Kasek SDN 4 Dauh Puri Ungkap Cara Kerja Wartawan 'Tempo Doeloe'
DENPASAR, NusaBali.com –Ida Bagus Putu Sudiarta, Kepala Sekolah Dasar Negeri 4 Dauhpuri, Denpasar, Bali, memiliki pengalaman unik sebagai wartawan. Ia menjadi wartawan pada tahun 1984 hingga 1996 dan di saat yang sama juga berprofesi sebagai guru SD.
Ditemui di SDN 4 Dauhpuri, Selasa (5/12/2023), Sudiarta menceritakan kenangan masa lalunya saat menjadi wartawan muda dan sempat bergabung dengan Harian Umum Nusa Tenggara (sekarang Nusa Bali).
Saat itu sudah menjadi guru SD di Jembrana, namun ia juga mengisi aktivitas kesehariannya dengan menjadi wartawan. Seusai jam sekolah, setiap hari ia melakukan tugas jurnalistik, menulis tentang desa atau menghadiri kegiatan seni di Jembrana, tempat ia bertugas.
Meskipun harus bekerja keras, Sudiarta mengaku senang menjadi wartawan. Ia bisa belajar banyak hal, termasuk tentang kehidupan masyarakat di berbagai daerah.
"Saya bisa melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan," ujar Sudiarta yang 12 tahun menjadi wartawan sebelum fokus ke dunia pendidikan.
Capaian tertinggi yang pernah ia raih, yakni menjadi juara anugerah jurnalistik yang digelar Kementerian Penerangan RI pada 1995. “Waktu itu saya menulis reportase tentang desa nelayan di Jembrana dimana jika musim panen ikan identik dengan bau amis. Saat itu di Kuta ada kejadian ribuan ikan mati. Bau amis di Kuta kabar buruk bagi pariwisata, sedangkan bau amis di Jembrana adalah rezeki. Tulisan itu membawa saya menjadi pemenang dan diundang ke Jakarta,” sebut Sudiarta.
Diakuinya jika menjadi wartawan saat itu tidak mudah. Setiap wartawan harus bekerja keras untuk mengumpulkan berita. Sudiarta sendiri harus membawa tape recorder untuk merekam wawancara. Bahkan mesin ketik kecil selalu dibawanya agar bisa mengetik berita dan mengirimkannya ke redaksi di Denpasar.
Hasil ketikan ini disimpan dalam amplop dan dititipkan melalui sopir bus yang menuju Denpasar, kantor pusat Harian Umum Nusa Tenggara.
Sesampainya di Terminal Ubung, Denpasar, naskah itu dimasukkan ke dalam kotak kayu khusus yang nantinya diambil oleh staf redaksi Nusa Tenggara. “Saat itu, semua dilakukan manual. Tidak seperti sekarang, semua serba mudah," ujar Sudiarta mengenang.
Di Terminal Ubung itu pun juga ada kotak media lainnya, karena mekanisme pengiriman berita dari kabupaten dilakukan melalui jasa sopir bus. “Naskah berita kiriman lalu diketik ulang oleh sekretaris redaksi untuk kemudian dimuat di koran,” terang pendidik berusia 59 tahun ini.
Apa yang dilakukan para wartawan tempo doeloe ini tentu tidak dialami oleh wartawan zaman sekarang yang lekat dengan teknologi. “Bahkan membuat dan mengirim berita kini bisa dengan ponsel pintar. Namun saya melihat wartawan saat ini kualitasnya menurun,” cetus Sudiarta.
Ia menyayangkan banyaknya wartawan yang tidak memahami kode etik jurnalistik. Selain itu, banyak juga berita yang hanya hasil copy-paste dari rekan lain atau berasal dari rilis pers tanpa disunting lagi.
"Pada zaman saya dulu, kreativitas wajib dimiliki wartawan. Sekarang, sepertinya banyak wartawan yang lebih mementingkan kecepatan daripada kualitas," ujar Sudiarta.
Sudiarta berharap Dewan Pers bisa terus meningkatkan kompetensi wartawan. Ia juga berharap agar wartawan bisa lebih kreatif dalam menyajikan berita. "Berita yang berkualitas akan menjadi bacaan yang informatif dan inspiratif," ujar Sudiarta. *ol5
Komentar