Puja Basmangkuram Dipuput 79 Ida Pedanda
di Pura Tugu Gianyar
GIANYAR, NusaBali - Dharmopadesa Pusat Nusantara menyelenggarakan Puja Basmangkuram yang dipuput 79 Ida Pedanda Siwa-Buddha se-Bali di Pura Tugu, Lingkungan Tegal Tugu, Kelurahan/Kecamatan Gianyar pada Redite Umanis Klawu, Minggu (26/11) pagi.
Pura Tugu merupakan salah satu Dang Khayangan Jagat jejak perjalanan suci Dang Hyang Nirartha di Gianyar. Puja ini dilantunkan bertujuan untuk memohon keselamatan alam semesta dan segala isinya.
Wakil Ketua Bidang Kumham Perkumpulan Dharmopadesa Pusat Nusantara (PDPN), Ida Bagus Putu Madeg SH MH mengatakan upacara ini rutin digelar setiap tahun. Setiap pelaksanaannya dilakukan di pura yang berbeda-beda, yakni mengikuti perjalanan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Tujuan utama dari upacara ini adalah mendoakan keselamatan alam semesta.
"Ini murni untuk mendoakan keselamatan alam semesta, tidak ada tujuan lain. Upacara ini digelar setiap tahun di setiap Pura Dang Kahyangan di Bali," ujarnya, mewakili Ketua Umum PDPN, Marsekal (Purn) TNI Ida Bagus Putu Dunia. Sementara itu, Manggala Utama Pratisentana Ida Bhatara Manggis Kuning, Anak Agung Gde Mayun dari Puri Tulikup, Gianyar menjelaskan hubungan Pura Tugu ini dengan perjalanan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Kata dia, bermula saat Ida Pedanda datang dari Jawa ke Bali, dan diangkat sebagai pendeta kerajaan pada masa Dalem Waturenggong dengan misi meningkatkan ilmu keagamaan di Bali.
Berdasarkan lontar suci, Ida Pedanda yang kerap juga disebut Ida Danghyang Nirartha, membawa sistem keagamaan atau pemujaan Siwa Sidanta. Dimana kala itu, umat di Bali masih mengusung paham sekte. "Paham Siwa Sidhanta ini yang bagi Dalem Waturenggong lebih tepat dilaksanakan di Bali, raja juga berkepentingan untuk menyebarkan ajaran ini dalam rangka meningkatkan Sradha Bakti masyarakat Bali dan juga menyempurnakan sistem keagamaan di Bali. Akhirnya misi itu dilakukan dengan Dharmayatra keliling Pulau Bali mengunjungi penduduk-penduduk," ujarnya.
Dalam perjalanannya, kata Gung Mayun, diawali dari barat menuju timur, ketika sampai melewati subak laba di Er Jeruk, Sukawati, Danghyang Niratha mendirikan palinggih yang kini dikenal sebagai Pura Er Jeruk. Lalu dilanjutkan ke timur sampai di pesisir Pantai Lebih, belok ke kiri melewati beberapa desa yang saat itu bernama Desa Batan Tingkih, Desa Teba Jero yang saat ini bernama Banjar Kesian. Lanjut ke utara, yang saat itu Danghyang Nirartha tiba di sebuah komunitas namanya wilayah Tegal.
"Beliau istirahat di sana, mungkin karena kecapekan. Di samping beliau istirahat ada Pura Ulun Suwi, nah karena beliau istirahat di depan pura dilihat oleh pamangku pura dan keluarlah pamangku. Kepada Ratu Peranda, pamangku ini mempersilahkan sebaiknya Ida Peranda sembahyang dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Biar selamat dalam perjalanan. Beliau masuk lah ke pura, duduk di pelataran pura. Tapi baru mau sembahyang, palinggih roboh semua, nangislah pamangku itu," beber Agung Mayun.
Kata Agung Mayun, berdasarkan lontar Dwijendra Tatwa dan Dharma Yatra Dang Hyang Nirartha, koleksi Gedong Kertya disebutkan bahwa pamangku meminta Ida Pedanda mengembalikan puranya seperti semula. "Akhirnya dengan kemampuan yoga, pura bisa dikembalikan seperti sediakala. Tapi dalam realitasnya beliau menambah palinggih, ada candi dan Sri Sedana. Sebelumnya hanya palinggih ulun suwi saja," ungkapnya.
Setelah itu, Ida Pedanda pun bersabda kepada pamangku, dalam rangka memperingati pura ini ada hubungannya dengan Ida Peranda, maka Ida Danghyang Nirartha memberikan 'kancing gelung' atau sejenis tusuk konde. Lalu disungsung di Pura Tugu ini. "Kancing gelung ini seakan beliau sudah disungsung di sini. Saat ini ditempatkan di candi, sehingga oleh pamangku dan masyarakat selanjutnya dibuatkan lagi payogan beliau disebut Gedong Betel," ujar Agung Mayun. Saat ini, Pura Tugu disungsung oleh Pasemetonan Puri Agung Gianyar atau keturunan I Dewa Manggis Kuning dengan jumlah 16 puri dan Pasemetonan Brahmana di Gianyar.
