Ngaturang Soda di ‘Gumuk’ hingga di Tempat Pembakaran
Tradisi Mamunjung di Hari Raya Pagerwesi
SINGARAJA, NusaBali - Tradisi mamunjung yakni menghaturkan sesajen pada keluarga yang meninggal dan belum diaben di Buleleng dipastikan tidak akan punah.
Bahkan tradisi mamunjung ini tidak hanya dilakukan di setra umum, tetapi juga di Taman Makam Pahlawan Curastana. Makam Pahlawan ini mulai ramai sejak subuh pada Hari Raya Pagerwesi yang jatuh pada Buda Kliwon Sinta, Rabu (20/12) kemarin.
Seperti yang dilakukan Putu Arsa Suyasa warga Lingkungan Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Dia datang untuk membawakan banten penek (sesajen untuk leluhur yang sudah suci) mendiang Pamannya Nyoman Suka yang tercatat sebagai pahlawan revolusi. “Sudah dari kecil biasa diajak ke sini. Biasanya saat Hari 17 Agustus, Hari Pahlawan selain juga Hari Raya besar Hindu seperti Galungan, Kuningan dan Pagerwesi, rutin bawa banten penek,” jelas Arsa.
Meski sudah menjalani upacara ngaben, keluarga tetap membawakan banten penek sebagai ungkapan suka cita merayakan hari raya bersama keluarga dan leluhur yang sudah berpulang.
Keramaian krama mamunjung juga tidak pernah sepi di Setra Adat Buleleng. Meskipun belakangan ini jumlah krama yang mamunjung sudah semakin sedikit, di tengah populernya ngaben massal dan petunon (tempat pembakaran) yang menyiapkan pelayanan ngaben ekonomis.
Tradisi mamunjung merupakan tradisi turun temurun yang dilakoni umat Hindu, kepada anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Setiap hari raya besar keluarga yang telah meninggal dunia dan belum diaben, akan dibawakan haturan banten punjung pusara di setra tempatnya dimakamkan. Ungkapan suka cita hari raya itu biasanya dilakukan setelah rangkaian upacara dewa yadnya di kahyangan tiga, maupun dadya sudah selesai dilakukan. Sembari menghaturkan banten punjung, biasanya anggota keluarga lainnya yang datang tidak awam untuk menyantap makanan bersama di sekitar pusara.
Uniknya kini tradisi mamunjung tidak hanya dilakukan di atas pusara. Pengelola Setra Adat Buleleng kini menyiapkan tempat khusus di perabuan (tempat pembakaran mayat) untuk mamunjung. Hal ini disediakan khusus untuk mereka yang belum diaben dan baru menjalani prosesi mekingsan ring gni.
Jro Mangku Gede Nyoman Sudiarta pengelingsir Banjar Adat Banjar Jawa datang membawakan punjung adik kandungnya yang baru meninggal setahun yang lalu. Keluarga memilih prosesi makingsan ring gni karena situasi ekonomi dan juga menunggu program ngaben massal yang dilaksanakan Desa Adat Buleleng setiap lima tahun sekali.
“Karena masih mekingsan ring perabuan masih dibawakan punjung setiap hari raya. Kemungkinan ini punjung terakhir di setra karena akhir Desember ini rencana akan diikutkan ngaben massal di desa adat. Kalau sudah suci (ngaben) sajen penek yang dihaturkan di merajan jadi tidak ke setra lagi,” ungkap Jro Sudirta.
Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna meyakini tradisi mamunjung yang sudah berjalan turun-temurun tidak akan punah. Meskipun saat ini ada banyak cara dan solusi upacara yang lebih ringkas dan ekonomis. Terlebih juga saat ini Desa Adat Buleleng telah memiliki petunon yang melayani jasa pengabenan dengan biaya yang sangat ringan.
“Kami yakin tidak akan punah. Karena dari 14 banjar adat yang bernaung di bawah Desa Adat Buleleng, Banjar Adat Banjar Jawa masih menerapkan prosesi mendem (mengubur) mayat. Memang tradisi disana saat meninggal tidak langsung diaben pasti menunggu keluarga satu dadya atau program desa adat,” jelas Sutrisna.
