Sudiarta: Beban Kerja Guru SD di Indonesia Tinggi
DENPASAR, NusaBali.com – Aturan yang diterapkan di dunia pendidikan Indonesia dinilai masih amburadul. Contohnya, di saat digitalisasi digalakkan oleh pemerintah untuk proses belajar mengajar siswa SMP dan SMA, justru penggunaan ponsel pintar menjadi larangan bagi siswa tingkat sekolah dasar (SD).
“Ini tidak sinkron. Jika memang ponsel pintar dilarang digunakan oleh siswa SD, kembalikan lagi cara lama dengan menggunakan buku dan pena. Belum lagi tidak semua orang tua siswa mampu membeli ponsel pintar untuk anak-anak mereka,” kata Drs Ida Bagus Putu Sudiarta SPd MSi, pengamat pendidikan asal Jembrana, Selasa (5/12/2023).
Beban para guru SD juga menjadi sorotan Sudiarta. Dahulu, guru lebih banyak berfokus untuk mengajar. Namun kini mereka juga dibebani banyaknya pekerjaan administrasi sekolah.
“Jika pada SMP dan SMA ada bagian khusus yakni tata usaha, di SD biasanya itu dikerjakan oleh para guru, karena biasanya hanya ada satu pegawai tata usaha di sekolah. Hal ini tentu berimbas pada kualitas dan kinerja guru SD,” sebut Sudiarta yang saat ini memimpin SDN 4 Dauhpuri, Denpasar yang berlokasi di Dusun Wanasari atau lebih dikenal Kampung Jawa.
Belum lagi, aturan terbaru agar sekolah umum menerima siswa penyandang disabilitas baginya perlu dikaji lebih lanjut. “Bukan bermaksud diskriminatif, guru umum memang belum memiliki kompetensi untuk mengajar murid difabel, misalnya saja bahasa isyarat atau cara mengajar siswa berkebutuhan khusus,” kata lelaki 59 tahun yang akan memasuki purna tugas ini.
Hal lain, syarat penerimaan siswa SD yakni mampu membaca, menulis, berhitung (calistung) juga menurut Sudiarta tidak sinkron. “Karena pada jenjang sebelumnya yakni TK bahkan PAUD, anak didik tidak disarankan belajar calistung. Padahal, saat akan masuk SD mereka disyaratkan sudah menguasai calistung. Ini bagaimana?,” tanyanya dengan mimik serius.
Dirinya berharap, tumpah tindihnya kondisi pendidikan ini bisa dicarikan jalan keluar, karena pendidikan menyangkut manusia dan tujuan yang luhur, membentuk karakter peserta didik.
“Aturan bahkan kurikulum yang selalu berganti setiap masa, menjadi akar dari kondisi yang menurut saya kurang baik ke depan. Harapan kita saat ini, para politisi mengambil peran sehingga bisa melahirkan kebijakan pendidikan yang berkualitas,” ujar dosen di beberapa universitas di Bali ini.
Apalagi, ingatnya, kini tenaga guru tidak hanya berasal dari ASN/PNS dan tenaga kontrak, melainkan juga PPPK. “Tugas dan tanggung jawab mereka sama, hanya saja honor atau gaji yang diterima tidak sama. Hal ini saya pernah perjuangkan saat menjadi pengurus PGRI Provinsi Bali, sayangnya belum mendapat respons dari pemerintah,” tutup Sudiarta. *ol5
1
Komentar