ASN Boleh Hadiri Kampanye, Tapi Pasif
Ombudsman Soroti Mutasi Pejabat Jadi Alat Intimidasi
DENPASAR, NusaBali - Ketua Bawaslu Provinsi Bali, I Putu Agus Tirta Suguna menegaskan Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki hak pilih dalam kapasitas sebagai warga masyarakat. Oleh karena itu, ASN berhak memperoleh informasi mengenai visi, misi, dan program dari peserta pemilu.
"ASN itu mempunyai hak pilih. Untuk menentukan pilihan tentu mereka harus mengetahui apa visi, misi, dan program. Dengan catatan, mereka harus menjaga netralitas," ujar Agus Tirta di sela acara coffee morning di Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bali, Jalan Melati Nomor 14, Denpasar pada Senin (11/12) pagi. Bentuk-bentuk netralitas yang harus dijalankan setiap ASN adalah bebas konflik kepentingan, bebas intervensi, bersikap adil, objektif, bebas pengaruh, dan tidak memihak.
Informasi visi, misi, dan program ini bisa diperoleh melalui berbagai media. Kata Agus Tirta, ASN dapat hadir di tengah kegiatan kampanye. Misalnya, ada kegiatan di lingkungan banjar yang mendatangkan caleg. Hal ini, jelas dia, bakal dimaklumi. Namun, tidak diperkenankan memakai atribut dan harus bersifat pasif.
"Kalau misalnya di banjar ada pertemuan atau ada pemuka masyarakat yang mengundang (tokoh peserta pemilu), wajar mereka (ASN) menghadiri acara sebagai masyarakat biasa, tapi tidak memakai atribut kampanye, pakai pakaian adat, dan harus bersifat pasif," jelas Agus Tirta.
Agus Tirta mengingatkan, bentuk menghadiri kampanye yang diperbolehkan hanya sebagai peserta pasif, bukan pelaku aktif. Pelaku aktif yang dimaksud adalah menjadi tim kampanye, panitia pelaksana kegiatan kampanye, dan menyuarakan dukungan. Mantan Ketua KPU Kabupaten Gianyar ini menekankan, ASN boleh menghadiri kampanye hanya sebatas sebagai peserta pasif. Kata dia, mereka tidak boleh bahkan sekadar menyiapkan dan merapikan soundsystem untuk pelaksanaan acara.
Namun, permakluman ini tidak berlaku penuh ketika ASN menghadiri kampanye terbuka. Motivasi ASN yang kedapatan menghadiri kampanye terbuka bakal lebih didalami. Bawaslu menelisik kemungkinan ASN memiliki motivasi lain dari sekadar sebagai masyarakat biasa yang bersikap pasif. "Tujuan kehadiran mereka (ASN) di kampanye terbuka itu yang menjadi perhatian kami dan perlu dipertanyakan. Apakah mereka sekadar mendengarkan (visi, misi, program) atau ada kepentingan-kepentingan lain yang membuat mereka hadir," beber Agus Tirta.
ASN yang bersikap aktif dalam kegiatan kampanye pemilu telah dilarang dalam Pasal 283 ayat 1, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di mana, ASN dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dijelaskan Agus Tirta, juga sudah tegas menjabarkan sanksi bagi ASN yang mencederai netralitas. Jelas dia, Pasal 494 menyatakan, ASN yang ikut sebagai pelaksana dan tim kampanye dipidana dengan pidana penjara maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp 12 juta. "Kami mengimbau para ASN, agar kenetralitasan ini betul-betul bisa menjadi dipedomani teman-teman ASN," tukas Agus Tirta.
Sementara itu Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali melihat dengan peraturan perundang-undangan yang ada perlu dikuatkan dengan petunjuk teknis (juknis) terkait netralitas ASN ini. Dengan begitu, lebih jelas dan detail lagi 'dos & don'ts' bagi ASN dalam menghadapi pemilu. "Sudah ada UU sendiri dan sudah ada kode etik yang jelas. Nah, yang sulit itu kemudian ketika ada intervensi atau intimidasi baik secara keras maupun halus," ungkap Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Sri mengungkapkan ancaman mutasi pejabat berpotensi dijadikan alat intimidasi yang halus. Ancaman mutasi seperti demosi (penurunan jabatan) bagi yang 'tidak sewarna'. Kemudian, ada pula iming-iming promosi jabatan bagi yang 'sewarna'. Dua cara ini jadi jurus pimpinan yang partisan untuk menggiring suara ASN ke peserta pemilu yang dijagokan.
"Ketakutan-ketakutan itu yang ingin kami minimalisir dari sisi bagaimana intervensi itu jangan sampai dilakukan dalam proses-proses birokrasi. Dengan juga, kami mengingatkan aturan pergantian pejabat ini," jelas Sri Widhiyanti.
Menurutnya, dilihat dari regulasi, mutasi jabatan seharusnya belum boleh dilakukan dalam situasi pemilu. Sebab berpotensi menimbulkan kerawanan terhadap penyalahgunaan kebijakan mutasi sebagai alat politik. Salah satu pencegahan penyalahgunaan mutasi ASN yang dilakukan Ombudsman adalah menggandeng Inspektorat di masing-masing satuan pemerintahan. Bagaimana Inspektorat sebagai pengawas ini dapat membina dan menjaga netralitas ASN.
"Kami harap para ASN fokus terhadap pelayanan publik dan tidak terlarut dalam proses-proses politik," imbuh Sri Widhiyanti. 7 ol1
1
Komentar