Dibalik Tabir Ketidak-pedulian
GENERASI stroberi ditengarai memiliki ketergantungan pada teknologi digital. Menurut The Guardian, mereka terlalu akrab dan menghabiskan waktu di depan layar gadget.
Filsuf John Rawls menyamakan perilaku demikian sebagai ‘veil of ignorance’ atau tabir ketidak-pedulian terhadap kesehatan fisik maupun mental mereka. Dampak lain dari ketidak-pedulian, misalnya, mereka cepat rapuh hanya sedikit tekanan, mudah menyerah, dan punya mentalitas yang kurang tangguh.
Bersikap cuek adalah tindakan yang sangat merugikan. Jika diri menjadikan sikap cuek sebagai kebiasaan, maka seharusnya hal tersebut tidak pantas untuk dipelihara. Sikap peduli penting ketika memasuki lingkungan baru. Namun demikian, kepedulian itu bukan sebuah keharusan. Karena, ingin tahu segalanya juga salah, setiap orang harus pandai membatasi diri dan jangan sampai pedulinya berlebihan.
Apakah tabir ketidak-pedulian merupakan kebajikan? Ya, ketika peruntukannya bagi kebajikan teologis. Kebajikan teologis mengandung kehati-hatian, keadilan, pengendalian diri, dan ketabahan. Mungkin, kepedulian seperti itu akan menjadi bagian dari keadilan. Kepedulian juga bermakna sebagai kebiasaan baik yang memungkinkan seseorang bertindak sesuai dengan akal sehat yang dicerahkan oleh kebenaran dan keadilan. Kebiasaan baik membuat pemiliknya menjadi orang baik dan tindakannya juga baik. Salah satu dari empat keutamaan moralitas adalah kehati-hatian, keadilan, kesederhanaan, dan ketabahan. Masing-masing kebajikan utama mempunyai bagian subjektif, potensial, dan integral. Bagian subjektifnya, untuk memiliki sepenuhnya kebajikan itu memerlukan kehati-hatian, kesabaran, dan ketabahan. Bagian potensialnya, kebajikan-kebajikan yang berbeda untuknya memerlukan kejujuran. Bagian-bagian integralnya adalah kebajikan utama, sebagaimana kesucian adalah spesies kesederhanaan.
Tabir ketidak-pedulian akan menjadi petaka atau bencana. Ketidak-pedulian terhadap kesehatan lingkungan dapat mendorong, misalnya, pembuangan sampah sembarangan, di kali, di ruang terbuka, di jalanan, di mana-mana. Begitu tempat pembuangan sampah terbakar, hampir sebagian besar masyarakat mereaksi sengit dengan keluhan, protes, atau kemarahan. Jika manusia tidak menjaga lingkungan, peluang terjadinya bencana alam merupakan kepastian. Kelalaian karena tidak merawat lingkungan, bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, serta pencemaran tanah akan terjadi.
Refleksi Eliezer Wiesel, seorang novelis, filsuf, humanitarian, aktivis politik, mengenai paradoksal ketidak-pedulian. Menurutnya, ketidak-pedulian mendorong penurunan seluruh kelas masyarakat menjadi ‘yang lain’, sehingga memungkinkan terjadinya penderitaan, penindasan, marjinalisasi, pengucilan, dan sejenisnya. Dia menyebutkan bahwa ketidak-pedulian bisa bermakna ‘tidak ada perbedaan’, keadaan aneh, dan tidak wajar di mana garis kabur antara terang dan gelap, senja dan fajar, kejahatan dan hukuman, kekejaman dan kasih sayang, baik dan jahat.
Kadang, sikap ‘kepo’ (knowing every particular object), sebutan seseorang yang serba ingin mengetahui detail informasi orang lain, perlu dinafikan untuk menjaga kewarasan, hidup normal, menikmati makanan enak dan segelas anggur, ketika dunia di sekitar mengalami gejolak mengerikan. Tentu saja ketidak-pedulian bisa sangat menggoda. Memang, lebih mudah berpaling dari korban, jauh lebih mudah menghindari interupsi kasar terhadap posisi mapan, impian, harapan indah. Lagi pula, rasa canggung dan menyusahkan ketika terlibat dalam penderitaan dan keputusan orang lain. Bagi orang acuh tak acuh berpandangan bahwa tetangganya tidak memiliki arti, oleh karenanya hidup mereka juga tidak ada artinya, penderitaan mereka yang tersembunyi tidaklah menarik. Ketidak-pedulian mereduksi menjadi ‘yang lain’ terabstraksi dalam tradisi masyarakat super modern.
