Pengunjung Petik Sendiri Salak Madu, Makan Sepuasnya Gratis
Petani Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kembangkan Kebun Jadi Wisata Buah
Salak yang ditanam petani di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan menggunakan sistem organik. Sehingga salaknya bisa berbuah sepanjang tahun.
TABANAN, NusaBali
Tak hanya penghasil biji kopi, Kabupaten Tabanan juga jadi sentra penghasil buah salak madu. Agar dikenal lebih luas, petani memasarkan dengan sistem kekinian, yakni membuat agrowisata petik buah salak madu dan makan di tempat sepuasnya. Kini harapan petani adalah pemerintah memberikan sertifikat atas salak madu khas Desa Mundeh Kauh.
Agrowisata ini dikembangkan oleh salah seorang petani, I Nyoman Sada Adi Astawa, 60, asal Banjar Penataran, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat. Menariknya wisata petik buah yang dibuat ini, pengunjung bisa langsung memetik buah salak dan makan di tempat secara gratis. Bahkan pengunjung bisa makan buah salak sepuasnya.
Sejatinya Adi Astawa mulai menjadi petani buah salak tahun 2008. Dia mengembangkan salak madu di lahan seluas 3 hektare dengan jumlah 10.000 pohon. Pengembangan agrowisata petik buah salak langsung makan di tempat ini memang cita-citanya, karena ingin meniru agrowisata petik buah apel di Malang, Jawa Timur.
“Saya mulai berkebun di tahun 2008, kemudian lima tahun selanjutnya atau 2013 baru mulai mengembangkan agrowisata petik buah salak madu,” ujarnya, Sabtu (16/12).
Tak hanya penghasil biji kopi, Kabupaten Tabanan juga jadi sentra penghasil buah salak madu. Agar dikenal lebih luas, petani memasarkan dengan sistem kekinian, yakni membuat agrowisata petik buah salak madu dan makan di tempat sepuasnya. Kini harapan petani adalah pemerintah memberikan sertifikat atas salak madu khas Desa Mundeh Kauh.
Agrowisata ini dikembangkan oleh salah seorang petani, I Nyoman Sada Adi Astawa, 60, asal Banjar Penataran, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat. Menariknya wisata petik buah yang dibuat ini, pengunjung bisa langsung memetik buah salak dan makan di tempat secara gratis. Bahkan pengunjung bisa makan buah salak sepuasnya.
Sejatinya Adi Astawa mulai menjadi petani buah salak tahun 2008. Dia mengembangkan salak madu di lahan seluas 3 hektare dengan jumlah 10.000 pohon. Pengembangan agrowisata petik buah salak langsung makan di tempat ini memang cita-citanya, karena ingin meniru agrowisata petik buah apel di Malang, Jawa Timur.
“Saya mulai berkebun di tahun 2008, kemudian lima tahun selanjutnya atau 2013 baru mulai mengembangkan agrowisata petik buah salak madu,” ujarnya, Sabtu (16/12).
Foto: I Nyoman Sada Adi Astawa bersama istri, petani di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan, yang mengembangkan kebun jadi wisata buah (agrowisata). -IST
Disebutkan dipilihnya mengembangkan salak madu ini karena salak madu disukai banyak orang, baik warga lokal maupun mancanegara. Di samping itu untuk kebutuhan yadnya juga tinggi, sehingga untuk pemasaran tidak ada masalah. Dan yang terpenting, biaya perawatan tanaman tidak tinggi.
Dan dari pengembangan buah salak, ternyata membuahkan hasil menggembirakan. Wisatawan baik mancanegara maupun lokal tertarik, meskipun kunjungan awal jumlahnya tidak menentu. Namun sejak 2013 sampai saat ini, jumlah wisatawan yang berkunjung terus bertambah.
“Kalau sehari itu tidak menentu, kadang tidak ada, kadang banyak. Namun kalau per bulan rata-rata yang berkunjung sampai 50 orang,” kata Adi Astawa.
Jumlah pengunjung ini, menurut Adi Astawa, antara wisatawan lokal dan mancanegara seimbang. Wisatawan mancanegara yang berkunjung adalah dari Jerman, Rusia, Australia hingga wisatawan Amerika. Sedangkan wisatawan lokal dari luar Bali dan dari Bali.
“Dari yang kami amati dan tanya langsung kepada mereka, khususnya yang wisatawan mancanegara, mereka tertarik sampai petik salak ke Mundeh Kauh karena udaranya disebut masih bersih dan segar,” ucap Adi Astawa.
Dan untuk bisa menikmati wisata petik salak madu ini, sampai sekarang Adi Astawa belum memungut retribusi. Wisatawan yang ingin petik salak di tempat langsung makan digratiskan. Kecuali jika ingin membawa pulang, dia mematok harga mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 20.000 per kilogram. “Kalau makan di tempat kami gratiskan, wisatawan bisa pilih dan petik di mana saja pohon salak yang sedang berbuah,” bebernya.
Apalagi, sebut dia, salak yang ditanam ini perlakuannya menggunakan sistem organik. Hanya ranting pohon ataupun limbah buah salak yang dijadikan pupuk. Sehingga salaknya tersebut berbuah sepanjang tahun.
“Kalau produksi per hektare per tahun itu sampai di angka 5 ton. Jadi berbuahnya bisa dikatakan sepanjang masa,” tandas Adi Astawa.
