enam seniman internasional.
Salah satu seniman I Wayan Karja dalam konferensi pers, Kamis (16/11), menyampaikan tema pameran memiliki arti yang signifikan dan berkaitan dengan latar belakang tema besar yang dirancang Pemerintah Provinsi Bali yang tertuang dalam Pesta Kesenian Bali tahun 2023. Kata 'Surya' mengacu kepada kata dalam bahasa Sansekerta dan lumrah dalam bahasa Bali untuk menyebut matahari. Berbagai budaya di dunia menempatkan matahari dianggap sebagai simbol kehidupan, kehangatan, dan energi. Matahari juga memiliki peran penting dalam mitologi, religius, ikonografi, dan kepercayaan banyak masyarakat etnis di dunia.
Matahari (surya) dan laut (segara) menjadi bagian makrokosmos yang kerap menginspirasi orang Bali membangun peradaban. Dalam ritual keagamaan, sosial, hingga seni, jejak-jejak pemaknaan orang Bali kepada Surya dan Segara terlihat jelas.
Pemaknaan terhadap Surya Segara ini pula yang kini tengah dilakukan para seniman kontemporer dari Progam Studi Seni Murni, ISI Denpasar. Karya-karya akademisi perguruan tinggi khusus seni satu-satunya di Bali ini dipamerkan di Griya Santrian Art Gallery, Sanur, Denpasar, 17 November - 31 Desember 2023.
Pameran mengambil tema 'Surya Segara Rupa' diikuti oleh 34 seniman akademisi Prodi Seni Murni ISI Denpasar yang masing-masing menampilkan satu karya seni rupa. Ikut pula lima seniman nasional dan enam seniman internasional.
Salah satu seniman I Wayan Karja dalam konferensi pers, Kamis (16/11), menyampaikan tema pameran memiliki arti yang signifikan dan berkaitan dengan latar belakang tema besar yang dirancang Pemerintah Provinsi Bali yang tertuang dalam Pesta Kesenian Bali tahun 2023. Kata 'Surya' mengacu kepada kata dalam bahasa Sansekerta dan lumrah dalam bahasa Bali untuk menyebut matahari. Berbagai budaya di dunia menempatkan matahari dianggap sebagai simbol kehidupan, kehangatan, dan energi. Matahari juga memiliki peran penting dalam mitologi, religius, ikonografi, dan kepercayaan banyak masyarakat etnis di dunia.
Sementara itu kata 'Segara' dalam bahasa Indonesia adalah padanan dari kata 'laut' atau 'samudra' dalam bahasa Inggris 'sea' atau 'ocean'. Laut atau samudra seringkali dikaitkan dengan keberlanjutan, keberlimpahan, serta kemisteriusan, dan keindahan alam yang tidak terbatas atau di Bali dikenal dengan istilah segara tanpa tepi.
Kata 'Rupa' sendiri dapat diterjemahkan sebagai 'bentuk' atau 'wujud'. Dalam konteks pameran seni murni ini, 'rupa' merujuk pada tampilan atau ekspresi visual dari suatu objek atau gagasan visual.
"Jadi, Surya Segara Rupa adalah tema pameran berfokus pada penggabungan konsep-konsep terkait matahari, laut, dan bentuk visual dalam konteks seni atau ekspresi kreatif dari para perupa ISI Denpasar, beberapa seniman nasional, dan internasional," ujar Karja.
Karja menambahkan, pameran ini berupaya untuk menggali makna-makna yang terkait dengan matahari, laut, atau elemen-elemen alam lainnya, serta bagaimana hal-hal tersebut dapat diekspresikan dalam karya seni rupa.
Dia menjelaskan Surya Segara Rupa merupakan penghormatan terhadap alam berdasarkan budaya Bali. Tema ini bisa menggambarkan upaya untuk menghormati dan menggali lebih dalam tentang bagaimana matahari, laut, dan alam secara umum mempengaruhi kehidupan, seni, dan budaya Bali.
