Tergolong Gangguan Tingkah Laku
Gangguan tingkah laku ini bisa dipengaruhi oleh empat faktor, diantaranya biologis, psikologis, sosial, dan culture (budaya).
Remaja Lakukan Pengeroyokan
DENPASAR, NusaBali
Aksi pengeroyokan yang dilakukan kalangan remaja (di bawah umur) hingga memakan korban jiwa tengah menjadi sorotan. Namun, jika remaja melakukan kesalahan, sepatutnya tidak dibully, melainkan didampingi.
Psikiater RSUP Sanglah, dr Ni Ketut Sri Diniari, mengatakan, masa remaja merupakan masa mencari identitas diri. Pada masa ini, remaja yang kisaran umur 12-17 tahun belum bisa menentukan sikap. “Mereka belum bisa menentukan sikapnya mau jadi apa. Umur segitu memang hormonnya emosional. Sedikit saja bersentuhan, bisa panas (bergejolak, red),” ungkapnya kepada NusaBali, baru-baru ini.
Menurutnya, dalam masa labil ini bisa saja para remaja melakukan hal-hal negatif seperti pacaran tidak sehat, terlibat perkelahian, penyalahgunaan narkoba, infeksi menular seksual dan HIV/AIDS, pelecehan seksual, hingga kehamilan tidak diinginkan, dan hal-hal negatif lainnya. “Yang jadi masalah dalam hal ini adalah bawa senjatanya itu untuk apa. Bisa dikatakan, remaja ini tumbuh mengalami conduct disorder atau gangguan tingkah laku,” ujarnya.
Conduct disorder atau perilaku mengganggu/mengacau merupakan suatu pola negativistik, permusuhan dan perilaku menentang yang terus-menerus tanpa adanya pelanggaran serius terhadap norma sosial atau hak orang lain. dr Sri Diniari menambahkan, gangguan tingkah laku ini bisa dipengaruhi oleh empat faktor, diantaranya biologis, psikologis, sosial, dan culture (budaya).
Secara biologis, conduct disorder ini bisa dipengaruhi oleh gen atau keturunan. Selain itu, dari sisi psikologis, gangguan tingkah laku ini dipengaruhi oleh ‘role model’ yang ditiru oleh sang anak. “Kalau secara biologis, ada yang gitu nggak di rumah? Atau bisa saja pada saat hamil diperlakukan seperti apa ibunya? Karena emosional ibu mempengaruhi bayinya, dan berkontribusi ke otaknya. Nah, sedangkan secara piskis itu, apa yang dilihat role model di rumah. Misalnya suka teriak-teriak, maka anaknya akan meniru role model, apapun itu. Biasanya ini dimulai dari usia lima tahun ke atas,” katanya.
Sementara dari segi sosial, conduct disorder dipengaruhi setelah terpapar lingkungan. Biasanya, remaja cenderung akan mencari yang sepaham dengan dirinya. Sang remaja akan mencari Peer Group atau kelompok yang menerimanya. “Remaja bertemu dengan sepaham, kemudian jadi sering keluar dan merasa tidak nyaman di rumah. Mungkin juga remaja ini kurang perhatian, dan justru teman memberikan perhatian,” jelasnya.
Sedangkan pengaruh budaya, kata dr Sri Diniari, bisa jadi proteksi namun bisa juga jadi pemicu stress. “Misalnya orang pengen punya trail atau handphone jenis baru, sehingga dia juga harus punya yang baru. Conduct disorder ini bisa muncul. Hal-hal di luar rumah terlalu banyak yang menarik,” katanya.
Terkait kasus ini, dr Sri Diniari mengatakan perlu pendampingan. Penanganan psikologi harus diawali dengan menelusuri penyebabnya. Sebab, jika dibiarkan kondisi ini akan berlanjut bisa menyebabkan psikopat. “Kalau dibiarkan berkembang dia jadi mengalami gangguan kepribadian anti sosial atau psikopat jika sudah berusia 18 tahun ke atas,” tambahnya.
Sementara untuk mencegah gangguan tingkah laku ini, menurut dia, ada baiknya para orangtua menanamkan hal-hal baik sejak umur bayi hingga lima tahun, sebelum terpapar pengaruh lingkungan. Menurutnya, di sinilah peran penting orang tua dalam masa emas pertumbuhan anak.
“Sebenarnya baiknya dari kecil sebelum 5 tahun kita tanamkan norma-norma agama, bukan ritual agama. Jadi berikan contoh-contoh kecil untuk mengajarkan norma itu. Itu akan membekas sekali. Seburuk apapun lingkungan di luar itu, sudah tertanam hal baik dari orang tua,” katanya.
Apalagi saat ini generasi X, Y, dan Z tidak bisa disamakan dalam memberikan perlakuan. Generasi Z yang lahir dari tahun 1995 hingga saat ini adalah generasi digital, yang lahir dalam kondisi zaman teknologi tinggi. Maka, para orang tua saat ini disarankan tidak memperlakukan anak seperti perlakuan yang diberikan oleh orangtua itu sendiri pada zamannya. Para orangtua kini harus melakukan komunikasi dua arah dengan anak. “Generasi Z ini tidak bisa diperintah, kita harus seperti teman baginya. Orangtua harus beradaptasi. Inilah mengapa beda generasi menyebabkan tidak siap untuk disamakan,” ungkapnya.
Para orangtua pun disarankan belajar menjadi pendengar yang baik untuk anak. “Seperti curhat, kita melakukan komunikasi dua arah dengan anak. Misalnya menyapu, kita tidak langsung menyuruh nyapu. Itu komunikasi searah, dan pasti gagal. Nah, coba seperti curhat atau diskusi, apalagi dilakukan dengan lembut dan kasih sayang,” pungkasnya. *in
1
Komentar