Dia menambahkan meskipun menerapkan sistem gratis bagi pengunjung yang makan di tempat sampai puas, dirinya tidak sampai merugi. Sebab biaya perawatan dari salak madu ini mudah, lantaran tidak menggunakan pupuk kimia ataupun pestisida. Selain itu serangan hama yang menyerang tanaman salak madu ini bisa dibilang sangat sedikit.
Bahkan karena keunggulan itulah, menurut Adi Astawa, dia bersama petani lainnya memilih menanam salak madu. Apalagi di daerah Mundeh Kauh dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut serta kelembaban tinggi sangat cocok untuk budidaya salak madu.
“Karena kecocokan itu, salak madu di Desa Mundeh Kauh memiliki rasa manis dengan kadar air yang pas. Bila makan banyak tidak menyebabkan tenggorokan kering. Pernyataan ini juga disampaikan oleh penikmat salak dan peneliti. Jadi salak kami ini memang punya ciri khas, berbeda dari daerah lain,” ucap Adi Astawa.
Menurut dia meskipun mengembangkan wisata petik salak, Adi Astawa tetap melakukan pemasaran ke pasar tradisional. Biasanya akan ada pembeli dari Jakarta, Kintamani (Kabupaten Bangli), hingga Nusa Dua (Kuta Selatan, Kabupaten Badung) yang memesan salak. Harga salak yang dipasarkan secara konvensional ini dipatok sesuai dengan harga pasaran yang berlaku. “Kami tetap menjual salak ke luar. Karena kami punya langganan,” imbuhnya.
Dia berharap kepada pemerintah, dengan pengembangan salak madu yang dilakoni bersama dengan petani salak yang lain, kebun yang sudah dijadikan agrowisata petik salak madu bisa mendapatkan sertifikat dari pemerintah daerah. Sehingga bisa menjadikan salak madu Desa Mundeh Kauh punya branding. 7 des
Dan dari pengembangan buah salak, ternyata membuahkan hasil menggembirakan. Wisatawan baik mancanegara maupun lokal tertarik, meskipun kunjungan awal jumlahnya tidak menentu. Namun sejak 2013 sampai saat ini, jumlah wisatawan yang berkunjung terus bertambah.
“Kalau sehari itu tidak menentu, kadang tidak ada, kadang banyak. Namun kalau per bulan rata-rata yang berkunjung sampai 50 orang,” kata Adi Astawa.
Jumlah pengunjung ini, menurut Adi Astawa, antara wisatawan lokal dan mancanegara seimbang. Wisatawan mancanegara yang berkunjung adalah dari Jerman, Rusia, Australia hingga wisatawan Amerika. Sedangkan wisatawan lokal dari luar Bali dan dari Bali.
“Dari yang kami amati dan tanya langsung kepada mereka, khususnya yang wisatawan mancanegara, mereka tertarik sampai petik salak ke Mundeh Kauh karena udaranya disebut masih bersih dan segar,” ucap Adi Astawa.
Dan untuk bisa menikmati wisata petik salak madu ini, sampai sekarang Adi Astawa belum memungut retribusi. Wisatawan yang ingin petik salak di tempat langsung makan digratiskan. Kecuali jika ingin membawa pulang, dia mematok harga mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 20.000 per kilogram. “Kalau makan di tempat kami gratiskan, wisatawan bisa pilih dan petik di mana saja pohon salak yang sedang berbuah,” bebernya.
Apalagi, sebut dia, salak yang ditanam ini perlakuannya menggunakan sistem organik. Hanya ranting pohon ataupun limbah buah salak yang dijadikan pupuk. Sehingga salaknya tersebut berbuah sepanjang tahun.
“Kalau produksi per hektare per tahun itu sampai di angka 5 ton. Jadi berbuahnya bisa dikatakan sepanjang masa,” tandas Adi Astawa.
Dia menambahkan meskipun menerapkan sistem gratis bagi pengunjung yang makan di tempat sampai puas, dirinya tidak sampai merugi. Sebab biaya perawatan dari salak madu ini mudah, lantaran tidak menggunakan pupuk kimia ataupun pestisida. Selain itu serangan hama yang menyerang tanaman salak madu ini bisa dibilang sangat sedikit.
Bahkan karena keunggulan itulah, menurut Adi Astawa, dia bersama petani lainnya memilih menanam salak madu. Apalagi di daerah Mundeh Kauh dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut serta kelembaban tinggi sangat cocok untuk budidaya salak madu.
“Karena kecocokan itu, salak madu di Desa Mundeh Kauh memiliki rasa manis dengan kadar air yang pas. Bila makan banyak tidak menyebabkan tenggorokan kering. Pernyataan ini juga disampaikan oleh penikmat salak dan peneliti. Jadi salak kami ini memang punya ciri khas, berbeda dari daerah lain,” ucap Adi Astawa.
Menurut dia meskipun mengembangkan wisata petik salak, Adi Astawa tetap melakukan pemasaran ke pasar tradisional. Biasanya akan ada pembeli dari Jakarta, Kintamani (Kabupaten Bangli), hingga Nusa Dua (Kuta Selatan, Kabupaten Badung) yang memesan salak. Harga salak yang dipasarkan secara konvensional ini dipatok sesuai dengan harga pasaran yang berlaku. “Kami tetap menjual salak ke luar. Karena kami punya langganan,” imbuhnya.
Dia berharap kepada pemerintah, dengan pengembangan salak madu yang dilakoni bersama dengan petani salak yang lain, kebun yang sudah dijadikan agrowisata petik salak madu bisa mendapatkan sertifikat dari pemerintah daerah. Sehingga bisa menjadikan salak madu Desa Mundeh Kauh punya branding. 7 des
1
Komentar