Ketidak-pedulian terhadap ketidak-mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, atau pendidikan, telah memarjinalkan keadilan beragama. Tiga kerangka dasar Agama Hindu adalah norma beragama. Namun, representasinya sering mencederai rasa keadilan sosial. Misalnya, kematian jelas suatu kesedihan mendalam bagi yang ditinggalkan. Kesedihan dan upacaranya pasti menggandakan beban, apakah ada kepedulian kardinal untuk meringankannya? Apakah ada kepedulian untuk membuat aktivitas beragama sebagai kegiatan yang mereka nikmati? Apakah tradisi merupakan hukum yang bisa merampas hak untuk beribadah sesuai dengan hati nurani? Apakah ketidak-pedulian telah menjadikan tradisi sebagai kewajiban walau bertentangan dengan keadilan, kejujuran, dan kebenaran? Ternyata, masih banyak implikasi positif maupun negatif tabir ketidak-pedulian di semesta ini. 7
Bersikap cuek adalah tindakan yang sangat merugikan. Jika diri menjadikan sikap cuek sebagai kebiasaan, maka seharusnya hal tersebut tidak pantas untuk dipelihara. Sikap peduli penting ketika memasuki lingkungan baru. Namun demikian, kepedulian itu bukan sebuah keharusan. Karena, ingin tahu segalanya juga salah, setiap orang harus pandai membatasi diri dan jangan sampai pedulinya berlebihan.
Apakah tabir ketidak-pedulian merupakan kebajikan? Ya, ketika peruntukannya bagi kebajikan teologis. Kebajikan teologis mengandung kehati-hatian, keadilan, pengendalian diri, dan ketabahan. Mungkin, kepedulian seperti itu akan menjadi bagian dari keadilan. Kepedulian juga bermakna sebagai kebiasaan baik yang memungkinkan seseorang bertindak sesuai dengan akal sehat yang dicerahkan oleh kebenaran dan keadilan. Kebiasaan baik membuat pemiliknya menjadi orang baik dan tindakannya juga baik. Salah satu dari empat keutamaan moralitas adalah kehati-hatian, keadilan, kesederhanaan, dan ketabahan. Masing-masing kebajikan utama mempunyai bagian subjektif, potensial, dan integral. Bagian subjektifnya, untuk memiliki sepenuhnya kebajikan itu memerlukan kehati-hatian, kesabaran, dan ketabahan. Bagian potensialnya, kebajikan-kebajikan yang berbeda untuknya memerlukan kejujuran. Bagian-bagian integralnya adalah kebajikan utama, sebagaimana kesucian adalah spesies kesederhanaan.
Tabir ketidak-pedulian akan menjadi petaka atau bencana. Ketidak-pedulian terhadap kesehatan lingkungan dapat mendorong, misalnya, pembuangan sampah sembarangan, di kali, di ruang terbuka, di jalanan, di mana-mana. Begitu tempat pembuangan sampah terbakar, hampir sebagian besar masyarakat mereaksi sengit dengan keluhan, protes, atau kemarahan. Jika manusia tidak menjaga lingkungan, peluang terjadinya bencana alam merupakan kepastian. Kelalaian karena tidak merawat lingkungan, bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, serta pencemaran tanah akan terjadi.
Refleksi Eliezer Wiesel, seorang novelis, filsuf, humanitarian, aktivis politik, mengenai paradoksal ketidak-pedulian. Menurutnya, ketidak-pedulian mendorong penurunan seluruh kelas masyarakat menjadi ‘yang lain’, sehingga memungkinkan terjadinya penderitaan, penindasan, marjinalisasi, pengucilan, dan sejenisnya. Dia menyebutkan bahwa ketidak-pedulian bisa bermakna ‘tidak ada perbedaan’, keadaan aneh, dan tidak wajar di mana garis kabur antara terang dan gelap, senja dan fajar, kejahatan dan hukuman, kekejaman dan kasih sayang, baik dan jahat.
Kadang, sikap ‘kepo’ (knowing every particular object), sebutan seseorang yang serba ingin mengetahui detail informasi orang lain, perlu dinafikan untuk menjaga kewarasan, hidup normal, menikmati makanan enak dan segelas anggur, ketika dunia di sekitar mengalami gejolak mengerikan. Tentu saja ketidak-pedulian bisa sangat menggoda. Memang, lebih mudah berpaling dari korban, jauh lebih mudah menghindari interupsi kasar terhadap posisi mapan, impian, harapan indah. Lagi pula, rasa canggung dan menyusahkan ketika terlibat dalam penderitaan dan keputusan orang lain. Bagi orang acuh tak acuh berpandangan bahwa tetangganya tidak memiliki arti, oleh karenanya hidup mereka juga tidak ada artinya, penderitaan mereka yang tersembunyi tidaklah menarik. Ketidak-pedulian mereduksi menjadi ‘yang lain’ terabstraksi dalam tradisi masyarakat super modern.
Ketidak-pedulian terhadap ketidak-mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, atau pendidikan, telah memarjinalkan keadilan beragama. Tiga kerangka dasar Agama Hindu adalah norma beragama. Namun, representasinya sering mencederai rasa keadilan sosial. Misalnya, kematian jelas suatu kesedihan mendalam bagi yang ditinggalkan. Kesedihan dan upacaranya pasti menggandakan beban, apakah ada kepedulian kardinal untuk meringankannya? Apakah ada kepedulian untuk membuat aktivitas beragama sebagai kegiatan yang mereka nikmati? Apakah tradisi merupakan hukum yang bisa merampas hak untuk beribadah sesuai dengan hati nurani? Apakah ketidak-pedulian telah menjadikan tradisi sebagai kewajiban walau bertentangan dengan keadilan, kejujuran, dan kebenaran? Ternyata, masih banyak implikasi positif maupun negatif tabir ketidak-pedulian di semesta ini. 7
Oleh: Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
Komentar