Piodalannya jatuh setiap Anggara Kliwon Medangsia. Adapun alasan pura ini disungsung keluarga Puri Agung Gianyar, kata Agung Mayun, sekitar tahun 1620 di daerah Bengkel atau sekarang Beng, di sana tinggal Putra Dalem Segening bernama I Dewa Manggis Kuning. Selama hidupnya, Ida Manggis Kuning selain menekuni ilmu kepemimpinan, juga sangat taat terhadap ajaran keagamaan. Dia selalu bersembahyang di berbagai pura. "Pada suatu ketika beliau bersembahyang di Pura Gunung Jimbar, beliau mendapat anugerah sebilah tombak kibaru alis, dan di Pura Tugu ini, beliau dapat keris Ki Baru Kama. Karena menerima anugerah itu, beliau berkomitmen se-keturunan beliau harus mengingat dan menjaga pura ini," ujar Agung Mayun. 7 nvi
Wakil Ketua Bidang Kumham Perkumpulan Dharmopadesa Pusat Nusantara (PDPN), Ida Bagus Putu Madeg SH MH mengatakan upacara ini rutin digelar setiap tahun. Setiap pelaksanaannya dilakukan di pura yang berbeda-beda, yakni mengikuti perjalanan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Tujuan utama dari upacara ini adalah mendoakan keselamatan alam semesta.
"Ini murni untuk mendoakan keselamatan alam semesta, tidak ada tujuan lain. Upacara ini digelar setiap tahun di setiap Pura Dang Kahyangan di Bali," ujarnya, mewakili Ketua Umum PDPN, Marsekal (Purn) TNI Ida Bagus Putu Dunia. Sementara itu, Manggala Utama Pratisentana Ida Bhatara Manggis Kuning, Anak Agung Gde Mayun dari Puri Tulikup, Gianyar menjelaskan hubungan Pura Tugu ini dengan perjalanan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Kata dia, bermula saat Ida Pedanda datang dari Jawa ke Bali, dan diangkat sebagai pendeta kerajaan pada masa Dalem Waturenggong dengan misi meningkatkan ilmu keagamaan di Bali.
Berdasarkan lontar suci, Ida Pedanda yang kerap juga disebut Ida Danghyang Nirartha, membawa sistem keagamaan atau pemujaan Siwa Sidanta. Dimana kala itu, umat di Bali masih mengusung paham sekte. "Paham Siwa Sidhanta ini yang bagi Dalem Waturenggong lebih tepat dilaksanakan di Bali, raja juga berkepentingan untuk menyebarkan ajaran ini dalam rangka meningkatkan Sradha Bakti masyarakat Bali dan juga menyempurnakan sistem keagamaan di Bali. Akhirnya misi itu dilakukan dengan Dharmayatra keliling Pulau Bali mengunjungi penduduk-penduduk," ujarnya.
Dalam perjalanannya, kata Gung Mayun, diawali dari barat menuju timur, ketika sampai melewati subak laba di Er Jeruk, Sukawati, Danghyang Niratha mendirikan palinggih yang kini dikenal sebagai Pura Er Jeruk. Lalu dilanjutkan ke timur sampai di pesisir Pantai Lebih, belok ke kiri melewati beberapa desa yang saat itu bernama Desa Batan Tingkih, Desa Teba Jero yang saat ini bernama Banjar Kesian. Lanjut ke utara, yang saat itu Danghyang Nirartha tiba di sebuah komunitas namanya wilayah Tegal.
"Beliau istirahat di sana, mungkin karena kecapekan. Di samping beliau istirahat ada Pura Ulun Suwi, nah karena beliau istirahat di depan pura dilihat oleh pamangku pura dan keluarlah pamangku. Kepada Ratu Peranda, pamangku ini mempersilahkan sebaiknya Ida Peranda sembahyang dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Biar selamat dalam perjalanan. Beliau masuk lah ke pura, duduk di pelataran pura. Tapi baru mau sembahyang, palinggih roboh semua, nangislah pamangku itu," beber Agung Mayun.
Kata Agung Mayun, berdasarkan lontar Dwijendra Tatwa dan Dharma Yatra Dang Hyang Nirartha, koleksi Gedong Kertya disebutkan bahwa pamangku meminta Ida Pedanda mengembalikan puranya seperti semula. "Akhirnya dengan kemampuan yoga, pura bisa dikembalikan seperti sediakala. Tapi dalam realitasnya beliau menambah palinggih, ada candi dan Sri Sedana. Sebelumnya hanya palinggih ulun suwi saja," ungkapnya.
Setelah itu, Ida Pedanda pun bersabda kepada pamangku, dalam rangka memperingati pura ini ada hubungannya dengan Ida Peranda, maka Ida Danghyang Nirartha memberikan 'kancing gelung' atau sejenis tusuk konde. Lalu disungsung di Pura Tugu ini. "Kancing gelung ini seakan beliau sudah disungsung di sini. Saat ini ditempatkan di candi, sehingga oleh pamangku dan masyarakat selanjutnya dibuatkan lagi payogan beliau disebut Gedong Betel," ujar Agung Mayun. Saat ini, Pura Tugu disungsung oleh Pasemetonan Puri Agung Gianyar atau keturunan I Dewa Manggis Kuning dengan jumlah 16 puri dan Pasemetonan Brahmana di Gianyar.
Piodalannya jatuh setiap Anggara Kliwon Medangsia. Adapun alasan pura ini disungsung keluarga Puri Agung Gianyar, kata Agung Mayun, sekitar tahun 1620 di daerah Bengkel atau sekarang Beng, di sana tinggal Putra Dalem Segening bernama I Dewa Manggis Kuning. Selama hidupnya, Ida Manggis Kuning selain menekuni ilmu kepemimpinan, juga sangat taat terhadap ajaran keagamaan. Dia selalu bersembahyang di berbagai pura. "Pada suatu ketika beliau bersembahyang di Pura Gunung Jimbar, beliau mendapat anugerah sebilah tombak kibaru alis, dan di Pura Tugu ini, beliau dapat keris Ki Baru Kama. Karena menerima anugerah itu, beliau berkomitmen se-keturunan beliau harus mengingat dan menjaga pura ini," ujar Agung Mayun. 7 nvi
1
Komentar