Selain banjar adat Banjar Jawa, proses penguburan masih dilakukan satu dua krama yang kondisi ekonominya masih kekurangan. Hal ini yang mempertahankan dan melestarikan tradisi mamunjung di Buleleng masih ada hingga saat ini. “Kami juga melakukan penataan setra untuk lebih bersih dan nyaman. Tempat penyimpanan di perabuan juga kami siapkan untuk yang mekingsan ring gni. Sehingga saat mamunjung keluarga bisa melakukan di sana,” terang dia. 7k23
Seperti yang dilakukan Putu Arsa Suyasa warga Lingkungan Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Dia datang untuk membawakan banten penek (sesajen untuk leluhur yang sudah suci) mendiang Pamannya Nyoman Suka yang tercatat sebagai pahlawan revolusi. “Sudah dari kecil biasa diajak ke sini. Biasanya saat Hari 17 Agustus, Hari Pahlawan selain juga Hari Raya besar Hindu seperti Galungan, Kuningan dan Pagerwesi, rutin bawa banten penek,” jelas Arsa.
Meski sudah menjalani upacara ngaben, keluarga tetap membawakan banten penek sebagai ungkapan suka cita merayakan hari raya bersama keluarga dan leluhur yang sudah berpulang.
Keramaian krama mamunjung juga tidak pernah sepi di Setra Adat Buleleng. Meskipun belakangan ini jumlah krama yang mamunjung sudah semakin sedikit, di tengah populernya ngaben massal dan petunon (tempat pembakaran) yang menyiapkan pelayanan ngaben ekonomis.
Tradisi mamunjung merupakan tradisi turun temurun yang dilakoni umat Hindu, kepada anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Setiap hari raya besar keluarga yang telah meninggal dunia dan belum diaben, akan dibawakan haturan banten punjung pusara di setra tempatnya dimakamkan. Ungkapan suka cita hari raya itu biasanya dilakukan setelah rangkaian upacara dewa yadnya di kahyangan tiga, maupun dadya sudah selesai dilakukan. Sembari menghaturkan banten punjung, biasanya anggota keluarga lainnya yang datang tidak awam untuk menyantap makanan bersama di sekitar pusara.
Uniknya kini tradisi mamunjung tidak hanya dilakukan di atas pusara. Pengelola Setra Adat Buleleng kini menyiapkan tempat khusus di perabuan (tempat pembakaran mayat) untuk mamunjung. Hal ini disediakan khusus untuk mereka yang belum diaben dan baru menjalani prosesi mekingsan ring gni.
Jro Mangku Gede Nyoman Sudiarta pengelingsir Banjar Adat Banjar Jawa datang membawakan punjung adik kandungnya yang baru meninggal setahun yang lalu. Keluarga memilih prosesi makingsan ring gni karena situasi ekonomi dan juga menunggu program ngaben massal yang dilaksanakan Desa Adat Buleleng setiap lima tahun sekali.
“Karena masih mekingsan ring perabuan masih dibawakan punjung setiap hari raya. Kemungkinan ini punjung terakhir di setra karena akhir Desember ini rencana akan diikutkan ngaben massal di desa adat. Kalau sudah suci (ngaben) sajen penek yang dihaturkan di merajan jadi tidak ke setra lagi,” ungkap Jro Sudirta.
Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna meyakini tradisi mamunjung yang sudah berjalan turun-temurun tidak akan punah. Meskipun saat ini ada banyak cara dan solusi upacara yang lebih ringkas dan ekonomis. Terlebih juga saat ini Desa Adat Buleleng telah memiliki petunon yang melayani jasa pengabenan dengan biaya yang sangat ringan.
“Kami yakin tidak akan punah. Karena dari 14 banjar adat yang bernaung di bawah Desa Adat Buleleng, Banjar Adat Banjar Jawa masih menerapkan prosesi mendem (mengubur) mayat. Memang tradisi disana saat meninggal tidak langsung diaben pasti menunggu keluarga satu dadya atau program desa adat,” jelas Sutrisna.
Selain banjar adat Banjar Jawa, proses penguburan masih dilakukan satu dua krama yang kondisi ekonominya masih kekurangan. Hal ini yang mempertahankan dan melestarikan tradisi mamunjung di Buleleng masih ada hingga saat ini. “Kami juga melakukan penataan setra untuk lebih bersih dan nyaman. Tempat penyimpanan di perabuan juga kami siapkan untuk yang mekingsan ring gni. Sehingga saat mamunjung keluarga bisa melakukan di sana,” terang dia. 7k23
Komentar