nusabali

Hasyim Asy'ari Nilai Konflik Pemilu 2024 Tidak Akan Seruncing Pemilu 2019

  • www.nusabali.com-hasyim-asyari-nilai-konflik-pemilu-2024-tidak-akan-seruncing-pemilu-2019

DENPASAR, NusaBali.com - Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menilai konflik di Pemilu 2024 tidak akan "sememuncak" seperti di Pemilu 2019. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti situasi periode pra pemilu, sikap para elit partai politik (parpol), dan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) yang datang belakangan.

Penilaian ini disampaikan Hasyim ketika menjadi keynote speaker seminar nasional 'Mewujudkan Pemilu yang Demokrasi dan Bermartabat' pada Kamis (13/12/2023) pagi di Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar.

"Konflik dalam pemilu dan pilkada ini tidak akan sememuncak seperti Pemilu 2019," ungkap Hasyim yang juga akademisi Hukum Tata Negara ini.

Kata mantan Ketua Divisi Hukum KPU RI ini, runcingnya konflik di Pemilu 2019 dipicu oleh Pilkada Serentak 2017. Di mana, sorotan Pilkada secara nasional pada kala itu adalah polarisasi di Pilkada DKI Jakarta. Hasyim menyebut, Pilkada DKI ini berlangsung "panas".

Kemudian, pada tahun berikutnya yakni Pilkada Serentak 2018, ekses konflik Pilkada Serentak 2017 khususnya dari Pilkada DKI Jakarta berlanjut. Ditambah, kata Hasyim, Pilkada 2018 ini melibatkan daerah-daerah dengan pemilih besar yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

"Awal-awal pembelahannya itu Pilkada 2017, puncaknya itu adalah Pemilu 2019. Tetapi, mulai mencair ketika Pak Jokowi sebagai Presiden mengakomodir Pak Prabowo sebagai menteri," beber Hasyim yang juga mantan Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah ini.

Merapatnya Prabowo Subianto ke Kabinet Indonesia Maju jadi Menteri Pertahanan ke-26 RI dinilai mampu mengkonsolidasikan pemilih yang sebelumnya terpolarisasi. Sebab, keduanya merupakan bekas seteru politik pada Pilpres 2014 dan 2019.

Jelas Hasyim, peristiwa ini bukanlah hal baru dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pasca reformasi. Hasyim memaparkan, ciri khas dalam sistem presidensial di tanah air adalah adanya dua macam koalisi yaitu koalisi pencalonan untuk pemilu dan koalisi pembentuk pemerintahan.

Pasca pemilu, koalisi pembentuk pemerintahan biasanya terdiri dari koalisi pemilu ditambah anggota koalisi lawan yang menyeberang. Kata Hasyim, hal ini sudah terjadi sejak Susilo Bambang Yudhoyono yang menang Pilpres 2004 dengan koalisi mungil, membentuk pemerintahan bareng parpol di luar koalisinya.

Faktor ini disebut bakal mewarnai Pemilu 2024. Parpol dinilai akan lebih menahan diri untuk benar-benar menarik garis satu sama lain. Di samping itu, ungkap Hasyim, parpol baik yang berada di dalam koalisi maupun di luar koalisi akan bertarung head-to-head di Pemilu Anggota Legislatif (Pileg).

Hasil Pileg ini akan menentukan konstelasi Pilkada Serentak 2024. Di mana, para parpol bakal memerlukan parpol lain untuk membentuk koalisi di daerah dengan acuan parliamentary threshold (PT) hasil Pileg 2024.

"35 hari ke depan sejak 14 Februari 2024 (hari pencoblosan), KPU sudah harus menetapkan hasil pemilu secara nasional berupa suara. Ketika itu, akan diketahui partai apa dapat suara dan kursi berapa di DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Ini akan jadi modal Pilkada," tutur Hasyim.

Jika Pilkada 2024 berlangsung pada bulan September, pencalonannya sudah akan dimulai pada Juli. Kata Hasyim, apabila parpol benar-benar menarik garis satu sama lain di Pemilu 2024, bakal sukar cari kawan untuk mencapai minimal 20 persen PT demi mengusung kepala daerah.

"Saya optimis pemilu kali ini walaupun tensinya tinggi tapi tetap damai. Dan, bisa dibilang ketiga paslon presiden dan wakil presiden ini 'orang dalam' dan saling terhubung. Ada yang menteri, bekas kepala daerah, dan lain-lain. Kalau misalnya, istilahnya itu, buka-bukaan, sama seperti membuka aib sendiri. Karenanya, mereka akan menahan diri," tandas Hasyim. *rat

Komentar