Elemen Masyarakat Bali Kampanye Pencegahan Kekerasan Seksual
DENPASAR, NusaBali - Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih menjadi fenomena gunung es. Sejumlah elemen masyarakat Bali mulai dari akademisi, birokrat, kepolisian, LSM, hingga mahasiswa melakukan aksi bersama kampanye pencegahan kekerasan seksual, bertempat di Gedung RRI, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, Senin (27/11).
Aksi dalam bentuk diskusi dihadiri Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) IV Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Ditreskrimum Polda Bali AKBP Ni Luh Kompiang Srinadi, Dekan FISHUM Universitas Ngurah Rai Dr Drs I Wayan Astawa SH MAP, Kaukus Perempuan Parlemen Kota Denpasar Cinthia Febriani, Ketua KPPAD Bali Ni Luh Yastini, Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB Kota Denpasar Widiastuti, perwakilan LSM perempuan Bali Sruti Andani, dan sejumlah mahasiswa.
Aksi ini menjadi respons atas kasus kekerasan terhadap perempuan yang cenderung meningkat tiap tahun. AKBP Srinadi mengakui, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kian mengkhawatirkan.
‘Jadi kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Bisa di lingkup keluarga, bisa di lingkungan pendidikan, ataupun di area publik,” ujarnya.
Tidak banyak korban melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. Karenanya, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih menjadi fenomena gunung es.
“Kemungkinan ada rasa takut, bagaimana cara melapor kepada petugas kepolisian, terus bagaimana nanti ini adalah pelakunya dari lingkungan keluarga, mungkin takut dan malu. Dari Polda Bali kami berkomitmen untuk membantu memberikan pelayanan terkait dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang dihadapi oleh perempuan dan anak,” kata AKBP Srinadi.
Ni Luh Gede Yastini menyampaikan fakta mencengangkan. Khusus di Pulau Dewata, dari 377 kasus terhadap anak di tahun 2022, sekitar 120 atau 60 persen adalah kekerasan seksual. “Dan itu terjadi, di lingkungan keluarga yang paling banyak. Itu menyakitkan ya, karena pelakunya adalah orang-orang terdekat,” ungkapnya.
Wayan Astawa menilai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menjadi instrumen yang kuat dalam memproteksi perempuan dan anak. Sebagai representasi lembaga pendidikan, pihaknya siap menyebarkan virus positif untuk mengentaskan permasalahan yang ada.
“Karena undang-undang ini luar biasa sekali. Karena kalau kita lihat di undang-undang yang lain, belum ada saya temukan itu perlindungan terhadap korban,” sebutnya.
Andani menyampaikan masih banyaknya warga yang belum mengetahui keberadaan UU Nomor Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menjadi salah satu tantangan dalam upaya menekan angka kekerasan seksual.
“Otomatis ketika ada korban kekerasan seksual itu belum banyak yang tahu bahwa negara hadir untuk membantu korban,” ujarnya.
Dia menekankan kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah masuk kategori darurat. Melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pemerintah melindungi korban dengan memberikan pendampingan kepada korban hingga restitusi (ganti rugi dari pihak pelaku). Dia pun mendorong para korban kekerasan seksual untuk berani bersuara.
7 cr78
Aksi ini menjadi respons atas kasus kekerasan terhadap perempuan yang cenderung meningkat tiap tahun. AKBP Srinadi mengakui, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kian mengkhawatirkan.
‘Jadi kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Bisa di lingkup keluarga, bisa di lingkungan pendidikan, ataupun di area publik,” ujarnya.
Tidak banyak korban melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. Karenanya, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih menjadi fenomena gunung es.
“Kemungkinan ada rasa takut, bagaimana cara melapor kepada petugas kepolisian, terus bagaimana nanti ini adalah pelakunya dari lingkungan keluarga, mungkin takut dan malu. Dari Polda Bali kami berkomitmen untuk membantu memberikan pelayanan terkait dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang dihadapi oleh perempuan dan anak,” kata AKBP Srinadi.
Ni Luh Gede Yastini menyampaikan fakta mencengangkan. Khusus di Pulau Dewata, dari 377 kasus terhadap anak di tahun 2022, sekitar 120 atau 60 persen adalah kekerasan seksual. “Dan itu terjadi, di lingkungan keluarga yang paling banyak. Itu menyakitkan ya, karena pelakunya adalah orang-orang terdekat,” ungkapnya.
Wayan Astawa menilai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menjadi instrumen yang kuat dalam memproteksi perempuan dan anak. Sebagai representasi lembaga pendidikan, pihaknya siap menyebarkan virus positif untuk mengentaskan permasalahan yang ada.
“Karena undang-undang ini luar biasa sekali. Karena kalau kita lihat di undang-undang yang lain, belum ada saya temukan itu perlindungan terhadap korban,” sebutnya.
Andani menyampaikan masih banyaknya warga yang belum mengetahui keberadaan UU Nomor Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menjadi salah satu tantangan dalam upaya menekan angka kekerasan seksual.
“Otomatis ketika ada korban kekerasan seksual itu belum banyak yang tahu bahwa negara hadir untuk membantu korban,” ujarnya.
Dia menekankan kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah masuk kategori darurat. Melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pemerintah melindungi korban dengan memberikan pendampingan kepada korban hingga restitusi (ganti rugi dari pihak pelaku). Dia pun mendorong para korban kekerasan seksual untuk berani bersuara.
7 cr78
1
Komentar