Eksplorasi kreatif dalam wujud visual dari Prodi Seni Murni ISI Denpasar berupaya mendorong perupa untuk menggali berbagai ide, gagasan, teknik, dan bahan dalam menginterpretasikan matahari, laut, dan bentuk estetis pada karya seni rupa. Pameran ini menyampaikan pesan-pesan penting tentang pelestarian sumber daya alam dan penghormatan kepada matahari dan laut terkait kesadaran ekosistem, kehidupan, ritual, dan spiritualitas.
Menariknya, karya Karja dalam pameran ini juga mengambil judul Surya Segara Rupa. Lukisannya melukiskan laut dengan buih-buihnya yang indah berwarna putih. Lukisannya seolah mengajak merenungi kehidupan lewat laut dan warna-warna yang dipantulkannya.
Seniman asal Ubud, Gianyar, menjelaskan, lukisannya sekaligus menjadi bagian dari konsep Pengider Bhuana, yakni penjaga kestabilan di alam Dewata Nawa Sanga di segala penjuru arah. Lukisan Karja menatap terbitnya matahari di ufuk timur yang dalam konsep Dewata Nawa Sanga diwakili oleh Dewa Iswara penguasa arah timur dan disimbolkan dengan warna putih.
"Duduk di tepi pantai menghadap ke arah timur. Ternyata warna putih mengawali semua dari kehidupan itu. Kalau tidak ada cahaya, tidak ada warna. Dan gelombang di laut seakan kehidupan itu sendiri," jelasnya.
Lukisan Karja pada akhirnya mengajak setiap orang untuk berbuat sesuatu untuk laut. Laut di masa kini tidak terlepas dari permasalahan utamanya terkait sampah yang mengalir berton-ton setiap tahun ke samudra. Menurutnya kalangan seniman termasuk mahasiswa seni murni ISI Denpasar menaruh perhatian serius terhadap permasalahan sampah di laut. Mereka banyak menyuarakan keprihatinan melalui karya-karya seni rupa.
Kepedulian terhadap permasalahan lingkungan dan sosial juga ditekankan oleh seniman akademisi ISI Denpasar lainnya I Wayan Sujana 'Suklu'. Suklu berharap para seniman terus mengasah kepekaannya terhadap berbagai permasalahan di sekitarnya. "Saya pikir seniman Bali sudah sangat progresif, tinggal sekarang bagaimana tema-tema selain artistik dan lokal juga mengarah lebih ke global tema-temanya. Dalam hubungan kontekstual ada hubungan dengan politik, antropologi, psikologi, sosiologi, jadi tidak hanya artistik tapi nantinya ada konsep-konsep yang berguna," ujarnya.
"Sehingga seni tidak hanya untuk seni, tetapi seni jadi berguna memberikan pandangan-pandangan mendalam terhadap ilmu-ilmu di luar seni," sambungnya lagi.
Seniman akademisi asal Lepang, Klungkung sendiri memamerkan karyanya yang unik dalam pameran kali ini berjudul 'Ninth Dimension' (Dimensi ke-9). Menggambarkan sebuah horison yakni batas pertemuan antara langit dan laut. Angka 9 sendiri dipilihnya karena menjadi simbol kemisteriusan. Ia menuturkan, angka 9 jika dijumlahkan dengan angka yang sama, maka dua angka yang dihasilkannya jika dijumlahkan akan kembali ke angka 9. Dan begitu seterusnya tanpa ada awal dan akhir.
"Ketika saya ke pantai yang kita lihat kan seperti langit bertemu samudra padahal nggak. Saya membayangkan intuisi saya terus mengejar sampai akhirnya saya bertemu dimensi ke sembilan. Dimensi 9 yang saya bayangkan adalah bertemu dengan roh-roh tokoh spiritual, Budha, Yesus, Wiasa," kata Suklu.7cr78
Komentar